Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

HAPPY READING

***

Beberapa jam kemudian,

Iren pamit pulang, karena Edward akan ke sini membawa cake dan asinan sayur untuknya. Lovi menatap ke arah lobby di sana sudah ada Edward. Dia mengenakan kaos polo berwarna putih dan celana jins. Rambutnya di sisir rapi, seperti biasa dia sangat tampan. Ah ya, pria yang memiliki orientasi yang sedikit menyimpang memang selalu menjaga penampilan dengan baik.

Lovita tersenyum kepada pria itu, ia melangkahkan kakinya mendekati Edward, dia membawa paperbag berwarna hitam, dan menunjukkan kepadanya.

“Hai,” ucap Edward memandan Lovita tetap di hadapannya,

“Hai,” Lovita tersenyum kepada pria itu.

“Ini dari mami,” Edward menunjukkan paperbag itu kepadanya.

Lovita mengambil paperbag itu dari tangan Edward, “Terima kasih.”

“Mau masuk?” Tanya Lovita menawarkan diri kepada Edward.

Edward mengangguk, “Boleh.”

“Kamu hari Minggu nggak ke mana-mana kan?” Tanya Edward mengikuti langkah Lovi.

“Enggak, aku nggak ke mana-mana,” ucap Lovita, padahal sebenarnya ia ingin melanjutkan tidurnya.

Lovita melangkahkan menuju lift dan lift membawanya ke lantai atas. Edward memandang Lovi, Lovi adalah mantan kekasihnya yang tidak ia lupakan. Bisa dikatakan kalau Lovi wanita yang paling berkesan yang pernah ia pacari.

Proses pacaran dengan Lovi agak panjang, mereka melewati hari demi hari yang baik dan menyenangkan. Lovi juga satu-satunya wanita yang diterima oleh keluarganya. Ia beberapa kali masuk ke rumah sakit dan Lovi lah yang menemaninya. Yang membuatnya tidak melupakan Lovi karena effort nya, cara dia memperlakukan dirinya, dan dia sangat manis. Ia bersyukur hingga saat mereka masih bisa bersama walau status mereka bukan sepasang kekasih lagi.

Jujur ia memang tidak bisa melupakan Lovi, kecuali amnesia, pikun atau yang lainnya. Otak manusia tidak memiliki program untuk melupakan. Semua kenangan, pristiwa yang tersimpan di pikirannya. Ia memilikinyali yang besar agar mereka bisa kembali lagi, ia tidak peduli di tolak berkali-kali oleh Lovi, yang jelas ia akan berusaha semaksimal mungkin agar mereka bisa bersama.

Edward memandang Lovi yang berdiri di sampingnya. Sampai tahap ini saja ia bersyukur karena tidak diiabaikan oleh Lovi.

“Kamu sudah sarapan?” Tanya Edward memandang Lovi.

Lovi mengangguk, “Iya, sudah. Tadi sarapan sama Iren makan soto. Kamu?”

“Makan sandwich saja di rumah, buatan mami.”

Perlu diketahui kalau Edward masih tinggal bersama orang tuanya. Edward memang asli dari Jakarta dia bukan perantauan seperti dirinya. Lovi dan Edward melangkah menuju koridor yang tampak lengang. Lovi melirik Edward. Rasanya tidak enak jika ia tidak mempersilahkan pria itu masuk. Untungnya Edward termasuk pria yang sopan tidak bertindak macam-macam saat mereka berdua.

Lovi membuka pintu unit apartemennya, dan mempersilahkan Edward masuk ke dalam.

“Duduklah,” ucap Lovi mempersilahkan Edward duduk di sofa.

Edward memilih duduk di sofa, ia memandang Lovi berada di kitchen, ia tahu kalau Lovi sedang membuatkan teh untuknya setiap ia datang ke sini.

“Tadi malam kamu ikut Iren ke club?” Tanya Edward, karena tadi malam Lovi memberitahunya kalau dia sedang menemani Iren bekerja.

“Iya.”

“Pulang jam berapa?”

“Jam dua,” ucap Lovi, ia tidak akan menceritakan kalau ia baru pulang tadi pagi, karena ia tidak suka di tanya-tanya prihal urusan pribadinya.

“I see.”

Lovi meletakan cangkir di meja,

“Terima kasih,” ucap Edward.

Edward melihat ke arah jam tangannya menunjukkan pukul 10.00 wib. Edward kembali menatap Lovi,

“Mami nanyain kamu, kamu sudah jarang ke rumah.”

“Kamu nggak bilang kalau kita sudah putus?” Tanya Lovi.

Edward menggelengkan kepala, “belum, lebih tepatnya nggak sanggup aja. Mami sudah nganggap kamu bagian dari keluarga kita. Mami dan papi pasti kecewa kalau mendengar kita putus.”

“Kamu ikut makan malam lagi ya, mami dan papi anniversary pernikahan akhir bulan ini.”

“Tapi, setidaknya kamu jelasin Ed, sama mami kamu kalau kita sudah putus.”

“Aku masih berharap kita bersama lagi, Lov.”

“Aku ingin kita bersama. Aku tidak akan melakukan hal yang sama. Aku berulang kali mengatakan kalau aku menyesal. Aku merutuki kesalahan yang telah aku perbuat.”

Lovi hanya diam, ia menatap Edward, ia menggelengkan kepala, “Enggak bisa, Ed.”

“Kamu nggak sayang sama hubungan kita? Yang sudah berjalan empat tahun. Empat tahun bukan hubungan yang sebentar Lov.”

“Bukan nggak sayang, tapi semuanyan sudah berubah,” jelas Lovi.

“Aku ingin kita menikah, Lov. Itu yang aku inginkan saat ini.”

Lovi menutup wajahnya dengan tangan, “Enggak bisa Ed. Kita nggak bisa menikah.”

“Apanya yang nggak bisa, Lov. Aku serius sama kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”

Bibir Lovi seketika kelu, ia merasakan tangan Edward menyentuh tangannya. Ini kesekian kalinya Edward minta mereka balikan dan tidak melakukan kesalahan yang lalu. Tentu dengan iming-iming menikah dan komitmen. Ia bukan tidak mau, namun ia berpikir bahwa menikah pun tidak menjamin Edward berubah.

Lovi mendesah panjang, ia merasakan Edward mencium keningnya, lalu menarik tubuhnya lalu memeluknya. Sementara tubuh Edward bersandar pada bantal sambil mengeratkan pelukkannya. Otomatis menarik Lovi bersamanya. Meskipun ia dari desa yang mampu menopang kehidupan sendiri tanpa bantuan siapapun di Jakarta. Terkadang ia merasa ingin melepaskan semua tanggung jawab ini dan membiarkan orang lain memikulnya untuk sementara waktu. Ia juga sedang banyak masalah kekurangan finansial dan carut marut kehidupan. Jika ia menceritakan masalahnya kepada Edward, ia yakin kalau pria itu dengan suka rela membantunya. Edward memiliki banyak sisi positif untuknya, dia sama sekali tidap pelit, dia sangat royal, dia family man, dan dia perhatian dan baik hati.

Lovi mendongakan wajahnya ia merasakan Edward mencium lehernya, pria itu sambil membelai rambutnya. Walaupun ciuman itu dimulai tanpa maksud apa-apa, namun ia menikmati sentuhan Edward. Dulu ia senang ketika Edward mencium lehernya dengan penuh nafsu, lalu sekarang ia merasakan lagi sentuhannya. Rasa geli bercampur nikmat menjadi candu, ciuman Edward yang basah, lidahnya menjilati lehernya, sambil mengigit kecil, merupakan kesukaanya.

Tubuh Lovi sudah terbakar gairah, pikirannya entah hilang ke mana dan jantungnya berdetak terlalu cepat hingga membuatnya sulit bernapas. Sudah lama mereka tidak melakukan ini, Lovi agak terkejut dengan prilaku Edward, ia tidak bereaksi selama beberapa menit.

Edward menyadari kalau Lovi belum meresponnya, ia langsung mengehentikan apa yang sedang dia lakukan dan menarik dirinya. Selama beberapa menit mereka saling terdiam, mencoba memahami apa yang baru terjadi. Dulu sebelum terjadi sebuah kesalahan, mereka sering melakukan hubungan intim paling tidak seminggu sekali mereka melakukannya.

“Aku merindukan kita yang dulu, Lov. Aku mau memperbaiki hubungan kita,” ucap Edward.

Lovi menelan ludah, “Aku belum kepikiran sampai sejauh itu Ed. Maaf, aku perlu waktu,” ucap Lovi, karena memang kenyataanya seperti itu.

Edward mengangguk dan melepaskan diri, ia mengambil cangkir dan menyesapnya secara perlahan. Sementara Lovi menjauh darinya.

“Maaf atas tindakan aku tadi,” ucap Edward.

“Iya, tidak apa-apa.”

***

Keesokan harinya,

Christ menarik napas beberapa detik, ia melihat sebuah foto pada layar ponselnya. Kemarin ia bertemu dengan seorang wanita bernama Lovita wanita itu dalam kedaan mabuk. Lalu tidur bersamanya di kamar hotel. Sialnya, pagi itu dia kabur saat ia tertidur. Kemarin malam ia sempat membuka tas wanita itu, di sana ada kartu nama tertera jabatan dan nomor ponselnya. Ia menyandarkan punggungnya di kursi sambil menyesap kopi buatan Indra sekretarisnya.

“Indra,” ucap Christ memanggil sekretarisnya.

Tidak lama kemudian akhirnya Indra datang, “Iya bos, ada apa?”

“Anterin saya ke bank Central,” ucap Christ pada akhirnya.

“Ke bank Central? Ngapain boss?”

“Uang perusahaan di bank Central ada berapa?”

“Kurang tau boss. Tio manager keuangan lebih tau boss.”

“Nanti sekalian ajak Tio ke bank Central sama saya.”

“Baik bos.”

“Tapi buat apa boss? Ngambil uang?”

“Kamu denger nggak sih, apa yang saya perintahin.”

“Baik boss.”

“Sekarang boss?”

“Iya, sekarang. Kapan lagi?”

“Siap boss.”

Semenjak kejadian kemarin, Christ penasaran dengan dengan wanita itu. Benarkah dia mau menjajakan tubuhnya di club malam? Mau menjadi LC? Kalau iya, ia berani memberikan nominal tinggi kepada wanita itu untuk bersenang-senang bersamanya, karena dia tidak memiliki riawayat kerja di SPA dan karaoke, jadi aman untuk dirinya.

Christ menanda tangani dokumen-dokumen di hadapannya. Tidak lama kemudian Tio dan Indra datang ke ruangannya.

“Mau pergi sekarang pak?” Tanya Indra.

Chirts mengangguk, “Iya.”

“Sudah hubungin pihak banknya, kalau kita mau ke sana?”

“Sudah pak.”

“Oke,” Chirts beranjak dari duduknya.

“Apa kita mau narik uang pak?” Tanya Tio, karena tidak biasanya bossnya seperti ini.

“Saldo di bank central ada berapa?”

Tio memberikan laporannya kepada Christ, “Ini pak, ada semua di sini laporan keuangannya.”

“Mau ditarik berapa pak?” Tanya Tio penasaran.

“Belum kepikiran mau ditarik berapa?”

“Untuk apa pak?”

Christ mencoba berpikir, “Untuk perusahaan baru saya?”

“Baik pak.”

Christ menyandarkan punggungnya di kursi, itu hanya alasannya saja untuk bertemu dengan wanita bernama Lovita.

Tidak berapa lama kemudian akhirnya mereka tiba di bank Central. Chirst keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya menuju lobby. Ia menatap security dengan ramah menyambut kehadiran mereka. Di lobby ada beberapa nasabah sedang mengantri di sana.

Christ melihat beberapa staff menyambutnya dengan ramah. Christ menatap dua staff di hadapannya dan menyambut uluran tangan mereka.

“Senang bertemu dengan pak Christ.”

“Saya juga.”

“Ada staff bernama ibu Lovita di sini?” Tanya Christ to the point.

Staff itu saling berpandangan, “Ada pak, manager marketing kita namanya Lovita.”

“Saya ingin bertemu dengannya.”

“Baik pak. Ditunggu sebentar.”

Tio lalu menoleh menatap Christ dengan mata terbelalak, “Boss? Lovita yang di club itu kan?”

“Iya, dia.”

“Ngapain boss nyari dia?”

“Itu urusan saya Indra.”

“Jadi tugas saya dan Tio di sini, ngapain boss?”

“Tanya-tanya saja prihal keuntungan memiliki dua rekening atas nama perusahaan yang berbeda.”

“Baik boss.”

Sementara di sisi lain, Lovita berada di ruangannya, ia mendengar suara ketukan. Lovi melihat ada staff di dekat daun pintu.

“Iya, ada apa?” Tanya Lovi.

“Ada nasabah prioritas ingin bertemu dengan ibu.”

Alis Lovi terangkat, “Saya?”

“Iya, ibu.”

“Tumben.”

“Beliau bilang mau bertemu dengan ibu.”

Lovi menarik napas, ia mengigit bibir bawah, ia penasaran nasabah prioritas mana yang ingin bertemu dengannya. Lovi keluar dari ruangannya, dia melangkah menuju ke ruangan nasabah prioritas. Langkah Lovi terhenti ia memandang seorang pria mengenakan kemeja hitam dipadukan dengan blezer berwarna abu-abu. Rambutnya tersisir rapi, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Matanya terbelalak kaget, karena dia mirip dengan pria yang tidur dengannya di kamar hotel, ia sungguh tidak percaya bahwa mereka bertemu di sini. Pria itu berdiri melangkah mendekatinya.

“Dengan ibu Lovita?” Tanyanya lalu mengulurkan tangan kepadanya.

Lovi terdiam beberapa detik, ia masih nyaris tidak percaya. Ia menelan ludah, ia tidak tahu harus bagaimana. Ia membalas uluran tangan pria itu.

“Iya, saya Lovita.”

“Senang bisa bekenalan dengan anda.”

“Saya juga. Silahkan duduk,” ucap Lovi, ia tetap bersikap professional melayani nasabah ini, karena dia prioritas di sini.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel