9. Langit Yang Sama (2)
*fragmen 2
"Galuh sayangku tidak mati karena melahirkanmu, seperti yang kau percayai selama delapan belas tahun ini, my golden boy. Tapi dia mati karena melarikan diri dariku dan darinya."
Aku mendongak. Rahangku terkatup rapat, mataku nyalang melihat dirinya. Bajingan tengik yang baru saja mengatakan sebuah kisah pilu yang menyayat hati. Dan aku bersumpah. Baik sang raja atau Theo akan menerima balasannya.
"Jadi bagaimana? Apa kau akan diam, dan menerima saja takdir membawamu. Atau melawan, dengan melarikan diri?!"
"Maksudmu? Melarikan diri dengan memakai rencanamu?"
Theo menatap mataku yang serupa matanya, ada kilat rasa sedih dan kebencian, "Ada sebuah benda yang kuinginkan. Yang hanya dimiliki sang raja."
Keningku berkerut, mataku memincing dengan defensif.
"Yang kuyakin, kau juga akan mengambilnya jika kau berada di istananya."
"Sebutkan."
"The beloved."
DEG!
Mungkinkah?
"Ya. Lukisan terakhir ibumu. Lukisan tentang dirinya, tentang masa depannya. Mahakarya yang tak akan kau tolak."
Hatiku mencelos.
Inilah takdir yang dibicarakan Theo. Bahwa kami berada pada langit yang sama. Naungan kebencian..
Tubuhku bergetar. Seumur hidupku aku tidak pernah melihat rupa ibuku. Dalam memoriku pun, tak pernah ada wanita yang telah memberiku kesempatan untuk hidup. Haruskah? Haruskah aku percaya pada iblis seperti Theo.
"Setelah mengambilkan the beloved aku akan melepaskan dirimu."
Aku tersenyum kecut, "Tapi mati di tangan yang lain?"
"Ada harga untuk setiap kebebasan anak muda."
"Kenapa kau tidak bunuh saja aku sekarang?!" Hatiku meradang tanganku sudah stanby untuk melempar asbak di atas meja.
Dia berdiri, menatap senja di balik kaca jendela ruang kerjanya yang didominasi oleh kayu. Kesan hangat yang ada di ruangan itu sungguh menipu. Yang ada di sini hanya sisi suram, dan juga hati yang dingin.
"Karena kau lebih berguna jika kau dibiarkan hidup."
Aku menghela napas sesak. Jika ada jalan lari dari takdir ini. Maka itu hanya kematian. Tak ada yang bisa membunuhku sekarang. Trahvensky tentu akan melindungiku, berada di sini satu minggu membuatku tahu bagaimana sistem mereka bekerja. Aaron mungkin adalah asisten pribadiku, tapi dia juga merangkap sebagai bodyguard dan juga mata-mata.
Dan aku menyadari beberapa hari ini aku diintai. Kata Aaron, itu adalah bagian dari protokoler Trahvensky, bahwa setiap garis keturunan mereka akan dijaga. Kami para anak Trahvensky adalah aset berharga yang harus dijaga kelangsungan hidupnya.
Aku pernah menanyakan apakah itu berlaku pada Mike dan Andrea?. Aaron menjawab dengan satu kalimat ya yang amat mantap.
Ada yang aneh dalam keluarga ini. Jika Andrea berada dalam perlindungan Trahvensky, bagaimana ia bisa disandera?
"Persiapkan dirimu. Besok pagi, kita ke Tokyo."
***Escape Theories***
Aku berjalan melewati selasar ketika suara itu membuat langkahku berhenti.
"You shouldn't go there and sacriface your self."
Di sana di bawah pilar besar bangunan rumah yang berkesan dengan kuil Yunani, Mike bersandar, tangannya terlipat di depan dada.
Aku membalikkan badan menatap tubuh jangkung yang lebih tinggi dariku. Tidak ada garis Asia dari tubuhnya. Tentu saja, Mom dan lelaki itu tidak memberikan mata yang lebih gelap seperti mataku. Mike memiliki mata abu-abu cerah yang lebih hangat dari lelaki itu.
"Untuk orang yang tidak menerimaku di rumah ini, kau terlalu sentimentil melepas kepergianku."
Dia berdengus, "Sampai matipun kau bukan saudaraku. Aku hanya benci melihatmu menjadi tumbal untuk Daddyku. Lagipula kenapa semua begitu aneh. Untuk apa dia ngotot menyembunyikan keberadaanmu, tapi kemudian menukarmu dengan Andrea."
Gigiku beradu karena ada kesalahan mendasar di sini. Dan itu membuatku muak sekaligus sakit hati. Aku tidak pernah disembunyikan. Dia tidak ngotot melindungiku. Yang ada dia membuangku ke Ki Sastrojoyo. Orang yang mengaku sebagai seseorang yang telah menjadi ayah dari orang yang harusnya ku panggil ibu.
"Dia tidak pernah menyembunyikanku, Mike. Aku dibuang. Dan untuk kelas anak buangan, bila dibandingkan dengan tuan puteri Trahvensky, tentu nyawaku hanya seonggok sampah."
Mike memincingkan mata, "Kau apa?!"
Aku memberikan senyum pahit, "Dia tidak menemukanku, dan berusaha mencariku seperti yang kau percayai. Tapi seseorang yang membenciku menyerahkanku padanya. Jika itu yang membuatmu marah akan kehadiranku, seharusnya kau berbangga hati. Kita dalam kasta yang berbeda. Aku tidak akan memabahayakan eksistensimu."
"Aku--" suaranya tercekat, aku tahu ia sedang dilanda rasa kasihan dan juga rasa bersalah, tapi jauh di sudut hatiku aku membenci keadaan yang seperti ini. Aku benci berada di tempat dimana semua orang menaruh simpati untukku. AKU TIDAK BUTUH! Yang kubutuhkan adalah kebencian.
"Tidak perlu merasa bersalah akan pemikiranmu terhadapku. Aku akan jadi golden boy jika berada di tempat yang sama. Aku dua langkah di depanmu Michaelangelo.."
"Kau--" Dia menggeram.
"Ada perbadaan antara kita, I am maybe the cursed one. But you just be a son for the Trahvensky. If they can't loved me, I'm glad to be the one which they hated. Because hated more precious than just be another son." Aku melenggang pergi.
"Aku bisa menjadi kartu pass untukmu. Take me."
Aku hampir tertawa mendengar suaranya. "Kamu pikir dengan kemampuanmu sekarang kamu bisa melindungiku?!" Aku bisa menyadari nada satir dalam ucapanku sendiri.
Dia diam, tapi aku harus melanjutkan supaya anak kecil ini tidak menghalangi jakanku. Semakin banyak yang terlibat, semakin banyak tanggung jawabku melindungi mereka.
Ceklek.
Sepertinya ada benda yang menempel di belakang kepalaku. Dan suara pelatuk yang dikokang. Sialan.
"Bunuh aku," Aku merasa sudut bibirku naik. Aku yakin mewarisi senyum iblis ini dari bajingan seperti ayah dari Mike sialan ini. "Bukan bajingan yang kau sebut Daddy itu saja yang memburumu tapi seluruh Trahvensky."Aku melanjutkan.
Aku bisa merasakan jika ujung hand gun itu sedikit melonggarkan jarak. Aku tersenyum, jika ia mengganggap aku selemah itu, dia salah. Aku di tempa oleh serangkaian serangan, jadi amatir seperti dia tak akan bisa menghalangiku.
Dengan segenap kecepatan aku segera berbalik badan, sebelah tanganku meraih ujung glock itu. Kakiku menyapu kakinya, sedangkan dengan kecepatan yang sama aku menekan tombol magazin di samping pelatuk, menyebabkan kotak peluru itu tejatuh ke lantai. Persis seperti Mike yang kini terkapar.
"Inilah perbedaan antara kau dan aku. Meski kita pada langit yang sama, tapi kau takkan menjangkau diriku. Kecuali dengan kebencian."
Aku menyentak pergelangan tangannya yang masih kupegang. Ia harus tahu, cukup aku yang bersedia mati untuk menerima takdir ini.
***