8. Langit yang sama (1)
*fragmen satu
***
"Kita tidak bisa memilih siapa takdir kita."
Aku menatap mata abu-abunya yang dingin. Aku nyaris tak ingin percaya bagaimana bajingan tengik ini adalah ayah kandungku.
Theo menatap gumpalan awan yang berarak ke tempat matahari terbenam. Pria itu tampak gusar.
"Tempat teraman yang bisa kupikirkan untukmu hanya pulang ke Pujon, menepati janjiku pada Galuh dan Ki Sastrojoyo."
Aku memilih untuk diam dan mendengarkan.
"Mungkin bagimu aku hanya seorang lelaki yang rakus akan kuasa, dan ibumu adalah korban dari sifat keegoisanku. Namun, satu hal yang perlu kau tahu, Aku mencintainya. Masih mencintainya."
Aku merasa dadaku sesak. Kata-kata itu meracuni relung hatiku.
"Aku akan mengirimmu ke Tokyo. Kau boleh menggunakan nama aslimu. Tapi satu pintaku, Miro, jangan pernah kau percayai 'sang raja'. Aku meminta sumpahmu untuk itu."
"Kenapa?!"
"Ada hal yang memang tidak untuk kau ketahui."
"Aku tidak akan menyanggupi sebuah kebohongan lain."
"Jangan paksa aku mengucapkan hal yang menyakitkan!"
"Hidupku penuh dengan rasa sakit, juga penuh kebencian. Aku tidak butuh apapun untuk hidup dan menuruti kata-katamu."
"AKU AYAHMU!"
"Ayahku sudah mati!" Aku berdesis, aku merasakan kebencian yang sangat padanya. Aku merasa nada suaraku mirip dengannya. Dan aku benci mengakui jika darah lebih kental daripada air.
Rasa takut menyeruak dari dalam diriku. Bagaimana?! Bagaimana jika aku akan hidup serupa dia? Aku tanpa sadar mengepalkan tangan.
"I still alive," dia melirikku dengan tatapan sinis, "Terimalah takdir itu."
"Why, should I?!"
"Karena kamu hanyalah foto kopian dariku. Miniatur."
"We're different!"
Dia terkekeh. "Kamu mungkin tumbuh dengan segala adat dan tradisi yang berbeda. Mungkin kamu juga mencintai apa yang kamu miliki di belakang. Kamu hanya anak yang dilahirkan atas nama masa lalu. Kamu hanya anak yang hilang akan masa depan. Itulah kenapa Ki Sastrojoyo memintaku mengambilmu kembali. Karena sudah saatnya kamu kembali pada asalmu!"
Hatiku meradang, kebencianku pada Theo makin berlipat.
"Aku telah mempersiapkan sebuah permainan hidup dan mati untukmu."
Suara rendah dan dinginnya menyapa telingaku lagi.
Mataku menatap mata kelabunya dengan benci yang memuncak.
"Aku sudah membuat rekayasa genetika, yang menyebut kau bukan putraku, tapi anak Timmothy yang hilang. Seluruh mata sedang memburumu."
Aku dapat menebak kemana arah pembicaraan ini. Sialan.
Rupanya aku hanya umpan?
"Andrea akan kembali. Dan apakah kau bisa melarikan diri dariku atau darinya. Jika kau sampai berhadapan muka dengan sang raja maka kau akan kalah. Kau harus bersedia menerima konsekwensinya."
"Untuk orang tua selicik kau. Aku tidak bisa terkejut kau menumbalkan aku. Kau ingin bilang, jika sang raja tahu aku bukan anak kandungnya, dia akan menghabisiku kan?! Brilian, cara yang indah untuk mati."
"Jangan berpikir kalau dengan itu kau akan bahagia. Mau kuberi tahu berita baik dan buruknya?!" Theo menyeringai, "Timmothy Edgar Trahensky adalah kakakku, dan dialah, yang memerintahkan seluruh jaringan Trahvensky memburumu. Dialah orang yang membunuh kekasihku. Dia yang menghabisi nyawa ibumu, orang yang kukasihi itu."
Leherku tercekik. Seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram erat. Dan jantungku terasa diremas. Ada banyak kata yang tertahan dikerongkongan, tersumbat. Dan mungkin juga membuatku terserang asma akut dadakan.
"Galuh sayangku tidak mati karena melahirkanmu, seperti yang kau percayai selama delapan belas tahun ini, my golden boy. Tapi dia mati karena melarikan diri dariku dan darinya."
Aku mendongak. Rahangku terkatup rapat, mataku nyalang melihat dirinya. Bajingan tengik yang baru saja mengatakan sebuah kisah pilu yang menyayat hati. Dan aku bersumpah. Baik sang raja atau Theo akan menerima balasannya. "Jadi bagaimana? Apa kau akan diam, dan menerima saja takdir membawamu. Atau melawan, dengan melarikan diri?!"
"Maksudmu? Melarikan diri dengan memakai rencanamu?"
Theo menatap mataku yang serupa matanya, ada kilat rasa sedih dan kebencian, "Ada sebuah benda yang kuinginkan. Yang hanya dimiliki sang raja."
Keningku berkerut, mataku memincing dengan defensif.
"Yang kuyakin, kau juga akan mengambilnya jika kau berada di istananya."
"Sebutkan."
"The beloved."
DEG!
Mungkinkah?
"Ya. Lukisan terakhir ibumu. Lukisan tentang dirinya, tentang masa depannya. Mahakarya yang tak akan kau tolak."
Hatiku mencelos.
Inilah takdir yang dibicarakan Theo. Bahwa kami berada pada langit yang sama. Naungan kebencian..
****