4. POV Kintan
Kintan senang sekali, karena sedikit lagi lukisan bunga lili kamar Gea akan selesai lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya.
Sebelum jam 5 sore juga sepertinya bisa selesai nih, jadi sepertinya dia nggak perlu balik lagi ke apartemen ini. Yah, mudah-mudahan saja Gea suka dengan hasilnya nanti.
Saking senangnya, dia pun menari sesuka hati mengikuti irama musik yang menghentak.
Sesekali ia mengangkat kedua tangannya yang memegang kuas ke atas, menggoyangkan pinggul dan kepalanya dengan gaya yang seksi.
Kintan masih terus saja menggerakkan seluruh tubuhnya, merasa menjadi diri sendiri dan melupakan segalanya untuk saat ini.
Hanya menari, mengikuti alunan musik yang dinamis.
Tapi… ada yang aneh.
Sekilas, ia seperti melihat bayangan seseorang yang tinggi berdiri di depan pintu kamar Gea.
Seketika ia pun menoleh, dan terkesiap saat melihat Pak Iqbal yang berdiri diam di sana, menatapnya dengan raut datar dan sukar terbaca.
"Aaaaaaaaa!!!" Kintan pun berteriak kaget.
‘Ya ampun, tidak lagi!’ jeritnya dalam hati.
‘Mana mungkin kejadian yang sama bisa terulang kembali?? Dan... bajuku!’
Kintan menatap nanar pada tank top tipis yang membalut ketat tubuhnya, serta celana pendek yang mengekspos pahanya.
‘Aduh, memalukan!!’
Wanita itu bermaksud untuk mundur mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi tubuhnya yang dipandangi oleh Iqbal, karena ia takut dengan tatapan tajam lelaki itu yang terus tertuju pada sekujur tubuhnya.
Namun naas. Karena ia terlalu kaget, tanpa disadari Kintan telah menyenggol gelas plastik berisi cairan cat di sampingnya.
Cat itu pun jatuh dan tumpah ke lantai, lalu Kintan malah menginjaknya tanpa sadar.
Sontak saja tubuhnya pun limbung dan terpeleset. Jeritan Kintan pun kembali menggema di udara, mengira ia akan menghantam lantai dengan keras.
Namun tiba-tiba saja seseorang menyentak tangannya, kemudian Kintan merasakan otot yang keras menabrak tubuhnya.
Dengan mata membelalak, Kintan menyadari kalau ia tidak jadi jatuh terpelanting ke lantai, karena tadi Iqbal menangkap tangan Kintan dan menariknya berdiri.
Tapi masalahnya… sekarang tubuh mereka malah saling menempel karena Iqbal yang memeluk pinggangnya erat!
Belum sempat Kintan pulih dengan kondisi saat ini, tiba-tiba saja Kintan merasakan sesuatu yang basah dan hangat di bibirnya.
Untuk beberapa saat Kintan masih terdiam dalam bingung…
Dan setelah beberapa saat kemudian, ia pun sadar jika Iqbal telah mencium bibirnya!!!
Ia berusaha untuk berteriak, namun bibir iqbal terus membungkam semua suara yang keluar dari mulutnya.
Kintan berusaha mendorong tubuh kekar dan keras itu, tapi usahanya pun sia-sia. Tubuh itu sama sekali tidak bergerak!
Dalam kebingungannya, akhirnya Kintan pun mencoba menggigit bibir lelaki itu hingga berdarah.
Dan… itu berhasil! Iqbal akhirnya melepaskan ciumannya yang sangat memaksa itu.
Kintan menutup mulutnya yang masih terasa hangat dan sedikit bengkak dengan kedua tangan. Ia masih sangat shock dengan apa yang terjadi.
Sementara itu, Iqbal memejamkan matanya sejenak untuk mengusir rasa pusingnya karena gairah yang tidak tersalurkan.
Mereka berdua pun kemudian saling menatap dengan deru napas yang masih memburu.
"Maafkan saya, Bu Kintan. Saya... ," seketika Iqbal pun kehilangan kata-kata. Otaknya berpikir keras untuk merangkai kalimat yang tepat.
‘Saya... apa? Khilaf? Tidak bermaksud?’
‘Sialan!!’
Jelas-jelas tadi itu ia memang sengaja. Jelas-jelas ia mendambakan untuk menyentuh Kintan yang begitu memukau di matanya sampai puas!!
"Saya... minta maaf. Sekali lagi." Dan Iqbal pun akhirnya hanya bisa mengulang kembali permintaan maafnya.
Sebenarnya ia masih menginginkan wanita itu. Tapi sekarang setelah logika dan kinerja otaknya telah berfungsi kembali, kali ini ia tidak akan memaksa Kintan seperti tadi.
Jika Kintan menolak, ia akan mundur. Namun jika saja wanita itu menerima, ia akan segera sambar kesempatan itu.
"Sudah. Lupakan saja," sahut Kintan sambil menunduk dan membereskan peralatan melukisnya dengan terburu-buru.
Setelah mengumpulkan barang-barangnya, Kintan kembali menatap Iqbal. "Saya juga minta maaf, Pak Iqbal. Kehadiran saya sudah mengganggu. Dan soal tadi itu... kita sama-sama anggap tidak pernah terjadi, oke?"
Lalu Kintan pun bergegas untuk melangkah berlalu, keluar dari apartemen Iqbal langsung menuju ke apartemennya.
Iqbal melirik pinggul seksi yang berayun dan kaki Kintan yang mulus dan jenjang. Seketika ketegangan seksual pun kembali menyerangnya.
Ya Tuhan.
Iqbal hanya bisa mendesah dan menggeleng pasrah, lalu memutuskan untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari kamar mandi sebelum kembali ke kantor.
Sambil berdoa semoga saja pikirannya bisa jernih kembali, dan tidak terus terbayang pada tubuh seksi janda sebelah!
***
"Pa, capek ya? Gea pijitin ya?" Gea pun berdiri dan berjalan ke belakang Iqbal untuk memijat bahunya.
"Tumben kamu mau mijetin papa tanpa papa minta," ucap Iqbal heran. "Pasti mau minta beliin sesuatu nih!"
Meskipun menyindir main-main, namun Iqbal sangat menikmati pijatan Gea. Pundaknya yang pegal karena berjam-jam duduk di depan komputer jadi terasa rileks dan sedikit ringan.
"Iiisssshhh... curiga aja! Nggak kok, Gea nggak minta apa-apa. Tadi itu Tante Kintan yang berpesan agar sekali-sekali Gea pijetin punggung papa, karena bekerja seharian di kantor itu melelahkan," ucapnya sambil terus memijat papanya.
Apa?? Kintan yang… menyarankannya?
Iqbal pun sontak meringis dalam hati sembari memejamkan mata. ‘Aduh, Gea! Kenapa kamu mengingatkan papa lagi pada wanita itu sih!!’
Padahal hari ini Iqbal sudah susah payah berusaha mengenyahkan sosok Kintan yang membuatnya gerah dan gelisah!
Dan karena barusan Gea mengungkitnya, Iqbal pun tak bisa mengontrol otaknya yang mulai berputar kembali membayangkan tubuh indah dan bibir lembut yang membuatnya ingin menyentuh Kintan lagi.
"Udah!" Gea menepuk pelan pundak papanya dan kembali duduk bersama Iqbal di sofa sambil meraih ponselnya.
"Makasih, sayang," ucap lembut Iqbal sambil tersenyum dan mencium pipi Gea. "PR sudah dikerjakan?"
Gea mengagguk. "Udah. Tadi siang di apartemen sebelah."
"Tumben. Biasanya kamu ngerjain PR malam hari?"
Gea mengangguk tanpa mengalihkan wajahnya dari layar ponsel. "Kan biasanya kalau siang aku cape abis masak dan cuci piring, makanya PR dikerjakan malam. Tapi tadi Tante Kintan ngajak makan siang di situ, aku jadi bebas deh! Bisa ngerjain PR lebih cepat."
Mendengarnya, tak pelak Iqbal pun jadi merasa bersalah dengan anaknya.
Selama ini memang Gea yang selalu bersikeras memasak sendiri, tanpa mau mendapatkan bantuan asisten rumah tangga. Tapi ternyata anak tersayangnya itu merasa lelah dengan aktivitas itu.
"Ge... kalau kamu capek, nggak usah masak. Papa kan bisa beliin makan siang buat kamu, atau kita cari mbak buat ngurusin apartemen dan masak ya?"
Gea menatap papanya dan menggeleng. "Gea nggak mau, pa! Orang kita juga cuma berdua saja kok. Cukup mbak yang biasa bersih-bersih apartemen aja. Lagian mulai sekarang Gea juga nggak perlu masak-masak lagi, soalnya Tante Kintan selalu bilang kalau mau makan datang aja ke apartemennya," ucap Gea panjang lebar.
“Gea juga senang di sana. Ada Khafi dan Khalil yang lucu-lucu. Tante Kintan juga baik sama Gea. Aah... pokoknya sekarang Gea seneng karena sudah nggak pernah merasa kesepian lagi!” seru Gea riang sambil tersenyum, tanpa sadar bahwa semua perkataannya itu telah membuat hati Papanya terasa sakit karena akhirnya Gea mengakui bahwa ia kesepian.
Sudah 3 tahun ini Iqbal berpisah dengan Rani, Mamanya Gea.
Seharusnya hak asuh Gea yang masih belum cukup umur pun jatuh ke Rani, namun Gea tidak pernah mau tinggal dengan mamanya dan malah memilih untuk tinggal dengan Iqbal.
Mungkin Gea merasa rikuh, karena Rani telah menikah lagi dan juga telah memiliki dua orang putri di pernikahan keduanya.
Rani menikah dengan lelaki yang telah menjadi selingkuhannya selama setahun, ketika masih menikah dengan Iqbal.
"Pa, Gea ke kamar dulu ya? Sisil mau video call, katanya dia baru aja beli kucing anggora," pamit Gea sambil buru-buru berdiri dari sofa, dan berlari ke kamar ketika suara ponselnya berdering.
Saat sendirian begini membuat pikiran Iqbal jadi melamun, membayangkan Kintan yang bersikap begitu baik pada Gea.
Bukannya mau GR, tapi apakah itu artinya Kintan berharap ‘sesuatu’ padanya?
Tapi bukankah tadi siang Kintan mengatakan kalau sebaiknya mereka melupakan saja apa yang telah terjadi?
Ck. Dan gimana pula caranya Iqbal bisa lupa?
Bahkan hingga detik ini pun, hasrat untuk menyambar tubuh Kintan dan kembali mencium bibirnya masih ia rasakan sampai sekarang.
Dan tak pelak hal itu pun membuat Iqbal bertanya-tanya, apakah… ada setitik saja harapan jika… Kintan juga merasakan hal yang sama?
Seketika pria itu pun berdiri dari sofa. ‘Oke. Rileks. Aku akan bertanya padanya. Ya, itu ide yang lumayan bagus.’
Bodoh sih lebih tepatnya, tapi lebih baik bertanya daripada ia tidak bisa tidur malam ini karena terlalu sibuk mereka-reka.
Iqbal pun bergegas keluar dari apartemennya, lalu mengayunkan langkah menuju ke depan pintu apartemen Kintan.
Sial.
Ia sudah pernah menikah dan sudah menjadi duda, tapi kenapa rasanya sikapnya sekarang malah seperti seorang remaja tanggung yang mendekati lawan jenis??
‘Ayo tekan belnya, Iqbal! Jangan cemen!’ Gerutunya dalam hati memaki diri sendiri.
Lalu sambil menarik napas yang terasa berat, ia pun mengarahkan tangannya ke atas, bermaksud untuk menekan bel yang ada di sana.
Tapi belum sempat ia memencetnya, tiba-tiba saja pintu apartemen itu terbuka dari dalam.
Menampilkan sosok Kintan yang terlihat memukau, dengan gaun hitam selutut, dan menatap Iqbal dengan ekspresi terkejut.
"Pak Iqbal?" serunya kaget. "Ada apa?"
Iqbal pun tidak serta merta langsung menjawabnya, karena ia masih ingin menikmati sejenak pemandangan indah ini.
Kaki Kintan yang luar biasa itu membuatnya semakin tak berkedip, karena sedang menggunakan heels lima senti yang terlihat seksi dan serasi.
Rambutnya yang sering digelung ke atas, sekarang dibiarkan tergerai indah ke atas bahu, membingkai wajah ovalnya yang cantik dipulas make up tipis.
‘Bidadari’, pikir Iqbal dalam hati.
"Mau kencan ya?" tebak Iqbal dengan suara dingin. Ia tahu pasti, wanita yang berdandan secantik ini pasti punya niat untuk bertemu dengan lawan jenis atau sekedar girls night out.
Tidak mungkin Kintan ingin mengajak anaknya yang masih balita jalan-jalan dengan heels setinggi itu, kecuali ia memang kepengen keseleo.
Kintan terlihat salah tingkah dipandangi begitu lekat oleh Iqbal, terutama setelah kejadian tadi sore di apartemennya.
Ia mendehem kecil untuk meredakan debaran jantungnya. "Mau makan malam dengan teman," jawabnya sambil tersenyum kecil.
Iqbal mengangguk, namun wajahnya masih tampak datar.
"Teman laki-laki?" tanyanya lagi, tanpa basa-basi ataupun berpikir dulu, meskipun ia tahu bukanlah urusannya Kintan mau makan malam dengan laki-laki atau perempuan. Ia hanya ingin tahu.
Kintan terlihat kaget dengan nada sinis dan tajam yang menyertai pertanyaan lelaki itu. Apa-apaan sih ini orang?? Kenapa ketus begitu??
Kintan hendak menyemprot marah lelaki di depannya, namun terpotong oleh suara dering tiba-tiba dari ponselnya
Dengan wajah kesal, ia mengangkat telepon itu sambil tetap memelototi Iqbal.
"Halo, Bimo?"
"Ya, aku udah mau turun sekarang."
“Oke. Bye.”
Kintan menutup teleponnya. Lalu tanpa berkata-kata lagi, ia pun berlalu pergi begitu saja meninggalkan Iqbalyang terus menatapnya sorot gusar, hingga punggung wanita itu pun menghilang ke dalam lift.
***
"Ge, papa pergi dulu sebentar. Kamu tidur aja, nggak usah nunggu papa!" Iqbal berteriak pada Gea yang masih berada di dalam kamarnya.
Lalu Iqbal buru-buru meraih kunci mobilnya, mengabaikan kepala Gea yang nongol di depan pintu kamar dan menatap heran kepada papanya yang telah berlalu secepat kilat seperti orang kelabakan.
Iqbal pun berlari kencang di parkiran seperti orang yang sedang kesetanan. Ia merasa harus buru-buru ke lobby apartemen lebih dulu, sebelum Kintan dijemput oleh teman prianya.
Ya, Iqbal memang bermaksud untuk mengikuti Kintan malam ini.
Dan ya, ia tahu bahwa sikapnya ini sangat impulsif dan kekanakkan, namun… ia pun tak peduli lagi.
***