11. Universe (2)
.
Waktu cepat berlalu, sampai Angin tak mendengar ketukan Izarus. Ia membawakan Angin satu setel pakaian formal. Angin benci pesta. Dan Angin tentu saja tidak akan tunduk karena protokol apapun. Angin justru membuka walk in closset miliknya. Tersenyum senang saat mendapati ada jaket kulit dan juga kaos putih yang pernah ia kenakan. Mom sangat baik dengan memilihkan baju itu untuknya. Dan entah negoisasi yang bagaimana, hingga baju-baju yang dikenakannya selama di Indonesia telah dikirim ke Menara Trahvensky. Ia melihat wajahnya di cermin, warna rambutnya telah kembali. Kembali ke warna tembaga lagi. Padahal ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadikannya hitam, serupa bangsanya. Namun karena rumitnya masalah yang dihadapinya akhir-akhir ini membuatnya lupa, dan menunjukkan identitas yang sebenarnya. Hanya kenyataan pahit, bahwa pupilnya sewarna debu, rambutnya tembaga. Tidak ada identitas bangsa milik ibunya selain nama yang ia pakai sekarang. Mataangin Jayalangit. Tiba-tiba ia terkesiap.
Menyadari namanya sendiri. Siapakah? Siapakah pemberi nama itu? Ibunyakah? Atau pria busuk yang kini menjadi raja. Jayalangit dalam bahasa Inggris ditulis sebagai sky of victory atau jika itu menyangkut klan bisa ditulis menjadi bahasa Indonesia, trah (garis darah = sansekerta) ven mungkin mengacu pada kata von (dari = bahasa Belanda). Jadi apakah yang dimaksud adalah Mataangin garis darah dari langit?
Jika Mataangin yang dimaksud adalah navigasi, petunjuk arah, maka bisa berarti..
Petunjuk arah bagi darah yang berasal dari langit?
Dalam bahasa yang lebih simpel, Prophet. Nabi? Siapa orang yang telah lancang memeberi nama sedemikian rupa?
Angin gusar, ibunya tentu tidak akan memberinya nama dengan begitu jumawa.
.
Pikirannya kusut bahkan saat ia menyadari hanya memakai kaos dan juga jaket kulit ketika ia sampai ruang perjamuan.
Semua mata menatapnya seperti domba dalam kawanan serigala. Berniat menghabisinya dalam sekali serangan.
Namun begitu, atensi Angin hanya tertuju kepada orang yang memancarkan aura paling dingin di ruangan. Di ujung meja, sang raja menatapnya hampir tanpa berkedip. Mengulitinya tanpa ampun. Ia tahu, ia sangat tidak sopan terhadap raja yang telah mengundangnya dalam perjamuan.
.
"Apakah tahta telah membuatmu begitu yakin sehingga kau merendahkan kami dengan bertingkah seenaknya?"
Suara lirih yang lembut itu terkesan satir di telinga Angin. Seoarang wanita bergaun hitam memandangnya sinis.
Angin tersenyum miring, menarik kursi dan duduk dengan tenang. Solah sindiran itu hanya rengekan anak berusia lima tahun. Ia mengabaikannya, membuat semua orang geram.
"Apakah ini caramu menghormati kehadiran sang raja? Bahkan diundang jamuan langsung pun kau menghinanya?" Suara geraman berasal dari bangku lain.
.
Kali ini Angin merasa meluruskan sesuatu.
"Sebenarnya saya telah mengajukan persyaratan. Bahwa selama saya di sini, saya tidak menemui sang raja secara langsung. Semua hal yang berkaitan dengan saya akan melalui protokoler dengan Izarus, sebagai guardian saya."
.
Makan malam mendadak heboh, suara berbisik-bisik berdengung di udara. Menyisakan rasa pahit di dada Angin.
Angin tahu, betapa kurang ajarnya dia sekarang. Bagaimana mungkin mereka di suruh berkomunikasi dengan orang yang tak bisa bicara sekalipun? Bukankah itu artinya Angin menantang mereka semua. Menghina mereka semua. Tapi Angin memang bertekad mengahancurkan semua tradisi hingga luluh lantak. Tradisi yang membuat ibunya mati dengan perasaan sakit dan juga kesepian.
.
"Miroceanic! How dare you are!" Salah seorang tetua bangkit dari kursinya menunjuk wajah Angin dengan telunjuk yang mengacung padanya.
Angin hanya tersenyum sinis. Inilah yang ia harapkan kebencian. Baginya kebencianlah yang menguatkannya. Bukan cinta yang hanya membuatnya rapuh.
.
"Orang yang hebat bukan orang yang mengendalikan segalanya, tapi mampu mengendalikan dirinya sendiri." Angin berkata datar, seolah perkataannya memang didengarkan. Kepercayaan diri itu menguar dari tubuhnya.
.
Edgar tersenyum di balik gelas bertungkai panjang yang telah berisi wine. Diam-diam bangga terhadap putranya yang telah lama hilang. Memuji betapa anak yang baru genap delapan belas tahun itu berubah banyak. Dari si manja yang selalu bergelung di dadanya, menjadi anak yang begitu kuat akan tekanan. Angin memiliki semua yang dibutuhkan seoarang pemimpin. Keteguhan hati dan juga kharisma.
.
"Seorang raja tahu bagaimana menjadi raja. Dan aku tidak pernah meminta menjadi raja untuk kalian. Karena aku adalah raja untuk diriku sendiri."
Seseorang bangkit dari tempat duduknya, lalu mengacungkan pistol ke arahnya. Membuat suasana tegang kian memuncak menimbulkan suasana mencekam yang aneh. Assistant sang raja bertindak cepat dengan mengeluarkan pistol dari balik sakunya, namun begitu Edgar menghentikannya dengan mengangkat sebelah tangannya. Ia masih ingin melihat bagaimana anaknya mengatasi masalah itu. Namun jika situasi berubah tak terkendali, ia akan menanganinya sendiri. Mengambil tindakan yang diperlukan.
.
Miroceanic tersenyum penuh kemenangan, "Jika peluru adalah batasan yang kau hadapkan untukku, makan bunuhlah aku dengan pelurumu. Tapi saat kau menarik pelatuknya. Maka takdirmu juga sampai pada batasnya. Bukan hanya takdirmu sendiri, tapi juga seluruh keluarga yang kau naungi.."
"Kau bertindak arogan, anak muda." Lelaki yang seumuran dengan Theo itu masih mengacungkan pistolnya.
Miroceanic mengangkat gelas bertungkai panjangnya, mendekatkan ujung permukaan gelas ke hidungnya, menghirup aroma wine itu dengan anggun, seolah ia begitu ahli. Ia adalah pemain peran yang begitu berbahaya.
.
Edgar tahu, anak itu justru menuju seperti dirinya, atau bahkan lebih buruk. Ada ketakutan tersendiri yang menyelip di hatinya, apakah tindakan Luh untuk menjauhkan dirinya dengan Angin adalah benar adanya? Angin hanya akan menjadi monster yang lebih berbahaya ketimbang dirinya. Ambisi dan juga arogansinya akan membuat Angin kesepian. Ya, kadang menjadi yang terbaik harus menempuh jalan sepi yang membuatnya terasing dari hangatnya cinta.
.
"Yang paling atas dari sebuah rantai makanan adalah predator. Tapi kalian lupa, bahwa ada yang lebih kuat daripada itu. Yang paling bawahlah yang paling kuat. Dekomposer. Pengurai. Karena setiap predator manapun selalu kalah akan takdirnya sendiri, kematian."
Semua mata menatap Angin yang duduk dengan tenang di bangkunya,
"Dan aku tidak takut untuk mati." Si pewaris mengangkat gelasnya. Menatap ke dalam indra sewarna abu-abu pekat yang semenjak tadi menatapnya denagan pandangan memburu. Sang raja memberikan tatapan setajam elang, yang hanya dibalas dengan seringai menantang dari Angin.
.
Bahkan anaknya sendiri mengirimkan sinyal ancaman kepada sang raja.
Edgar merasa batinnya dicabik, Angin tidak tumbuh seperti Galuh yang menanamkan cinta kasih. Atau tumbuh serupa Theo yang memiliki hati yang lebih lembut dari dirinya, atau mengajarkan ketulusan cinta. Edgar hanya melihat bayangannya sendiri ketika ia masih muda. Keangkuhan dan dendam yang membara.
"Bukankah hidup itu sederhana." Angin memulai lagi sebelum menyesap wine di gelasnya. "Untuk setiap darah yang tumpah. Aku akan memberikan luka yang lebih lebar untuk mereka. Bencilah aku, seperti kalian membenci dari mana aku berasal." Angin berkata dingin. Meraih serbet, mengelap mulutnya sebentar lalu berdiri.
.
Semua mata memandangnya dengan tatapan menilai. Mereka tenggelam dalam dunia yang baru saja diciptakan si pewaris.
Meninggalkan Orion yang menyeringai, dan seorang raja yang baru saja kehilangan anaknya.
.
Edgar sadar, bahwa mengembalikan Angin kepada tahta sama halnya juga membunuh anaknya sendiri. Hanya menegaskan bahwa ia berhasil menciptakan pewaris yang lebih prodigy dari dirinya. Yang tersisa hanya penyesalan. Bahwa anak itu telah melupakan kasih sayang sebagai keluarga. Angin yang sekarang adalah anak milik masa depan, bukan anak yang selalu dibanggakannya di masa lalu. Bukan putra yang bergelung manja di dadanya, tapi anak yang berani menantangnya.
.
Inilah dunia yang diciptakan oleh raja sendiri.
.
Keegoisannya di masa lalu membuatnya tak lagi memiliki saudara. Ia juga kehilangam wanita yang paling dicintainya karena mempertahankan harga dirinya sendiri. Dan ia juga menciptakan kebencian lain di dalam putra kesayangannya. Angin pasti tahu, setelah ibunya meninggal, ia menikah lagi. Dengan seoarang putri kerajaan mafia di Italy. Bermaksud untuk melebarkan sayap, ia juga melebarkan jarak dengan Angin.
Tentu anak itu menyadari bahwa ibu tirinya berniat melenyapkannya. Ironis, demi tahta yang sama, sebenarnya Edgar justru telah membunuh anaknya. Jauh.. jauh sebelum hari ini.
.
.
*****