5. Mengikuti Kintan
Saat ini Iqbal menunggu di dalam mobilnya terparkir di dekat lobby apartemen.
Matanya awas menatap orang-orang yang berseliweran di sekitar, mencari-cari keberadaan Kintan di antara mereka.
‘Itu dia!’
Iqbal melihat Kintan yang baru saja keluar dari pintu lobby, dan wanita itu tampak berdiri seperti sedang menunggu seseorang.
Iqbal pun mendesah lega. Syukurlah Kintan belum dijemput. Rencana pria itu untuk mengikutinya diam-diam malam ini pun tampaknya bisa berjalan lancar.
Penampilan Kintan yang terlihat sangat cantik, sepertinya menarik perhatian beberapa pria yang berjalan melewatinya.
Tatapan kagum dan siulan pelan para lelaki itu tak pelak membuat Iqbal geram dan ingin turun dari mobilnya, namun untung sebuah mobil silver tiba-tiba datang dan berhenti tepat di tempat Kintan berdiri.
Naluri kompetisi seorang lelaki pun mendadak muncul, saat Iqbal melihat jenis mobil yang menjemput Kintan dan serta merta mencemoohnya.
“Ck. Ternyata tipe mobilnya masih jauh di bawah mobilku. Haha.”
Iqbal berusaha untuk melihat dengan lebih jelas wajah dari lelaki yang berada di mobil itu.
Tapi sayangnya sulit sekali, karena kaca mobil yang sangat gelap dan juga karena hari yang sudah malam.
Ketika Kintan dan temannya berlalu, Iqbal pun diam-diam ikut melajukan mobilnya untuk mengikuti jejak mereka di belakang.
Hari ini ia bersungguh-sungguh saat memutuskan untuk menjadi impulsif, karena Kintan.
Wanita yang telah membangkitkan hasratnya hingga di batas yang tak sewajarnya, dan membuatnya setengah mati merasa penasaran.
***
Iqbal memukul setir mobilnya dengan keras, ketika mengetahui kalau lelaki itu telah membawa Kintan untuk makan malam di sebuah hotel bintang lima ternama di kota ini.
“HOTEL??? DAMNED, KINTAN!!”
“Bagaimana mungkin kamu bisa nggak sadar maksud dan tujuan lelaki laknat itu padamu??”
“Dia pasti akan membuat Kintan mabuk, lalu membawanya masuk ke kamar hotel! Huh, modus!” Dengusnya bermonolog dengan nada gusar.
Iqbal pun akhirnya memutuskan untuk mengendap-endap masuk ke dalam restoran di hotel itu.
Dari kejauhan, ia melihat Kintan dan lelaki jahanam yang mengajaknya dinner bersama itu telah duduk di posisi yang agak jauh dari pintu masuk.
Mereka terlihat akrab dan santai, sambil mengobrol dan banyak tertawa. Tunggu. Sebenarnya apa sih hubungan mereka?
Iqbal mencari tempat duduk yang posisinya dekat dengan Kintan, namun sedikit terhalang tembok pemisah di antara deretan kursi.
Lamat-lamat Iqbal pun kembali mendengar suara gelak tawa renyah Kintan, yang membuatnya seketika terpaku.
‘Kenapa Kintan bisa tertawa begitu lepas dan sangat santai dengan lelaki itu? Apa jangan-jangan… mereka sedang berpacaran?’
Iqbal pun sontak menepuk jidatnya.
Kalau mereka memang berpacaran, tidak ada gunanya juga ia diam-diam membuntuti Kintan seperti ini! Ngapain dia malah menonton orang yang sedang memadu kasih???
Kurang kerjaan!!
Tawa yang terdengar pelan namun suram pun keluar dari bibirnya.
Ah, mungkin ini memang sudah nasibnya.
Kintan si janda tetangga sebelah apartemen yang telah membuatnya penasaran, tampaknya sudah dimiliki oleh pria lain.
Oke, saatnya untuk mundur.
Karena merebut apa yang telah menjadi milik orang lain bukanlah hal yang pantas, dan Iqbal tidak akan pernah melakukan tindakan pengecut seperti itu.
Karena ia sudah pernah merasakan di posisi pihak yang dikhianati karena pasangannya direbut oleh pria lain, dan itu rasanya sungguh menyakitkan.
Dengan langkah lebar, lelaki itu pun bangkit dan keluar dari restoran itu menuju mobilnya. Suara bantingan keras pintu mobil itu merepresentasikan perasaannya yang tidak karuan.
“Dasar bodoh. Untuk apa sih aku mengikuti Kintan??”
Ya, awalnya sih ia hanya penasaran saja, ingin tahu siapa temannya Kintan… apakah pria atau wanita?
Lalu ketika ia mengetahui teman Kintan adalah pria, Iqbal pun malah semakin penasaran dengan hubungan mereka.
Apalagi setelah mengetahui lokasi dinner mereka yang berada di sebuah hotel!!
Iqbal mendengus sinis. “Kintan terlihat seperti wanita baik-baik, tapi ternyata tingkah lakunya liar juga.”
Bahkan kalau dipikir-pikir, bisa jadi wanita itu memang juga sedang menggodanya tadi sore.
Kenapa coba dia mengenakan baju super seksi seperti itu? Tank top ketat dan hot pants?
Sudah kurang bahan, menerawang pula!
Iqbal bahkan bisa melihat samar-samar bentuk bra Kintan yang berwarna hitam dari balik tank topnya.
Sial. Nggak nyangka dia bisa tertipu dengan wajah polos janda itu!
Tapi, masalahnya....
NGAPAIN JUGA SIH AKU DI SINI??AAARGH…
Iqbal mengutuk diri sendiri yang malah berjalan mondar-mandir di lobby, tepat ketika ia telah sampai kembali di gedung apartemen.
Seharusnya ia langsung naik ke lantai atas dan merebahkan tubuh di kasurnya yang nyaman, bukannya hilir mudik nggak jelas di lobby!
Sambil menghela napas lelah, Iqbal pun akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa lobby yang empuk.
‘Bukan… aku bukannya sedang menunggu wanita itu kok!’
‘Aku hanya ingin memastikan dia pulang dengan selamat. Bagaimanapun, Kintan itu kan tetangga yang disukai Gea. Lagipula Kintan selalu baik pada putriku.’
‘Apalagi dia itu janda, jadi tentu alangkah baiknya jika sebagai tetangga yang baik, aku mengawasi Kintan agar tidak terjadi apa-apa dengannya.’
‘Ya, hanya itu. Tidak lebih.’
Iqbal terus meyakinkan dirinya bahwa ia hanyalah ingin bersikap baik, hingga tanpa sadar pria itu malah tertidur di sofa lobby yang empuk dan nyaman itu.
Satu jam lebih kemudian, ia tiba-tiba terbangun karena seorang sekuriti apartemen yang membangunkannya.
"Pak Iqbal ya? Kenapa tidur di sini?" sapa sekuriti itu ramah.
Iqbal mengucek matanya dan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Oh, sudah jam 11 malam.
“Hah??!! Jam 11 malam??”
Iqbal memaki dalam hati kenapa ia bisa tertidur lama sekali, sehingga tidak awas memperhatikan Kintan.
‘Yah, sudahlah. Mungkin wanita itu juga sudah pulang. Sebaiknya aku juga pulang saja.’
Iqbal pun tersenyum membalas sekuriti itu. "Maaf, tadi saya nggak sengaja ketiduran, pak," jawabnya sambil berdiri. "Saya ke atas dulu."
Baru saja lelaki itu hendak melangkahkan kakinya untuk berjalan ke arah lift, tiba-tiba ekor matanya menangkap sesuatu yang bergerak di depan lobby.
‘Hei, itu kan mobil yang membawa Kintan tadi?’
Iqbal pun seketika menajamkan pandangannya tepat pada mobil itu yang berhenti tepat di pintu lobby.
Saat pintu bagian pengemudinya terbuka, seorang pria pun keluar. Pria yang juga temannya Kintan.
Ia tampak berjalan memutari mobilnya untuk membukakan pintu bagian penumpang di sampingnya, dan keluarlah Kintan yang tampak sedang sempoyongan.
Tanpa sadar, Iqbal menggeretakkan giginya.
‘Apa wanita itu sempoyongan karena mabuk? Wah. Parah. Janda ini benar-benar liar! Apa yang dia pikirkan, pulang ke tempat tinggalnya sendiri dalam kondisi seperti itu??’
‘Apa dia tidak berpikir panjang? Bagaimana reaksi anak-anaknya nanti ketika melihat ibunya yang teler begitu?’
“Mungkin dia mengira dengan tinggal di apartemen, maka bisa bebas dan hidup hedonis?” Dengus Iqbal yang lagi-lagi bermonolog sendiri.
Namun alih-alih pergi menjauh, ia malah berjalan mendekati Kintan dan teman prianya itu tanpa berpikir panjang.
"Kintan," sapa Iqbal, tanpa menambahkan embel-embel 'Bu' di depannya seperti sebelumnya.
Sebenarnya ia merasa kasihan juga melihat wajah memerah dan bibir pucat wanita itu, namun perasaan itu pun mendadak lenyap ketika melihat teman prianya sedang merengkuh pinggang ramping Kintan.
"Eh... Pak Iqbal?" ucap Kintan lirih sambil menatap Iqbal heran.
"Oh, ini kebetulan sekali! Bimo, kenalkan ini tetanggaku yang namanya Pak Iqbal," Kintan pun kemudian memperkenalkan mereka berdua.
Bimo hanya mengangguk dan tersenyum pada Iqbal, sementara lelaki itu hanya membalas dengan anggukan yang sama, namun tanpa senyuman.
"Biar Pak Iqbal saja yang mengantarkanku ke lantai atas, jadi kamu pulang aja, Bim. Makasih buat dinnernya ya?" Kintan pun tiba-tiba saja membuat keputusan sendiri yang membuat Iqbal mengernyitkan keningnya bingung.
Bimo mengangguk pelan. "Maaf ya, Ntan. Aku beneran nggak tahu kalau kamu punya alergi seafood," ucap Bimo dengan nada sesal. "Kamu yakin nggak perlu diantar ke dokter?"
Dan kening Iqbal pun mengernyit semakin dalam mendengar obrolan dua orang di hadapannya ini.
‘Alergi? Jadi, Kintan sedang alergi? Bukannya mabuk??’
Kintan tersenyum lemah pada Bimo. "Nggak apa-apa kok Bim. Santai aja. Aku juga udah minum obat, nanti juga sembuh."
Tampak hembusan napas pelan terurai dari mulut Bimo, sebelum ia mengalihkan tatapannya kepada Iqbal.
"Maaf, Pak Iqbal… Kintan agak sulit berdiri. Jadi tolong dipegangin saja supaya nggak jatuh."
Kemudian Bimo pun membantu langkah tertatih Kintan agar lebih dekat kepada Iqbal, supaya lelaki itu bisa meraih tubuh Kintan.
‘Hmm... ringan sekali," guman Iqbal dalam hati, ketika ia memegang pinggang Kintan dan wanita itu pun bertumpu pada pundaknya.
“Aku pulang ya, Kintan. Semoga lekas sembuh, dan maaf sekali lagi,” pamit Bimo, yang dibalas oleh anggukan Kintan dan lambaian lemah satu tangan darinya.
Ketika mobil Bimo telah berlalu pergi, Kintan pun menengadahkan kepalanya untuk menatap Iqbal yang sedari tadi hanya terdiam membisu tanpa sepatah kata pun.
"Maaf ya, Pak Iqbal. Saya malah jadi merepotkan. Tapi saya nggak enak kalau orang yang bukan penghuni masuk ke dalam apartemen malam-malam begini. Sekuriti di sini kan ketat, suka nanya-nanya pula. Saya nggak mau malah jadi bahan omongan nantinya," ucap Kintan pelan.
Iqbal mendesah penuh rasa bersalah dalam hati. Dirinyalah yang seharusnya meminta maaf, karena sudah mengira yang tidak-tidak pada Kintan. Dia itu ternyata sakit akibat alergi, malah dia mengira kalau Kintan mabuk!!
Iqbal hanya diam tak menjawab permintaan maaf Kintan, karena ia merasa malu sendiri dengan pikiran negatifnya.
Sambil mengukir senyum tipis, Iqbal mulai membantu Kintan berjalan menuju pintu lift yang terbuka.
Sesaat ketika pintu lift menutup, Iqbal pun penasaran dan bertanya, "kamu kan punya alergi seafood? Kok tadi malah makan itu?"
"Tadi itu sih makanannya nggak berbentuk seperti seafood, karena sudah diolah dan dibentuk bundar gitu... saya pikir sejenis jamur atau ayam," jawab Kintan.
"Memangnya sebelumnya kamu nggak nanya bahan makanan itu terbuat dari apa?"
Kintan menggeleng lemah. "Tadi itu keasikan ngobrol, jadi lupa dan nggak nanya-nanya lagi."
"Dia pacar kamu?" tanya Iqbal tiba-tiba out of the topic, meskipun Iqbal yakin si Bimo itu bukan siapa-siapanya Kintan.
Terlihat jelas ketika Kintan yang lebih memilih diantar oleh dirinya dibanding Bimo. Dan pria itu pun tampak tidak punya hak untuk melarang.
Kintan terlihat kaget dan langsung menatap Iqbal tanpa berkedip. Sedetik kemudian wanita itu pun membuang muka dengan wajah yang tak terbaca.
"Bukan. Dia itu teman kuliahku dulu."
Sekarang malah Iqbal yang kaget. Dia tidak menyangka jika Kintan akan benar-benar menjawab pertanyaan darinya tadi.
Tadinya dia cuma bermaksud memancing Kintan dengan melempar pertanyaan bola liar, karena hanya ingin melihat reaksi wanita itu.
Tak terasa, lift yang mereka naiki telah sampai. Bunyi 'ting' yang nyaring dibarengi dengan pintu lift yang terbuka membuat Iqbal bersiap-siap untuk menarik pinggang Kintan lagi.
Tapi tanpa sengaja, ia melirik ekspresi merana wanita itu saat menatap panjangnya lorong yang harus ia lalui menuju apartemennya.
Iqbal pun akhirnya memutuskan untuk menggendong tubuh Kintan dengan gaya pengantin, yang tak pelak membuat wanita itu memekik pelan.
“Pak Iqbal! K-kok saya malah digendong?!”
***