Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

Happy Reading

***

Akhirnya mereka tiba di unit apartemen, untung saja ini hari Minggu ia dan Iren sama-sama libur kerja. Iren duduk di sofa sementara Lovi mengambil mangkuk dan sendok untuk mereka sarapan. Iaa memang tidak mengijinkan perutnya kosong ketika mabuk. Makanan hangat bisa membantunya mengatasi rasa mual, ia juga membuat teh hangat untuk mereka. Karena langkah selanjutnya setelah mengisi perut ia akan tidur.

Lovita memandang Iren menuangkan soto ke dalam mangkok, ia duduk di samping Iren. Ia menghidupkan kipas angin. Iren mulai mencicipi soto kuah yang ia beli.

“Hemmm enak, lo cobain deh.”

Lovita menyendok kuah itu, rasanya emang enak, “Lo beli di mana?”

“Di lobby apartemen gue sih.”

“Enak.”

“Gue tadi iseng beli, nyobain,” ucap Iren terkekeh.

Iren memandang Lovita, ia ingin tahu apa yang terjadi tadi malam, “Lo tadi malam gimana? Kok bisa dibungkus sih sama cowok di club?”

“Apes banget gue malam itu, emang mabok berat gue. Bangun-bangun gue udah di kamar hotel.”

“Lo ML sama dia?” Tanya Iren penasaran.

Lovita mengedikkan bahu, “Enggak tau, gue nggak inget.”

“Lo pakek baju nggak tadi bangun?”

“Enggak.”

“Lo udah di apa-apain tuh sama tuh cowok.”

“Tapi, gue masih pakek bra sama celana dalam, Ren. Enggak ada tuh bau-bau sperma, yang ada di pikiran lo.”

“Barang-barang lo semua aman?”

“Aman dong,” ucap Lovita, dia memakan soto dengan tenang.

Iren kembali berpikir, “Cowok yang tidur sama lo itu kayak apa?”

“Kenapa?”

“Ya, pengen tau aja, siapa tau gue kenal. Biasa cowok-cowok yang suka ke club, gue kenal.”

Lovita menarik napas, ia kembali memakan sotonya, “Kayak gimana ya. Susah juga gue jelasinnya. Mukanya tuh kayak familiar, tapi gue nggak kenal.”

Alis Iren terangkat, “Owh ya?”

“Kayak artis. Tapi enggak tau artis siapa?”

“Serius, itu artis?”

“Tapi gue nggak yakin. Gue bangun dia tidur tengkurep, samar-samar gitu.”

“Hemmm, siapa ya?” Iren mulai berpikir.

“Hidungnya mancung, alisnya tebel, kulitnya bersih, tapi nggak terlalu putih.”

“Siapa ya? Lo nggak tau namanya?”

“Enggak, kan nggak kenalan. Tau-tau gue udah di tempat tidur bareng dia.”

“Yaudah deh, yang penting lo aman.”

Lovita memandang sahabatnya, “Ren.”

“Hemmm, kenapa?” Iren menatap sahabatanya.

“Gue bisa pinjem duit lo nggak? Satu juta aja deh, buat nyambung hidup sampe akhir bulan.”

“Iya, gue pinjemin. Yakin cukup satu juta?”

“Iya cukup, buat transportasi sama makan aja,” ucap Lovita, ia bersyukur memiliki sahabat yang care kepadanya. Sekarang ia lebih sering bersama Iren dan Angel, karena kedua sahabatnya itu masih berstatus single. Sedangkan Bianca dan Clara sudah menikah, mereka lebih banyak menghabiskan waktu kepada keluarga kecilnya. Sesekali mereka berkumpul sebulan sekali, namun yang selalu ada Angel dan Iren untuk saat ini.

Lovi melihat pesan masuk, ia memandang nama Edward di sana. Edward adalah mantannya yang dulu pernah ia pacari empat tahun lamanya. Menurutnya empat tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun kandas begitu saja.

“Siapa?”

“Edward.”

“Ngapa lagi dia?”

“Biasa, ngasih perhatian-perhatian gitu.”

“Mau minta balik lagi?”

Lovi mengangguk, “Iya, udah lama sih dia minta balik terus.”

Semua teman-temannya tahu kalau Edward mantannya. Edward adalah pria yang baik, smart, tidak menggurui, bahkan sang mama pun cocok dengannya, saking sopan dan pintarnya mengambil hati orang lain. Selama ia pacaran dengan Edward mereka jarang sekali berantem, kalaupun berantem tidak pernah sampai diem-dieman berhari-hari, paling dalam sejam sudah baikkan.

Sahabat-sahabatnya juga selalu menganggap bahwa mereka pasangan paling harmonis dan saling melengkapi satu sama lain, cocok pokoknya. Tapi tetap saja, tidak ada yang sempurna di muka bumi ini. Satu tahun yang lalu mereka menjalani LDR karena Edward dipindahkan tugas ke Bandung, komunikasi masih terjaga dengan baik. Cuma ia merasa mulai aneh dengan pacarnya ini, tiba-tiba dia punya teman baru yang tidak jelas asal usulnya.

Keanehan itu berlanjut pertengahan tahun ini, dia makin banyak main dengan orang yang ia tidak tahu sebelumnya. Ketika ia tanya kenapa, di mana, atau asal mereka dari mana, jawaban Edward selalu tidak nyambung dan aneh pokoknya.

Entah namanya feeling atau apa, ia sering uring-uringan. Ia merasa ada yang salah dengan hubungan mereka yang ia tidak tahu apa. Saat itu ia hanya berdoa sama Tuhan “Kalau memang dia jodoh saya, maka lancarkanlah hubungan kami, jika bukan tunjukkan jalan terbaik-Mu” Ia berdoa seperti itu tanpa sadar, terucap begitu saja.

Berawal dari chat Angel mendapati pacarnya sedang bersama seorang pria di dalam mobil, tapi sambil peluk mesra. Menerima chat tersebut ia bukan marah, namun merasa lega. Aneh memang, namun itulah yang ia rasakan. Ia mencari tahu sendiri bermodal email Edward yang ia pegang, ternyata ada notif sebuah aplikasi Hornet di sana.

Lovi menunjukkan email yang terdaftar di aplikasi tersebut. Edward hanya diam, tidak menyanggah dan tidak mengiyakan. Tentu ia marah dan semarah-marahnya. Tidak mau buang-buang energy, ia memilih putus. Edward hingga saat ini meminta kesempatan kedua untuk mempebaiki hubungan mereka.

Edward mengaku bahwa dirinya bisek dia masih ingin melanjutkan hubungan mereka, bukan seperti gay yang tidak minat dengan wanita. Dia mengatakan kalau dia sangat mencintainya, keluarga besarnya juga menyayanginya, dia mengemis tidak mau putus. Dia mengatakan sangat bersalah ketika dia melakukan itu semua. Jujur ia tidak peduli dengan omongannya.

Walau dia kembali bertugas di Jakarta, dan ia memang tidak membenci Edward, mereka masih saling komunikasi hingga saat ini. Bahkan Edward mengatakan kalau betapa kangennya dia. Dia selalu memberikan perhatian-perhatian kecil kepadanya. Bahkan ibunya masih menghubunginya, untuk main ke rumah.

Ia hanya berpikir kalau Edward belum cocok menjadi pasangan apalagi suami, ia lebih baik sendiri.

Lovita membuka pesan dari Edward,

Edward

“Pagi Lov, kamu sudah bangun? Mami hari ini ada buat cake dan asinan kesukaan kamu, mami titip buat kamu untuk kamu makan di apart.”

Lovita membalas pesan singkat itu,

Lovita

“Iya, aku udah bangun. Terima kasih ya, salam buat mami.”

Edward

“Nanti aku yang anter.”

Lovita

“Iya.”

Lovita menarik napas, orang tua Edward masih tau makanan kesukaanya. Jujur sejak dulu ia suka asinan sayur dan buah, apalagi di makan dingin-dingin. Ia memang tidak bisa membenci Edward, Edward itu tipe pria lembut dan pengertian sejak dulu. Tapi, tetap ia masih belum menerima Edward lagi dalam hidupnya, walau dia berjanji untuk berubah.

“Dia mau ke sini?”

“Iya, maminya buat cake dan asinan buat gue. Jadi dia mau kasih ke gue,” ucap Lovita menyudahi makannya.

“Masih baik aja ya Edward sama lo.”

“Iya, baik, orang tuanya juga baik banget sama gue.”

“Tapi lo nggak mau balikan kan sama dia?”

“Ya, nggak mau lah.”

“Aneh ya.”

“Iya, udah aneh aja gitu.”

“Jadi Edward sering ke sini?”

Lovita mengangguk, “Iya, masih. Tapi nggak ngapa-ngapain sih, say hello aja, ada dia ngebantu juga sih dihidup gue. Enggak berubah dari dulu.”

“Kalau dia bener-bener mau berubah gimana?”

“Hemmm, belum kepikiran sih mau balik lagi.”

“Tapi baik loh dia.”

“Baik bukan berarti langsung mau jadiin dia pacar lagi.”

“Jadi kalian temenan?”

“Iya, gua nganggap dia temen aja, enggak lebih.”

“Lo besok kerja?”

“Kerja.”

“Jadi masih ketemu sama Edward di kantor?” Tanya Iren.

Lovita mengangguk, “Masih, dia kan manager keuangan di kantor gue, setelah dari Bandung.”

“Terus lo gimana sama dia?”

“Biasa aja sih, dia yang ngarep mau balik lagi sampe sekarang.”

“Kasihan ya Edward, masih gigih banget dapetin lo lagi.”

Lovita tertawa, “Udah deh jangan ngomongin Edward lagi, males.”

“Tapi dia baik Lov.”

“Yaudah lo sama Edward aja.”

“Maksuda lo?” Iren dan tertawa terbahak-bahak.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel