Bab 12 . Mempercayai Pria Yang Salah
"Mengapa kamu tidak mengatakan ada pembatas jalan di belakang sana?" tanya pemuda itu kesal.
"M-maaf, Tuan!" Paman Lu meminta maaf dengan tergagap dan membungkukkan tubuhnya yang renta.
"Kau tahu berapa harga mobil ini? Kau tahu berapa biaya perbaikannya?" tanya pemuda itu kembali dengan gusar.
"M-maaf, Tuan!" Paman Lu kembali meminta maaf.
Ellena mengepal kedua tangan di sisi tubuhnya dan menatap kesal ke arah pemuda itu. Dari penampilan, pria itu pasti kaya, karena dari atas ke bawah, pakaian pemuda itu bermerek.
Pemuda itu terus memeriksa bamper mobilnya dengan Paman Lu yang menatapnya cemas.
"Paman, banyak mobil yang masuk! Aku akan berbicara dengan Tuan ini," ujar Ellena kepada Paman Lu. Dirinya tidak tega melihat Paman Lu begitu ketakutan.
Paman Lu terlihat ragu, tetapi pria tua itu akhirnya mengikuti sarannya.
"Hei! Kemana kamu pergi?" teriak pemuda itu, saat melihat Paman Lu pergi.
"Tidak bisakah kamu lebih sopan? Walaupun Paman Lu hanya tukang parkir, tapi usianya jauh di atas dirimu!" tegur Ellena.
"Dan kamu siapa? Apakah kamu cucu pria tua itu?" tanya pemuda itu sombong.
"Ya! Aku cucunya! Memang kenapa?" tanya Ellena galak.
"Jika begitu, kamu harus mengganti rugi!" jawab pemuda itu.
"Ganti rugi?" tanya Ellena dan mendekati tubuh pemuda itu.
Pemuda itu mundur, saat Ellena mendekatinya. Pemuda itu mundur dan Ellena maju sambil mendekatkan wajahnya di dada pria itu.
"Hei! Apa yang kamu lakukan?" tanya pemuda itu terus berusaha menghindari Ellena. Aroma wanita itu sungguh lembut dan harum, menggelitik panca indera pemuda itu.
Ellena mengangkat kepalanya dan menengadah menatap mata pemuda itu. Mengapa pria kaya selalu berpostur tinggi seperti ini? Sangat susah untuk menatap tajam wajah mereka.
Ellena jinjit dan menatap lekat wajah pemuda itu. Mengapa sangat tidak adil, mereka anak orang kaya selalu tampan ataupun cantik dengan penampilan sempurna.
"A-apa yang akan kamu lakukan?" tanya pemuda itu yang berada sangat dekat dengannya.
Ellena memajukan wajahnya dan berada tepat di sisi wajah pria itu.
"Bagaimana kamu bisa meminta ganti rugi, jika berkendara dalam keadaan mabuk! Malahan, aku dapat melaporkan dirimu kepada pihak kepolisian!" bisik Ellena di telinga pria itu.
Lalu, Ellena mundur satu langkah dari pemuda itu dan melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu tanggapan.
"Aku tidak mabuk!" seru pemuda itu.
"Kamu bau alkohol!" jawab Ellena tegas.
Pemuda itu mengendus pakaiannya sendiri dan akhirnya paham mengapa wanita itu mendekatinya tadi.
"Kamu berkendara dalam keadaan mabuk! Aku yakin, kamu sendiri tidak memperhatikan pembatas jalan itu dan menabraknya! Jadi, cukup hubungi pihak asuransi dan selesaikan itu sendiri. Jangan melibatkan Paman Lu!" ujar Ellena ketus.
Pemuda itu hendak menjawab, tetapi hal itu terhenti karena ponsel pemuda itu berbunyi.
"Halo!" Pemuda itu menjawab panggilan.
Ellena tidak yakin kabar apa yang di dengar oleh pemuda itu, tetapi itu pasti bukan sesuatu yang baik karena raut wajahnya berubah menjadi sangat buruk. Pemuda itu mematikan ponsel dan menyimpan kembali ke saku celananya.
"Baiklah! Aku tidak akan mempermasalahkan hal ini lagi!" jawab pemuda itu dengan menatap Ellena.
"Sudah seharusnya seperti itu!" jawab Ellena ketus.
Pemuda itu mengangguk dan berjalan ke sisi pintu pengemudi. Lalu, membuka pintu dan hendak masuk, tetapi dihentikan oleh Ellena yang berkata, "Hei! Kamu tidak boleh berkendara saat mabuk!"
Pemuda itu meletakkan sebelah tangannya di atas kap mobil dan berkata, "Aku tidak mabuk!"
Ellena menghampiri pemuda itu, entah mengapa dirinya mencampuri urusan orang lain. Sepertinya itu akibat dari pertemuannya dengan Marco Kang yang tidak berjalan lancar.
"Aku supir pengganti! Apakah kamu ingin menggunakan jasaku?" tanya Ellena sambil menghampiri pemuda itu.
"B-benar, Tuan! Ellena adalah supir pengganti di wilayah ini!" jelas Paman Lu yang menghampiri mereka.
"T-tuan! Mohon maaf atas kerusakan mobil Tuan!" ujar Paman Lu kembali dengan cemas.
"Tidak! Tidak masalah! Aku yang tidak memperhatikan tadi," jawab pemuda itu. Setelah mendengar perkataan Ellena, pemuda itu lebih memperhatikan sosok pria tua itu dan dirinya menyesal atas sikapnya tadi.
"Syukurlah! Terima kasih, Tuan!" ujar Paman Lu, baru mulai tersenyum.
"Jadi?" tanya Ellena.
Pemuda itu ragu sejenak. Namun, dirinya memang sedikit mabuk dan merasa pusing, sepertinya perkataan gadis itu yang bernama Ellena, masuk di akal. Lagi pula, dirinya tidak lagi berniat berpesta dengan sahabatnya, setelah mendapat telepon dari ibunya yang menyebalkan.
Pemuda itu melemparkan kunci mobil kepada Ellena dan membuka pintu penumpang bagian belakang, lalu masuk.
"Terima kasih, Ellena!" ujar Paman Lu tulus. Jika bukan karena bantuan Ellena, mungkin dirinya akan berakhir di kantor polisi.
"Sampai jumpa, Paman!" ujar Ellena sambil masuk ke dalam mobil.
Ellena terpukau melihat interior mobil yang begitu mewah dan berdecak kagum. Apalagi setelah mesin dinyalakan, deru mesin membuat rambutnya bergetar. Sungguh menyenangkan memiliki kesempatan mengendarai mobil mewah seperti ini.
"Kita kemana?" tanya Ellena sambil mengeluarkan mobil dari lahan parkir.
"Hotel A!" jawab pemuda itu singkat.
Ellena mengangguk kagum, sungguh anak orang kaya. Hotel A adalah hotel bintang lima paling top di kota ini.
Ellena melajukan mobil itu pelan menuju tempat tujuan. Sesekali, Ellena akan mengintip pria itu melalui kaca spion. Pemuda itu walau terlihat cuek dan hanya menatap keluar jendela, tetapi Ellena tahu pemuda itu sedang sedih.
"Apakah ada masalah?" tanya Ellena, yang tidak mampu menahan rasa penasarannya.
"Bukan urusanmu!" jawab pemuda itu ketus.
"Aku yakin kamu lebih muda dariku! Jadi, sebagai seorang kakak aku akan memberimu nasehat! Hidup memang tidak mudah, tetapi kamu harus bersyukur tidak perlu bekerja mencari uang untuk kamu gunakan! Karena tidak semua orang seberuntung dirimu!" ujar Ellena dan memutar kemudi masuk ke jantung kota.
"Apakah itu pengalamanmu?" tanya pemuda itu dan mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Ellena.
Ellena mengangguk dan tersenyum miris.
"Jadi, bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki dan jangan terlalu memikirkan apa yang tidak kamu miliki!" ujar Ellena ringan.
"Apakah kamu tinggal di sini?" tanya Ellena saat mobil berbelok masuk ke depan lobi hotel mewah itu.
Pemuda itu mengangguk.
"Wow, jangan bilang dirimu minggat dari rumah dan tinggal di sini!" ujar Ellena sambil menatap kagum hotel mewah itu.
"Seperti itulah kira-kira!" jawab pemuda itu ringan.
Ellena menghentikan mobil di depan pintu putar lobi hotel.
"Sampai!" ujar Ellena, sambil membuka pintu mobil dan turun.
Pemuda itu juga turun. Mereka berdiri di depan pintu putar. Ellena melemparkan kunci mobil kembali kepada pemiliknya.
"Maukah menemaniku makan malam?" tanya pemuda itu.
Ellena menggeleng seraya berkata, "Tidak! Sudah sangat larut, aku harus pulang!
Lalu, Ellena berbalik dan berjalan meninggalkan lobi hotel.
"Hei! Bayaranmu!" ujar pemuda itu.
"Tidak perlu! Anggap saja sebagai kompensasi mobilmu yang rusak!" ujar Ellena sambil melambaikan tangan, lalu berlari kecil ke arah jalan besar.
Ellena tidak mampu naik taksi, karena sangat mahal. Jadi, dirinya berlari ke arah halte bus dan duduk di sana menunggu kedatangan bus.
Duduk menunggu di halte bus, membuat Ellena teringat akan pria itu, Marco Kang. Saat itulah, air matanya mulai mengalir membasahi wajahnya. Ellena menghapus air matanya dan berusaha untuk tenang. Dirinya tidak boleh bersedih, seharusnya dirinya marah karena mempercayai pria yang salah. Tiga tahun! Tiga tahun, dirinya menghabiskan waktu untuk terus memikirkan pria bajingan itu.
Ellena menghentakkan kakinya dengan kesal dan saat itulah bus tiba. Ellena berlari masuk ke dalam bus dan duduk di kursi barisan paling belakang dekat jendela.
Ethan Qi, menatap gadis itu sedari tadi. Ethan Qi, pemuda tadi, berlari mengejar Ellena dan hendak membayar jasa supir pengganti. Namun, langkahnya terhenti tidak jauh dari Ellena berada. Ethan menatap gadis itu menangis. Siapa yang menyangka gadis yang begitu energik, menangis di waktu yang bersamaan.
"Ellena!" Ethan menyebut pelan nama gadis itu. Nama itu yang didengarnya saat pria tua tadi memanggil gadis itu.
Bus lewat tepat di hadapan Ethan dan itu membuat dirinya dapat menatap gadis itu sekali lagi. Gadis itu tidak lagi menangis, tetapi raut sedih masih terlihat jelas.
Ellena tiba di Dojo dan naik ke lantai atas. Walaupun Paman dan Bibi Gu tidak pernah mengatakan apa-apa, tetapi Ellena tahu mereka selalu menunggu dirinya tiba di rumah, baru setelah itu mereka akan masuk ke dalam kamar.
Ellena menyapa Paman dan Bibi Gu, tentu dirinya tidak menunjukkan raut wajah sedih. Lalu, Ellena masuk ke dalam kamar dan tidur.