Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Di Kamar Kintan

“Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!” protes Kintan kaget dengan pipi yang telah cerah merona, tak pelak membuat Iqbal mengamati wanita itu dengan ekspresi tertarik.

‘Hei, apa wanita ini malu? Hm, lucu juga ekspresinya...’

Iqbal menahan senyumnya melihat rona di wajah Kintan yang semakin tampak benderang, mungkin juga karena Iqbal yang semakin mempererat dekapannya.

Kalau sudah begini, Kintan malah tidak terlihat seperti wanita yang sudah pernah menikah, tapi seperti gadis muda polos yang masih perawan.

“Lebih cepat dengan cara yang seperti ini. Lagian nggak ada yang lihat kok, jadi santai saja,” sahut Iqbal kalem.

Kintan pun menggeleng lemah. "Ta-tapi..."

"Tutup mata saja kalau malu," tukas Iqbal dengan nada perintah yang tidak mau dibantah.

Kintan mendelik kesal mendengar saran nggak nyambung yang di luar prediksi BMKG itu. Apa hubungannya malu dengan tutup mata coba?!

Tapi kemudian tak pelak Kintan pun malah benar-benar menutup kedua matanya, ketika merasakan kedekatan dengan tubuh Iqbal yang hangat dan terasa membingungkan.

Lagipula, ia tak mau jika tiba-tiba beradu tatap dengan pria ini pada posisi yang… seperti pengantin baru gini.

Aduh, kacau. Mau marah, tapi ada benarnya juga sih dirinya dibawa dengan gaya bridal begini.

Kintan jadi tak perlu bersusah payah melangkah dengan kedua kakinya yang lemah dan gemetar, sekaligus juga akan memangkas banyak waktu.

Baiklah, kalau begitu Kintan memutuskan untuk diam dan menurut…

‘Tapi ngomong-ngomong, ini kok nggak nyampe-nyampe ya??’ batinnya lagi, setelah beberapa saat yang terasa begitu lama untuknya.

Wanita itu pun akhirnya memutuskan membuka sedikit matanya untuk mengintip, yang membuatnya dapat melihat jelas wajah Iqbal dari bawah.

Ah, syukurlah pria itu sekarang sedang menatap lurus ke arah depan dan berjalan dengan hati-hati, sehingga Kintan pun diam-diam dapat mengamati.

‘Pria ini sangat tampan’, pikirnya dalam hati. ‘Kenapa ia tidak menikah lagi ya? Aku yakin pasti di luar sana banyak sekali wanita cantik yang tertarik padanya.’

Kintan sudah mendengar cerita dari Gea tentang keluarganya, tentang alasan kenapa papa dan mamanya bercerai, dan bahwa sekarang mamanya sudah menikah lagi serta memiliki dua orang putri dari suami barunya.

‘Mantannya saja sudah move on. Kok Pak Iqbal belum? Apakah dia masih mencintai mantan istrinya itu?’

Sedetik kemudian, Kintan pun merutuk pikirannya yang melanglang buana entah kemana, dan memutuskan untuk lebih baik kembali menutup mata…

… masih belum menyadari bahwa ada seekor makhluk kecil yang sedang merayap di antara kakinya.

***

Melihat Kintan yang sejak tadi diam saja, Iqbal pun sontak melirik ke bawah sembari terus melangkah.

‘Damned. Ternyata Kintan beneran menutup matanya.’

Sekarang ia yang malah merasa menyesal setelah tadi memberikan saran yang justru malah menyusahkannya sendiri, karena keinginan untuk mencium bibir Kintan yang tiba-tiba saja kembali hadir dan sulit ia cegah lagi!

‘Sabar, tarik napasmu, Iqbal. Dia jelek. Dia tidak menarik. Tolong jangan travelling terus itu otakmu!!’

Dan akhirnya Iqbal pun terus berusaha untuk mensugesti dirinya agar tidak berpikiran mesum, sembari terus melangkahkan kakinya di sepanjang lorong.

"Aaaaaahhh!!"

Suara jeritan Kintan yang tiba-tiba terdengar membuat Iqbal terkejut. Wanita itu bukan saja menjerit, tapi ia juga bergerak-gerak heboh menghentakkan kakinya dengan panik ke udara.

"KECOAAA!!" Jerit Kintan lagi dengan wajah ketakutan.

Bruukk!!!

Gerakan Kintan yang meronta-ronta dengan sekuat tenaga tak pelak membuat tubuh Iqbal limbung hingga kehilangan keseimbangan, lalu mereka berdua pun terjatuh di lantai lorong apartemen.

Kintan memejamkan matanya dengan pasrah, sambil berpikir pasti kepalanya yang menghantam lantai akan terluka parah .

‘Aaargh, jangan gegar otak, please…’ ringisnya dalam hati. ‘Tuhan, tolong kasihani janda ini… sudah banyak menderita, masa iya ditambahin lagi cobaannya??’ Protes wanita itu kepada Tuhannya.

Namun beberapa detik kemudian Kintan pun baru merasakan ada sesuatu yang aneh… karena kepalanya tidak terasa sakit sama sekali.

Pelan-pelan wanita itu pun mulai membuka matanya, lalu sedetik kemudian ia pun terperanjat saat menyadari posisinya saat ini.

‘Loh... Ini kenapa... kenapa aku jadi berada di atas tubuh Pak Iqbaal??’

Manik wanita itu pun terbelalak lebar kala menyadari kalau posisi Iqbal yang sekarang sudah terbaring di lantai, dengan tubuhnya menimpa di atas pria itu!

Wajah mereka sekarang pun menjadi sangat dekat tanpa bisa dihindari lagi. Bahkan terlalu dekat, sehingga jika Kintan sedikit saja menunduk, bibirnya akan langsung bersentuhan dengan bibir Iqbal!

Tapi…

Kalau dilihat dari jarak sedekat ini, Kintan baru sadar kalau alih-alih berwarna hitam seperti dirinya dan rata-rata orang Indonesia, bola mata Iqbal ternyata berwarna coklat tua.

‘Matanya bagus banget ih, apalagi bulu mata dan alisnya yang juga tebal itu membuat keseluruhan wajahnya semakin tampak tampan. Hm… pantesan aja Gea cantik. Pasti mantan istrinya Pak Iqbal juga cantik.’

Satu sudut bibir Iqbal tampak menukik naik, membentuk sebuah seringai yang teramat samar melihat Kintan yang sedong menatap wajahnya.

“Jangan diliatin terus. Nanti naksir lho," ledeknya, yang membuat Kintan pun seketika tersadar dan berusaha untuk bangkit dari atas tubuh Iqbal sambil menahan malu.

Tapi karena pusing hebat akibat alerginya, tubuh Kintan malah kembali jatuh. Untung saja lagi-lagi langsung ditangkap lagi oleh Iqbal.

"Stop! Kamu mau gegar otak? Tolong jangan bikin pengorbanan saya jadi sia-sia, setelah menjadikan tubuh saya sebagai tempat mendarat kamu," protes Iqbal kesal, melihat kekeraskepalaan Kintan yang tetap saja keukeuh ingin berdiri sendiri.

Pria itu pun buru-buru bangkit dan kembali menggendong Kintan, sebelum wanita ceroboh ini mencelakai dirinya sendiri lagi.

"Pusing banget ya?" tanyanya pada Kintan, yang dijawab dengan anggukan lemah wanita itu.

"Dengan kondisi yang seperti ini, siapa yang nanti akan merawat kamu?" tanya Iqbal lagi. Ia terlihat sedikit iba dengan kondisi Kintan yang benar-benar lemah dan pucat.

"Nggak apa-apa kok. Saya langsung istirahat saja nanti. Ada mbok Yani juga di rumah yang bisa ikut bantu-bantu," terang Kintan, yang disahut oleh anggukan paham dari Iqbal.

Akhirnya setelah 73251526 purnama, mereka pun sampai juga di depan pintu apartemen milik Kintan.

"Terima kasih, Pak Iqbal. Sampai di sini saja, saya bisa masuk sendiri," ucap Kintan.

Iqbal terdiam. Rasanya ia tidak tega membiarkan Kintan masuk sendirian ke dalam dengan tubuh yang masih pucat gemetar seperti itu. Berdiri saja dia kesulitan!

"Mana kuncinya?" tanya Iqbal tiba-tiba pada Kintan, membuat manik Kintan mengerjap pelan.

"Eh? Biar saya sendiri saja, Pak."

"Saya cuma mengantarkan sampai dalam saja, setelah itu saya akab pergi," ucap Iqbal lagi. "Mana kuncinya?" ulangnya.

Sedikit ragu, tapi akhirnya Kintan memberikan juga kunci apartemennya pada Iqbal yang langsung menyambar benda itu dan langsung membuka pintu.

Apartemen Kintan masih terlihat gelap. Mungkin karena sudah larut malam, asisten rumah tangga dan anak-anaknya juga pasti sudah tidur.

"Kamarmu dimana?" tanya Iqbal dengan suara yang dipelankan, karena tidak ingin membuat semua terbangun.

Kintan menjawab dengan menunjuk sebuah ruangan di dekat ruang makan, dan Iqbal pun membawanya ke sana.

Di dalam kamar, tubuh Kintan segera didudukkan oleh Iqbal di atas ranjang. "Aku ambilkan minuman dulu untukmu," ucapnya sambil keluar kamar, tanpa menunggu jawaban.

Beberapa saat kemudian Iqbal kembali dengan gelas yang berisi air putih dan menyodorkannya kepada Kintan, yang disambut oleh wanita itu dengan ucapan terima kasih dan dihabiskannya sampai tandas.

Rupanya Iqbal sangat mengerti jika Kintan kehausan, setelah melalui perjalanan dari lantai bawah ke atas. Pasti melelahkan rasanya dengan kondisi yang lemah begitu

Beberapa saat kemudian, Kintan pun merebahkan tubuhnya. Sambil memejamkan mata, ia merasakan seseorang menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Kamu beneran sudah minum obat kan?" tanya Iqbal lembut.

Kintan membuka matanya dan mengangguk. "Efeknya sih biasanya satu jam setelah minum obat. Sebentar lagi juga baikan kok."

"Oke. Kalau begitu istirahatlah dulu. Apa ada hal yang ingin kamu lakukan lagi?" Tanya pria itu memastikan sebelum ia benar-benar pergi.

Kintan tampak diam sejenak berpikir, lalu kepalanya bergerak untuk menggeleng. Tapi sedetik kemudian ia malah mengangguk, dan menggeleng lagi.

Iqbal pun mengernyitkan keningnya bingung melihat gestur labil di hadapannya. "Bisa pakai bahasa manusia?"

Seketika Kintan pun terlihat salah tingkah. "Uhm, itu... mau ke kamar kecil sih," ucapnya ragu-ragu.

Iqbal melotot kaget dan menelan ludah. "Eh... nggak bisa ditunda?" tanya rikuh lelaki itu lagi.

"Bisa kok, nggak apa-apa. Maaf jadi bikin awkward," Kintan terlihat menyesal sudah berkata seperti tadi. Hanya saja, untuk sejenak tadi ia merasa nyaman dengan perlakuan Iqbal yang lembut.

‘Ingat, Kintan. Dia itu laki-laki normal dan juga tetangga kamu sendiri! Bukan kekuarga apalagi suamimu! Jangan terlalu nyaman dong!’ Rutuk wanita itu dalam hati.

"Nggak apa-apa deh, sini saya antar ke kamar kecil," Iqbal meraih tengkuk dan lutut Kintan dengan kedua tangannya, bermaksud untuk menggendong kembali wanita itu untuk dibawa ke kamar mandi.

"Ha? Nggak, nggak usah, Pak. Nanti saya minta tolong sama Mbok Yani saja," ucap Kintan yang mulai panik.

"Mbok Yani pasti sudah tidur sekarang. Terus kamu mau bangunin, gitu? Kamarnya aja di belakang, lebih jauh dari jarak ke kamar mandi. Kalau saya yang membangunkan, malah nanti jadi pertanyaan. Sudah, saya yang antar saja."

Iqbal membawa Kintan yang akhirnya kembali diam tak menjawab, ke dalam kamar mandi dan mendudukkannya perlahan di atas kloset.

"Teriak saja kalau sudah selesai," ucap Iqbal, sebelum ia keluar dan menutup pintu dengan rapat.

"Jangan ngintip!" teriak Kintan dari kamar mandi, tak pelak membuat senyum geli terukir di bibir Iqbal. Janda satu ini kenapa menggemaskan sekali sih?

"Saya sudah selesai," teriak Kintan lagi tak lama kemudian.

Iqbal segera masuk dan kembali membopong Kintan kembali ke atas ranjangnya.

"Apa ada lagi yang kamu butuhkan?" tanya Iqbal lagi setelah mendudukkan wanita itu di atas ranjang.

Kintan menggeleng, berpikir kalau urusan ganti baju dan menghapus makeupnya dilakukan besok pagi saja. Sekarang ia hanya ingin mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang penat.

Baru saja Kintan hendak mengucapkan terima kasih pada Iqbal, tiba-tiba saja lelaki itu beranjak dan berjalan ke arah meja riasnya.

Ia mengambil kapas dan botol yang bertuliskan 'Make Up Remover' dan melambaikan botol itu pada Kintan.

"Ini buat menghapus make up kan?" tanya Iqbal.

"Eh? Iya..." sahut ragu Kintan.

Lalu Iqbal membuka botol itu, mengeluarkan isinya dengan menempelkan kapas di tutup botol yang terbuka.

"Sini, biar saya yang hapus make up kamu."

“Ti-tidak usah, Pak! Biar saya sendiri saja,” tolak Kintan sambil meraih kapas basah itu dari tangan Iqbal.

Tapi Iqbal malah semakin menjauhkannya dari Kintan dan kembali duduk di atas ranjang.

"Kamu kan nggak bisa sambil berkaca, jadi biar saya saja." Dengan cepat, Iqbal langsung mengusapkan kapas itu ke wajah Kintan yang perlahan mulai merona.

Usapan lembut Iqbal dimulai dari kening, mata, hidung, pipi dan dagu. Ia telaten dan fasih sekali melakukannya, karena dulu sering membersihkan make up dari wajah Rani, mantan istrinya.

"Selesai!" ucap Iqbal, merasa bangga dengan dirinya sendiri karena masih mengingat caranya. Dulu Rani memang suka malas membersihkan make-up, dan seringkali meminta bantuannya.

“Bu Kintan, kamu denger nggak? Sudah selesai. Sekarang kamu boleh buka mata kok,” ujar Iqbal lagi, ketika melihat Kintan yang diam saja dan tidak mau membuka matanya.

Kintan menggeleng pelan dengan wajah yang sudah benar-benar merona.

"Nggak bisa. Sa-saya terlalu malu untuk membuka mata! Pak Iqbal bisa keluar dari sini kan, sekarang? Maaf sudah merepotkan dan terima kasih banyak atas bantuannya. Se-selamat malam..." lalu Kintan pun merebahkan tubuhnya dan membalikkan badan memunggungi Iqbal.

Tiba-tiba tawa keras Iqbal terdengar mengisi udara, membuat Kintan kembali membalikkan tubuhnya ke arah Iqbal dan melotot kesal.

"Ssstt... jangan berisik! Nanti anak-anak saya bangun!" Desisnya sambil cemberut.

"Ups. Maaf. Habisnya kamu lucu banget," ucap Iqbal sambil menyeka air mata tawanya. “Kenapa kelakuan kamu mirip anak perawan sih?”

Kintan pun mengernyit, tersinggung dengan pernyataan Iqbal barusan. Kenangan buruk dari perlakuan tetangganya di perumahan dulu pun teringat kembali.

"Memangnya kalau janda seperti saya harus bagaimana kelakuannya? Genit-genit gitu maksudnya?"

Iqbal malah tersenyum simpul mendengarnya nada ketus yang keluar dari bibir Kintan. Matanya yang coklat gelap pun mulai berkilat-kilat nakal.

“Kamu lebih cocok dengan tank top, hot pants, percikan cat di seluruh tubuh, sambil pegang kuas. Saya suka yang seperti itu, Bu Kintan. Sangat seksi," goda Iqbal.

Kintan benar-benar tidak menyangka kalau pria ini akan mengingatkannya lagi akan kejadian itu. Saat mereka berciuman… eh, ralat! Saat IQBAL YANG MENCIUMNYA!

Dengan gusar, wanita itu pun melemparkan satu bantalnya ke wajah Iqbal dengan keras.

"Sudah saya bilang kan, lupakan! Ngapain sih masih aja diungkit lagi?" seru Kintan jengkel.

Iqbal tertawa pelan sambil menaruh bantal itu kembali di kepala ranjang. "Iya-iya... nggak usah sewot gitu. Udah sana, tidur lagi," bujuk Iqbal sambil mendorong tubuh Kintan hingga kembali terbaring di ranjang.

"Selamat tidur," ucapnya pelan sambil membetulkan selimut Kintan dan… mengecup keningnya.

Membuat wanita itu terdiam mematung tanpa suara, dan membuat Iqbal berniat ingin mengodanya lagi.

"Jadi kalau diciumnya di kening, kamu nggak marah ya?"

"Pak Iqbal bukannya mau keluar?" Sembur Kintan tajam dengan tatapan menusuk.

"Iya-iya, saya keluar sekarang. Cepat sembuh ya, Bu Kintan."

Iqbal mencuri satu kecupan cepat di bibir Kintan yang sejak tadi membuatnya tergiur meskipun sedang cemberut, sadar sekali jika Kintan pasti akan marah lagi tapi ia tak peduli

Kintan pun tersentak. "Pak Iqbal!" teriaknya kaget sambil mendelik.

Iqbal hanya menyunggingkan cengiran jahilnya. "Maaf. Tapi saya nggak tahan karena kamu terlalu menggemaskan, Kintan. Masih untung cuma di bibir, bukan di...," Iqbal tidak melanjutkan ucapannya, namun ia menatap nyalang pada leher jenjang Kintan yang membuatnya menelan ludah menginginkan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel