Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

HAPPY READING

***

Lovi berusaha tenang, ia menatap pria di hadapannya, “Kalau boleh tau, nama bapak siapa?” Tanya Lovita penasaran, jujur ia tidak tahu siapa nama pria itu.

“Saya Christian.”

Christian tersenyum tenang sekeligus senang melihat sikap Lovi yang terlihat gugup. Tidak hanya itu Tio dan Indra juga menatapnya bingung. Ia juga tidak mengerti kenapa ia ingin menemui wanita ini.

Di situasi ini mungkin mereka beranggapan kalau ia seperti pria yang berhasil menangkap buronan, hingga wanita itu menatapnya selalu mengerikan dan ketakutan.

Christ menatap wanita itu secara lekat, dia mengenakan jas berwarna biru dan rok sepan berwarna lebih pekat dari jasnya. Rambut panjangnya yang berwarna coklat tergulung ke belakang, hingga garis wajahnya terlihat jelas. Wanita inilah yang tidur dengannya kemarin malam, lalu paginya wanita itu pergi meninggalkannya begitu saja. Ia sudah melihat tubuh wanita itu balik baju kakunya. Dia tidur tanpa batas. Tapi ia tidak peduli akan hal itu.

“Kamu ingat saya?” Tanya Chirt pada akhirnya..

Lovi menelan ludah, ia masih ingat betul bahwa pria inilah yang membungkusnya kemarin malam. Ia benar-benar tidak bisa bekata-kata, berhadapan dengan pria ini. Benar-benar tidak paham, kenapa bisa pria itu menemuinya.

“Tidak, saya tidak ingat. Apa kita pernah kenal?” ucap Lovi gugup, seketika bibirnya kelu melihat senyum culas yang diperlihatkan oleh Christ.

Christ tersenyum penuh arti, terlihat menarik menurutnya. Wanita itu masih belum mengaku apa yang telah terjadi pada mereka.

“Ibu Lovita nggak kenal pak Christ?” Ucap Indra menyeletuk begitu saja.

Lovita menoleh menatap pria mengenakan kemeja putih itu. Pria itu sempat ngobrol dengannya untuk menemaninya minum. Dia menyebut pria bernama Christ itu dengan sebutan boss. Ia yakin kalau pria itu adalah asisten si Christian.

“Enggak, saya tidak kenal. Apa saya terlihat seperti mantannya?” Tanya Lovita begitu saja, kata-kata mantan keluar begitu saja dari mulutnya. Ia kembali memandang Christ, pria ituu menunjukkan senyum mautnya. Jantungnya lalu berdegup kencang.

Christ melihat jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 12.10 menit, “Sepertinya, obrolan kita lebih nyaman kalau kita sambil lunch.”

“Tidak bisa, karena saya masih banyak kerjaan.”

Christ mengangguk paham, ia menatap iris mata bening itu dia mengambil sesuatu dari dompetnya, “Saya mengambil ini dari tas anda, saat malam di mana saya dan kamu berada di kamar hotel bersama saya,” Christ menyerahkan kartu itu dari dompetnya.

Mata Lovi melotot, ia melihat kartu namanya di letakan di meja, sementara Christ tersenyum penuh arti, “Apa kamu ingat,” Christ menggantungkan kalimatnya.

“Saya yakin kamu ingat saya. Saya ada beberapa foto yang saya simpan di galeri ponsel saya saat kita di ranjang yang sama. Mungkin kamu akan ingat kejadian malam itu,” ucap Christ lagi.

“Maksud kamu?”

“Kamu tahu maksud saya,” ucap Christ tersenyum culas.

Lovi gugup luar biasa, ia melihat kilatan mata tajam yang tidak terbantahkan dari pria itu. Pria itu bukan siapa-siapanya, kenapa berani sekali mengancamnya. Ia seperti wanita tidak berdaya, dari tatapan itu mengatakan TURUTI atau SABAR. Tentu pilihan yang sulit. Ia ingat dalam keadaan bangun ia hanya mengenaka bra dan celana dalam di selimut yang sama. Apa pria itu menyimpan foto vulgarnya, dan mengancam menyebarkan ke media.

Lovi menarik napas, ia menatap kilatan mata tajam yang memperhatikannya. Lovi tidak ada pilihan lain selain mengiyakan ajakan itu. Jika dia mengancam, ia akan bersiap-siap merekam ancamannya dan memberikan bukti kepada pihak yang berwajib untuk mendapat perlindungan.

Christ mendengar helaan napas berat, ia yakin wanita itu menggerutu dan memakinya. Christ menikmati reaksi itu di wajah Lovi.

“Apa mau anda sekarang, tuan?”

“Membicarakan apa yang telah terjadi diantara kita. Sepertinya kita bisa makan di restoran sebelah, siapa tau ada win win solution di antara kita.”

“Saya tidak pernah berurusan dengan anda pak.”

“Tapi kali ini kamu berurusan dengan saya. Dan urusan itu belum selesai. Kamu tinggal ikut saya, dan permasalahan akan selesai.”

“Tapi ini jam kerja saya!” Hardik Lovi.

“Ini sudah jam makan siang, right?”

Lovi memicingkan matanya menatap dua orang pria yang sedari tadi mendengar percakapan mereka, “Bukannya anda ada urusan administrasi di sini. Jelas bukan dengan saya.”

“Ada dua staff saya. Sedangkan kamu ikut saya.”

“Oh, Jesus,” desis Lovi dalam hati.

Lovi beranjak dari duduknya, dia memandang kedua teman kantornya yang memperhatikannya dari kejauhan.

“Okey, saya ke sana sebentar.”

Lovi mendekati temannya yang memperhatikannya dari kejauhan.

“Lo kenal sama nasabah itu?” Bisik salah satu staff kepada Lovi.

“Sebenernya nggak kenal, cuma dia belagak kenal sama gue,” dengus Lovi.

“Ganteng banget tau. Dia kan duda.”

Mata Lovi melotot, “Duda? Serius?”

“Iya, serius kan gue lihat AKTA Perusahaanya. Pak Christian itu duda, dia yang punya Wilmar, perusahaan kelapa sawit.”

“HAH!”

“Ada apa sih, lo sama dia?”

“Nanti gue ceritain sama lo pada. Gue ambil tas gue dulu ya. Dia ngajak gue lunch.”

“Ok, lo hati-hati ya.”

Lovi melangkahkan kakinya menuju ruangannya lagi, ia menatap Edward yang baru turun dari lantai atas, karena Ruangan Edward di sana. Pria itu tersenyum kepadanya, ia tahu kedatangan Edward seperti biasa mengajaknya lunch.

“Lov, lunch yuk,” ucap Edward memandang Lovi.

Jika boleh memilih, ia lebih baik makan bersama Edward dibanding Christ. Christ itu penuh ancaman menurutnya, ia bisa gila jika pria itu menyimpan foto-foto vulgarnya yang dia simpan di geleri ponselnya.

“Maaf Ed, aku harus nemenin nasabah prioritas lunch di luar. Kamu nggak apa-apa kan, kali ini lunch sendiri.”

Edrwad mengerutkan dari, “Owh ya? Tumben. Siapa?”

“Namanya Christian. Biasalah ngobrolin benefit,” ucap Lovi, dia masuk ke dalam ruangannya mengambil tas kerjanya. Sementara Edward memperhatikan Lovi.

“Makan di mana?” Tanya Edward, karena tidak biasanya ada nasabah mengajak Lovi ke luar seperti ini. Ia tahu kalau Lovi itu orang lapangan, namun tetap aja terasa aneh makan bersama nasabah prioritas, biasa staff-staff Lovi lah yang menjadi juru sibuk.

“Tau deh, dia yang pilih tempat. Yaudah deh ikut aja. Deket-deket sini sih palingan.”

“Kamu hati-hati ya Lov. Nasabahnya cewek apa cowok?” Tanya Edward penasaran.

“Cowok.”

Edward mengerutkan dahi, jujur ini tidak biasa. Ia penasaran siapa pria yang mengajak Lovi lunch di luar. Edward menatap Lovi keluar dari ruangannya sambil memegang handbag nya.

“Siapa nama nasabah itu?”

“Christian.”

Edward mengikuti langkah Lovi hingga ke ruang prioritas karena rasa penasarannya cukup besar. Di sana ada beberapa staff dan tamu. Edward menghentikan langkahnya menatap seorang pria beranjak dari duduknya. Ia yakin pria itulah bernama Christian. Mereka saling menatap satu sama lain, pria itu tanpa senyum memandangnya.

Sementara Lovi mendekati Christian, ia menoleh ke belakang menatap Edward yang memperhatikannya. Christ memandang pria yang tadi keluar bersama Lovi, ia tidak tahu siapa pria itu, yang jelas dia terlihat over protective kepada Lovi.

“Apa dia pacar kamu?” Tanya Christ penasaran.

“Bukan, hanya teman.”

“Yakin hanya teman?”

“Itu bukan urusan kamu.”

Christ menyungging senyum mereka melangkah keluar melewati lobby. Lovi melihat Christ berada di sampingnya,

“Kita ke restoran sebelah,” ucap Christ memberi arahan kepada Lovi.

Lovi tidak menjawab namun dia mengikuti langkah Christ melewati trotoar. Tempat kerjanya berada di SCBD di mana banyak restoran berbintang di sini. Mereka melangkahkan kakinya menuju Bistecca, ia pernah beberapa kali ke restoran ini bersama teman-temannya dan kadang juga bersama Edward mantannya.

Lovi dan Christ masuk ke dalam, jujur ia suka desain classic dan intimnya. Tempatnya memang tidak begitu luas dan kalau ramai ada waktu maksimalnya. Ia melihat ada beberapa table kosong, mereka duduk di salah satu kursi di dekat jendela.

Lovi menatap waitress datang membawa buku menu berbahan kulit. Lovi melirik Christ menatap menu itu.

“Kamu mau pesan apa?” Tanya Christ memandang Lovi.

“Saya pesan wagyu beef carpaccio, caffe latte, mineral water, dan dessertnya signature baked Alaska,” ucap Lovi, ia memang memesan makanan yang sering ia pesan sebelumnya.

“Kamu pasti sudah sering ke sini,” ucap Christ lalu tertawa.

“Sok tau!” Dengus Lovi dalam hati.

Christ mengalihkan pandangannya ke arah waitress, “Saya pesan bistecca Caesar salad, iberico pork collar, dan mineral watter,” ucap Christ.

Waitress itu mengulang pesanan mereka, dan setelah itu meninggalkan table. Christ menatap Lovi yang hanya diam tanpa menatapnya.

Christ menarik napas, “Kamu pasti mengenal saya.”

“Saya belum mengenal anda sebelumnya, dan baru hari ini saya mengenal anda.”

Chirst ingin sekali membungkam bibir wanita itu setiap kali membantah ucapaya, “Kita tidur bersama di kamar hotel. Lalu keesokan paginya kamu kabur, meninggalkan saya sendiri.”

“Memang seharusnya seperti itu kan.”

“Foto apa yang kamu simpan di galeri ponselmu?” Tanya Lovi to the point, ia tidak mau berbasa-basi terlalu lama.

Christ tertawa, “Ternyata itu yang kamu takutkan.”

“Jelas, tadi kamu mengancam saya. Hingga saya mengiyakan ajakan anda ke sini.”

“Apa kamu berpikiran kalau saya mengambil foto telanjang kamu?”

“Iya, tentu saja. Apalagi kan!”

“Kalau lebih dari itu?”

“Maksud kamu …” mata Lovi lalu melotot.

“Maksud kamu video?”

Christ tertawa melihat ekspresi wajah Lovi, “Yups, sepertinya begitu,” ucap Christ.

“Sudah lupakan saja, itu tidak penting untuk saya.”

“Tapi itu penting bagi saya.”

“Owh ya?”

“Itu ancaman buat saya. Paham!,” ucap Lovi diplomatis.

Christ tersenyum culas, “Kita bahas prihal kejadian kemarin malam.”

“Saya tidak ingat apa-apa.”

“Saya yakin kamu ingat, waktu itu kamu masih sadar.”

“Apa yang akan kamu bahas,” ucap Lovi ia semakin ragu dengan pria di hadapannya ini.

Christ menarik napas, ia memandanng Lovi cukup serius, “Okey, kemarin malam kamu cerita kepada saya di meja bar. Kamu memohon kepada saya untuk meminta pekerjaan sebagai freelance. Kamu bercerita kepada saya kalau kamu mau menjadi lady companion di club itu, namun sahabat kamu bernama Iren melarang kamu masuk ke dunia prositusi.”

“Kamu juga menceritakan kalau kamu butuh uang untuk membiayai ibu kamu.”

Lovi menutup wajahnya dengan tangan, ia tidak percaya kalau malam itu ia justru mengeluarkan uneg-unegnya kepada pria sinting ini.

“Dari pada kamu menjual tubuh kamu kepada club malam itu. Lebih baik kamu menjual diri kamu kepada saya. Dan jelas itu lebih aman untuk kamu.”

Christ membuka tas kerjanya, ia mengambil dompetnya di dalam, ia lalu mengeluarkan uang dollar yang tersusun rapi di sana sebanyak 20 lembar dengan nominal lembaran $100 dollar di dalam dompetnya. Ia juga mengambil uang segepok 10 juta yang masih tersegel di sana. Uang itu ia perlihatkan kepada Lovi secara terang-terangan kepada wanita bernama Lovita.

“Saya tahu kamu butuh ini,” ucap Christ.

“Kalau kamu main oke, akan saya tambah lebih dari ini.”

Oh God! Ia tidak bisa berkata-kata melihat tawaran Christ, membelinya dengan segepok uang di tangannya untuk mereka bersenang-senang.

“Apa kamu mau menerima tawaran saya?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel