Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Deal with the devil (1)

Bagian (A)

.

.

Untuk sesaat, aku merasa kepalaku mendadak pening. Meski kupingku sudah disumpal dengan headphone yang konon katanya meredam suara bising baling-baling dari alat tranportasiku saat ini. Sialnya, aku membawa semua hal yang dianggap primitif oleh lelaki yang kubenci itu. Perutku bergejolak, untuk darah bangsawan yang mengalir di setip sel tubuhku, justru fisikku menolak beradaptasi dengan benda ini.

Keringat dingin meleleh melewati pelipisku. Lelaki itu tersenyum iblis, tapi kemudian mengulurkan sebotol pil.

"Hanya aspirin. Kau terlalu berharga jika kau mati."

Aku menatap manik matanya yang tertutup rayband hitam. Kosong. Hanya mataku sendiri yang terpantul lewat kacamatanya.

Mengeluarkan sebutir pil, lalu menelannya tanpa air.

"Pain make we stronger. How looks like we are." Suara dinginnya terdengar datar, tapi sukses membuat hatiku bergemuruh hebat.

Aku menggigil. Betapa miripnya kita. Kata-kata itu membuatku sakit hati sekaligus takut. Bagaimana jika semua penyangkalanku aku justru menyerupai dia?

Aku berusaha memejamkan mata, mungkin beberapa saat lagi kami akan memasuki kawasan Jepang, aku bisa mencium aroma basah yang asing. Saljukah?

Aku berniat tidur saat mendengar gumaman yang membuat hatiku seakan di remas.

Senandung ini hanya beberapa orang di dunia ini yang tahu. Lagi pengantar tidurku. Selalu dinyanikan jika aku hendak tidur, jika iblis ini menyenandungkan nada yang begitu familiar dikupingku. Hatiku remuk redam, mungkin hancur. Merasakan sakit, sekaligus kerinduan. Bagaimana lelaki ini menyanyikannya. Bagaimana otak alam bawah sadarku merindukannya. Ingatan-ingatan itu berkelebat seperti kaset kusut. Aku pernah dinyanyikan oleh orang ini. Karena aku begitu mengenal suaranya.

"tak lelo lelo lelo ledung

cup menenga aja pijer nangis

anakku sing bagus rupane

nek nangis ndak ilang baguse

tak gadang bisa urip mulyo

dadiyo joko utomo

ngluhurke asmane wong tua

dadiyo pendekaring bangsa

cup menenga anakku

kae bulane ndadari

kaya ndas butho nggilani

agi nggoleki cah nangis

tak lelo lelo lelo ledung

cup menenga anakku cah bagus

tak emban slendang batik kawung

yen nangis mudak gawe bingung

tak lelo lelo ledung"

Air mataku tanpa sadar meleleh. Meski hatiku sesak oleh segala kerinduan yang tak dapat ku mengerti. Meski aku harus hidup untuk membencinya, yang sekarang justru gagal total seperti tembok pasir yang tersapu ombak pantai. Aku runtuh, aku menyerah. Mungkin inilah yang dirasakan Eyang Kakung sebelum maut menjemputnya. Bahwa sebenci apapun ia padaku, betapapun ia berusaha membenciku, akhirnya ia harus menyerah, dan mengakui, jika ia mencintaiku. Begitu besar hingga, hanya kebencian yang sanggup menampung segala beban dan juga penderitaan karena takut kehilangan.

Di saat terakhir, ia mengembalikanku pada orang yang menurutnya sanggup memberiku banyak kebencian, karena aku tidak bisa hidup tanpa rasa benci. Tanpa tujuan. Aku tidak bisa hidup dengan membenci diriku sendiri dan menerima begitu banyak cinta. Aku hanya bisa hidup dengan dibenci orang lain agar aku bisa mencintai diriku sendiri.

Hawa dingin membekukan jendela helicopter. Membuat napasku menjadi uap putih. Seumur hidupku, aku belum pernah melihat salju. Dan tak pernah terbayangkan jika aku harus melihat hal seperti itu bersama orang ini.

Ayahku.

Dulu, aku berharap. Jika yang datang ke kantor guru untuk mengambil raportku adalah Ayahku. Hanya sesederhana itu mimpiku.

Karena aku sudah tidak punya ibu, makanya aku berharap, suatu saat ayah akan datang menengok sesekali untuk mengajakku berlibur.

Aku tertawa dalam hati, kini aku bahkan berlibur dengannya di Jepang. Sekaligus membebaskan diri dari Trahvensky. Takdir yang menggiringku menjadi pemilik tahta jika orang bernama Yang Mulia telah benar-benar ingin berhenti.

Aku menarik napas, jika aku harus mati, untuk satu-satunya orang yang mungkin kubenci sekaligis kusayangi, ayahku. Maka aku iklas menerimanya.

Aku merasa bahuku ditepuk. Mataku terbuka.

"Kita akan mendarat, kau harus terjaga.."

Aku cuma mengangguk.

"Matamu merah, hidungmu juga. Kau mungkin kena hypotermia begitu mendarat akan kusiapkan semuanya. Kau hanya perlu beristirahat sebentar."

Anehnya, aku merasa ia sedang menghawatirkan aku. Aku tidak mendengar nada dingin seperti biasanya.

Setelah kami mendarat, sebuah mobil mewah telah menanti kami. Aku meraih tas selempang yang berisi hal penting seperti dompet, handphone dan charger. Meski aku tahu benda elektronik itu belum tentu berfungsi di sini sekarang.

Begitu aku menginjakkan kaki ke tanah, ada orang yang menyelimutiku, dan memberiku kopi panas. Dia menuntunku ke mobil.

Aku duduk di dalamnya bersama Theodore Aldrich Trahvensky.

"Ambil ini." Ia memberiku jaket yang lebih tebal dari yang ku kenakan. Tentu saja ia sudah menyuruh orang membelinya sebelum menjemputku ke sini. Ia pria hebat, dan aku benci mengakuinya.

Aku memakainya meski bibirku terkatup rapat. Harga diriku menolak untuk berterimakasih.

Mobil melaju membelah keriuhan. Aku tiak tahu kami berada di mana, tapi

jalanan benar-benar padat. Entah apa yang dipikirkan orang ini, karena ia meminta mobil menepi.

Ia membawaku ke toko sepatu. Yang aku tak tahu, apa untungnya. Tah sepatu kets ini masih terlihat baru, aku memang beberapa kali memakainya. Tapi Moms yang membelikannya untukku, dan aku bersyukur karennya.

Ia menyuruhku duduk, ia sendiri yang memilih. Dan memilih sebuah sepatu kulit yang agak menyerupai sepatu boot. Mungkin tingginya hanya diatas mata kaki. Tapi kuakui seleranya bagus. Aku suka warnanya yang coklat tua.

"Pakai."

Tak seperti biasanya. Aku hanya diam dan memakainya tanpa penolakan.

Hangat. Ternyata lapisan bulu di dalamnya membuat kakiku hangat di cuaca dingin ini. Diam-diam aku mencatat dalam hati, bagaimana ia tahu nomor sepatuku?

Ia menyuruhku berdiri, sementara ia sendiri melepas syal yang dari tadi ia kenakan. Lalu memakaikannya di leherku.

Dan aku merasa dadaku sesak karenanya. Ia memintaku membencinya, dengan segala arogansi dan juga perintahnya yang mutlak. Tapi baru kali ini aku menanyakan alasan dari semua kebencianku itu.

"Kenapa aku harus membencimu?" Aku mendengar nadaku yang serak, Ia tersenyum sinis seperti biasa, tapi tangannya masih menyimpul syal yang tadi dikenakannya, "Kenapa aku tidak boleh mencintaimu?" Mulutku juga melukai hati nuraniku.

Ia tak lekas menjawab pertanyaanku. Tapi tangannya berhenti di depan dadaku, masih menggenggam syal berwarna abu-abu yang nyatanya telah tergantung. Ia menarik napas, lalu memandang ke luar kaca toko. Memandang hampa kepada lalu-lalang kota Shibuya.

"Karena seperti yang Ki Sastrojoyo bilang kepadamu. Tidak ada iblis yang layak dicintai. Mereka hanya pantas mendapatkan kebencian."

Dadaku sakit. Bahkan jika itu terdengar seperti dia iblis. Mungkin jika ia tak pernah menyenandungkan lagu tidurku. Maka aku akan dengan senang hati membencinya dari ujung rambut hingga ujung sol pantofelnya.

Tapi semua berbeda.

Dia dan aku berubah karena hari ini. Dia menyanyikan senandung tidurku. Dia mengantarku membeli sepatu, memberiku syal yang dipakainya, dan menolak bertatapan denganku selama perjalanan.

Apakah ia ragu, mengirimku ke menara Trahvensky?

Tiba-tiba saja ia terhenyak, melirik sebentar ke jam tangan Omega yang melingkar di pergelangan tangannya dan terkesiap.

"Kita harus bergegas, sebelum Orion merubah tempat pertemuannya lagi."

Setelah membayar sepatuku, ia menyuruhku masuk ke mobil lebih dulu. Ada yang ia tanyakan kepada penjaga toko. Entahlah, aku tidak begitu perduli.

Ia kembali membawa tas, mungkin isinya sepatu. Entah untuk dirinya sendiri atau untuk Mike. Aku sudah puas mendapatkan sepasang sepatu musim dinginku darinya. Dan aku merasa hatiku menghangat karena kenyataan itu. Mungkin kami serupa, mungkin dia dan aku tumbuh dengan banyak kebencian. Tapi satuhal yang kusadari. Bahwa hatiku terlalu peka dan mudah tersentuh. Mungkin itu turunan dari ibuku. Aku belum pernah melihat foto wanita itu sekalipun. Dan katanya, itu memang di sengaja. Apa yang menjadi milik Trahvensky, tidak boleh dimiliki oleh yang lain. Segala foto, dan hal yang mungkin berhubungan dengan ibuku, lagsung di sita atas nama keluarga Trahvensky. Yang artinya, jika aku ingin melihat ibuku, atau fotonya sekalipun, berarti aku memang harus ke Istana Trahvensky (yang lebih suka kusebut menara).

"Kita sampai."

Aku membuka ikatan sabuk pengaman, meraih tas selempang milikku dan mengkikuti langkah lebar milik ayahku.

Kami memasuki sebuah restoran keluarga yang sepertinya familiar. Tentu saja aku tahu bagaimana perasaan ini muncul, karena aku baru saja melihatnya di buku travel yang ada di mobil. Ruangannya di dominasi kayu, dan kami berhenti di salah satu meja.

Dengan seorang pemuda yang beraura dingin seperti Theo dan aku. Dan seorang gadis cantik yang menatap tajam ke arahku. Sang putri..

*****

Untuk hal yang tidak dapat ku pahami, kami duduk terpisah. Aku duduk dengan Andrea, dan para lelaki dewasa itu sibuk berunding.

Aku memandangi uap yang berasal dari cawan teh dihadapanku, berusaha mengabaikan tatapan menghakimi Andrea.

"Katakan padaku, kenapa kau tidak spesial seperti anak Trahvensky yang lain?"

Aku bisa merasakan nada cemburu yang sinis dialamatkan padaku. Aku tersenyum miring yang ku yakin, mirip dengannya. "Untuk menjadi spesial, bukan cassing yang harus dilihat princess. Tapi nilai, yang ada pada darahmu."

"Kau!" Ia meremas serbet di tangannya.

Aku tahu jika kali ini aku menyebalkan, tapi perempuan ini juga menyebalkan.

"Bencilah aku, karena hanya kebencianlah yang mampu membuatku kuat."

Dia terkekeh, aku melihat kehampaan di mata yang serupa Mike itu, "Like father, like son."

"Terimakasih atas pujiannya, saudariku."

"You're not my brother!" Dia menggeram. Lalu senyum sinisnya mengembang. "Kau akan segera bertemu dengan ayah kandungmu, bagaimana rasanya tertipu oleh Theo?!"

Aku tahu itu tidak benar. Aku sengaja dikirim ke sana menuntaskan misi. Dan Theo adalah ayahku, kami bersepakat untuk merahasiakan kebenaran DNA itu. Untuk kebebasanku.

Aku menyunggingkan senyum dingin, "Aku tidak merasa tertipu. Karena sesungguhnya kalian yang tertipu karena kehadiranku. Jadi bagaimana rasanya terluka karena kenyataan Andrea?"

Ia menyipitkan mata,

"Bahkan Mom memberiku nama panggilan."

Aku dapat mendengar giginya yang bergemelutuk.

"Aku mendapatkan segalanya, Andrea. Mom dan juga Dads. Jika kau pikir mengapa Dads rela menukarku denganmu, itu karena aku lebih berguna jika berada di sana. Bukan karena kau spesial. Kau tahu teori itu."

"Damn you Miro!"

"O-oh. Kau bahkan sudah mengenal namaku. Memang benar, lebih baik dibenci daripada diabaikan."

"Tutup mulutmu!" Ia berdesis, "Kau akan disingkirkan. Percayalah, hukum karma berlaku. Orion, atau Luigi, atau bahkan si kembar Bianco-Bianca mungkin akan menyingkirkanmu dari tahta. Sang ratu tidak akan membiarkan orang yang mencuri kehidupan suaminya tetap hidup. Mafia Italy kadang bisa lebih kejam."

Aku terkekeh, "Setiap Trahvensky tidak takut mati. Kami tidak lahir atas nama cinta kasih. Kami adalah anak yang dibesarkan masa lalu, dan ditempa oleh masa depan. Ada harga untuk kebebasan, Andrea."

Ia berdengus, menertawai jalan pikiranku.

"Teori lari dari takdir keluarga ini cuma satu. Kematian." Lanjutku.

"Dan kau akan mati karenanya!"

"Suatu kehormatan mati sebagai seorang Trahvensky. Karena hidup kalian sudah penuh dengan rasa benci."

Dia tersenyum sinis, "Matilah kau!"

Aku tersenyum mencemo'oh, "Arigatou."

Perbincangan kami berhenti saat mendengar suara pantofel beradu dengan lantai kayu. Theodore mendekat, "Ayo Andrea,"

Si empunya nama bangkit, lalu hendak berlalu pergi.

Inikah akhirnya. Lelaki dengan punggung dingin itu akan meninggalkanku lagi tanpa ada kata terucap? Bahkan tanpa selamat tinggal? Ini jauh menyakitkan dari yang sebelumnya. Lebih menyakitkan ketika aku tahu ia mengingat banyak hal tentangku dan aku tak tahu apapun tentang dirinya.

Jadi aku bangkit dan memanggilnya. "Tunggu!"

Mereka berhenti berjalan, dan menoleh ke arahku.

Aku menarik napas panjang. Ini adalah perundingan hatiku untuk iblis yang membuatku terlahir ke dunia.

"Live well." Aku mengucapkannya dengan setulus hati.

Ya hiduplah dengan baik. Agar aku mengenang jika aku masih punya orang tua di dunia ini.

Dia tersenyum sinis.

Aku merasa bahuku di tepuk. Orion sudah mengintruksikan aku pergi bersamanya. Aku mengagguk dan segera mengambil tasku. Aku menatap dada yang dingin miliknya, dan juga Andrea yang menatapku penuh rasa ingin tahu.

"Domo arigatou, oyaji.."

Ku lihat ia menegang. Aku tahu ia mengerti artinya. Hari ini untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku memanggilnya ayah. Dan aku telah berdamai dengan iblis itu. Iblis yang menyanyikan nina bobo paling ingin kudengar sepanjang hidupku. Terimakasih.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel