Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Tetangga Yang Baik Hati

"Kok sudah pulang?" tegur Iqbal pada Gea, yang tampak baru saja masuk apartemen tak begitu lama darinya.

Gea menghempaskan tubuhnya di atas sofa di samping papanya. “Tante Kintan yang meminta aku pulang. Katanya orang tua yang setelah lelah bekerja, ketika pulang perasaan lelah itu akan sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Gea sambil menatap papanya.

"Ck. Tante Kintan bikin aku baper aja!" Gea mencebik sambil memeluk Iqbal manja.

“Pa.”

“Hm?”

"Menurut papa, Tante Kintan cantik kan?"

"Kamu yang cantik," elak Iqbal sambil mencubit gemas pipi putrinya. "Jangan mulai deh, Ge!" Dengusnya, yang tahu kalau anaknya ini pasti berniat menjodohkan dirinya dengan Kintan.

Gea pun nyengir lebar karena taktiknya ketahuan. "Pa, aku boleh main ke rumah Tante Kintan ya, kalau papa sedang bekerja? Aku seneng banget bisa bermain dengan Khalil dan Khafi. Rasanya seperti punya adik sendiri."

Iqbal menatap putrinya sambil membelai rambut Gea. Ia tahu Gea kesepian sendirian di apartemen ini, tidak ada yang menemaninya karena Iqbal sibuk bekerja.

Asisten rumah tangga juga hanya datang 3x dalam seminggu, karena hanya mengurus dua orang sehingga tak banyak yang dikerjakan.

"Pa... kok diem aja sih? Boleh nggak, Gea main ke apartemen sebelah kalau papa sedang kerja?" ulang Gea.

Iqbal masih mengelus rambut sebahu anak gadisnya sambil berpikir sejenak, lalu akhirnya ia pun mengangguk.

"Iya, boleh. Tapi kamu jangan sampai merepotkan Tante Kintan, ya?"

"YES!!" seru Gea girang. "Oh iya pa, Tante Kintan itu kan profesinya pelukis mural. Terus Gea minta dia untuk melukis kamar Gea. Boleh kan? Katanya gratis kok kalau buat Gea."

'Pelukis?'

Sontak, Iqbal pun kembali teringat pada pemandangan yang ia lihat sebelumnya tadi.

Kintan dengan tampilan celana pendek hot pants yang menggoda, dan kaus ketat yang membuat kedua bulatan penuh di dadanya itu terlihat menggiurkan.

Juga bibir merah merekah yang sedang bersenandung pelan, mengundang untuk di...

‘Ehem. Aku mikir apa sih??’

Iqbal pun mendehem pelan untuk mengusir bayangan wanita itu dari pikirannya yang mulai kemana-mana.

Duh, kenapa malah wanita dari apartemen sebelah yang membuat otaknya jadi travelling??

"Ya, boleh saja kalau kamu mau," jawab Iqbal akhirnya kepada Gea, membuat anak remaja itu pun seketika tersenyum gembira.

"Yeaayy!! Papa lihat saja nanti, lukisan Tante Kintan tuh pasti bagus banget!"

***

Besoknya sama seperti kemarin, Gea pum kembali mengunjungi apartemen Kintan sepulang sekolah.

Kintan bahkan juga mengajaknya untuk makan siang bersama, agar Gea tidak perlu lagi repot-repot masak sendiri.

"Hm... enaaak banget, Ma!" seru Gea dengan maniknya yang berbinar-binar menikmati masakan Kintan yang sangat lezat.

Menyenangkan sekali ketika pulang sekolah dan makanan telah tersedia tanpa harus memasak sendiri.

Gea pun sudah mulai berani memanggil Kintan dengan sebutan ‘Mama’, dan ia juga senang karena melihat wanita itu yang juga tidak tampak keberatan.

Kintan memang tidak terlalu menganggap serius panggilan itu, lagi pula sebenarnya ia pun tak tega jika menolak melihat bagaimana senangnya Gea.

"Oh iya Gea, gimana kalau mural kamarmu dikerjakan siang ini saja? Mumpung Pak Iqbal sedang di kantor?" usul Kintan, saat mereka telah selesai makan dan sedang bersantai di depan televisi.

Kintan tidak mau kepergok lelaki itu lagi karena malu. Kemarin pakaiannya sedikit kurang sopan, dan perilakunya yang menyetel lagu dengan volume keras pasti telah membuat tetangganya itu kesal.

Kintan tidak ingin punya musuh di sini.

"Iya, boleh saja, Ma. Hm… gimana kalau aku juga ikut bantuin?" Usul Gea.

"Eh, nggak boleeh! Kak Gea main sama Khafi aja...," rengek Khafi manja sambil memegang tangan Gea kuat.

Gea pun tertawa dan mencubit gemas pipi gembil anak kecil itu. "Okee... Kalau gitu Kak Gea sama Khafi ndut aja deh!" Ucapnya sambil mengacak rambut Khafi main-main.

Suara denting bel yang tiba-tiba terdengar, membuat Bi Yani yang sedang mencuci piring pun menghentikan kegiatannya untuk membuka pintu.

“Bu Kintan, itu ada Pak Bimo yang datang,” beri tahu Bi Yani yang telah kembali lagi ke ruang makan.

Kintan mengangguk. “Iya, saya ganti baju dulu.”

Wanita itu pun segera berdiri dan menghambur ke dalam kamarnya untuk ganti baju, karena saat ini ia hanya memakai tank top dan hot pants baju faforitnya kalau sedang santai hanya bersama anak-anak di rumah.

Tak pelak, Gea pun menatap dengan rasa penasaran pada ruang tamu yang terhalang tembok.

‘Pak Bimo? Siapa itu?’

"Sst.. Bi Yani, sini...," bisik pelan Gea.

Bi Yani yang sedang kembali mencuci piring pun menghentikan kegiatannya dan mendekati Gea.

"Bi, Pak Bimo itu siapa sih?" Tanya anak perempuan itu.

"Ooh... Pak Bimo itu teman sekolahnya Bu Kintan, dia juga pemilik apartemen ini yang disewa oleh Bu Kintan," ungkap Bi Yani.

Gea manggut-manggut sembari mencerna informasi itu. "Jadi gitu ya..."

Saat itu juga Kintan terlihat keluar dari kamarnya. Hot pants super pendeknya telah diganti dengan rok selutut bunga-bunga biru, sedangkan tank topnya tetap dipakai, hanya saja dilapisi lagi dengan kardigan navy.

"Mama mau pergi?" tanya Gea pada Kintan, setelah ia mengamati wanita itu sejenak.

"Nggak. Cuma mau menemui tamu aja," jawab Kintan santai sambil tersenyum dan berlalu menuju tamunya.

Gea lalu menatap Khalil yang sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Khafi asik nonton tivi. Bi Yani masih sibuk membersihkan dapur.

Oke, kondisi cukup aman.

Nggak bakal ada yang lihat kalau Gea ngintip dan mencari tahu seperti apa sebenarnya tamu yang namanya Pak Bimo itu.

Gea pun perlahan berjingkat untuk mengintip, lalu beberapa saat kemudian ia pun mendesah kesal.

‘Hhh.. kayaknya Pak Bimo itu naksir sama Mama Kintan, deh. Kelihatan dari tatapan matanya yang tidak lepas dari Mama Kintan dari tadi!' Gerutunya dalam hati

Lalu dengan mood yang mulai jelek, Gea pun memutuskan untuk menonton kartun di televisi bersama Khafi.

***

"Gimana apartemennya, Ntan? Cocok nggak?" tanya Bimo yang duduk di sofa di samping Kintan.

"Cocok, Bim. Apartemen kamu bersih dan bagus. Anak-anak juga betah di sini," jawab Kintan.

Bimo tersenyum. "Syukurlah. Kalau butuh apa-apa hubungi aku aja. Aku akan bantu apa pun itu," tambahnya.

Kintan mengangguk penuh syukur, karena memang ia merasa telah terbantu oleh Bimo yang menawarkan untuk menyewa apartemen miliknya.

"By the way, aku mau mengajak kamu dinner nanti malam, bisa nggak?" todong Bimo langsung dan tiba-tiba, membuat Kintan menaikkan kedua alisnya.

Tampak wanita itu berpikir sejenak. "Tunggu dulu. Dinner dalam rangka apa dulu nih?" Tanyanya curiga.

"Ya ampun, Ntan. Kita kan temen, yaa... anggep aja ini sebagai traktiran dalam rangka ucapan terima kasih karena telah menjadi penyewa apartemen ini... gimana?"

"Kalau sebagai sesama teman sih, oke... tapi aku nggak bisa kasih lebih dari itu ya," tegas Kintan sambil tersenyum.

Bimo manggut-manggut. "Nggak masalah," sahutnya diam-diam penuh maksud, karena jauh di dalam benaknya, Bimo memang ingin mendekati Kintan.

Si janda dua anak yang sejak semasa sekolah dulu sudah ia taksir.

***

Sekarang Kintan sudah berada di kamar Gea lagi, melanjutkan lukisannya yang belum selesai kemarin.

Kali ini, ia sudah mulai sejak jam 2 siang sebagai antisipasi sebelum Pak Iqbal pulang kerja.

Kalau sesuai jadwal normal sih, pulang kerja jam 5 sore. Walaupun menurut Gea papanya selalu lembur, Kintan akan tetap pulang sebelum jam 5 sore untuk jaga-jaga.

Kali ini ia memutar lagu-lagunya The Chainsmokers dan ikut bernyanyi sambil menari.

Karena suara musik yang kencang, ia tidak tahu kalau ponselnya Gea yang tertinggal di kamarnya itu sedang berdering sejak tadi.

Sementara itu di seberang sana…

"Gea kemana, sih? Ponselnya nggak diangkat terus dari tadi??" ucap Iqbal pada diri sendiri.

Saat ini ia sedang berada di lobby bawah apartemen, setelah berkendara sendiri dari kantor.

Seketika ia pun mengingat ucapan putrinya itu tadi pagi, yang mengatakan kalau sepulang sekolah akan mampir ke apartemen sebelah.

‘Jangan-jangan Gea sedang berada di rumah Bu Kintan, dan ponsel itu malah ketinggalan di kamarnya!’ Iqbal pun mereka-reka sembari menghela napas pelan.

Tadinya, ia hendak meminta Gea untuk membawakan dokumen penting mengenai pekerjaan yang tertinggal di rumah, untuk dibawa ke lobby apartemen di bawah.

Maksudnya sih supaya Iqbal tidak perlu repot-repot parkir mobil dan naik ke apartemennya.

Tapi ya sudahlah…

Iqbal pun memutuskan untuk turun dari mobil dan langsung naik saja ke atas.

Saat ia membuka pintu apartemennya, kembali terdengar suara musik yang keras dari kamar Gea. Dan sudah jelas pula bahwa itu bukanlah lagu K-pop kegemaran anaknya itu.

Apakah wanita itu datang lagi?

Sambil berjalan mengendap-endap menuju kamar Gea, Iqbal berpikir betapa bodohnya dirinya.

Buat apa dia mengendap-endap di rumahnya sendiri?? Kayak orang yang mau mengintip saja!

Yah, tapi tidak salah juga sih. Memang dia berniat mau ngintip juga.

Sesampainya depan kamar Gea, Iqbal pun terperanjat. Ia tak bisa menahan jantungnya yang berdebar dengan begitu kencang, berdentam dengan keras di dadanya.

Iqbal mengerjap pelan, dan menelan ludahnya dengan susah payah.

Kintan, wanita itu… tampak bersinar. Ia sedang melukis bunga lili dengan begitu indah.

Wanita itu masih fokus melukis, namun bibirnya yang merah ranum itu pun ikut bersenandung lagu yang sama dengan yang diputar di ponselnya. Dari The Chainsmokers, tapi Iqbal lupa judulnya.

Atasan tank top yang ia kenakan membuat gundukan indah dan penuh di dadanya itu semakin tercetak jelas. Jeans hot pants robek-robek membuat pahanya yang mulus dan seputih susu terpampang nyata.

‘Apa wanita ini sengaja menggodaku?’

Pikiran itu pun cepat-cepat ia hilangkan, karena tampak tak masuk akal baginya. Saat ini masih jam 3 sore, masih waktunya kerja. Jadi kalau memang Kintan berniat segenit itu, paling tidak ia pasti melakukannya di pukul 5 sore ketika jam pulang.

Masalahnya… apa harus banget pakaiannya kurang bahan seperti itu?!

Tiba-tiba saja Kintan menggerakkan tubuhnya dengan lincah, menari-nari sambil terus bernyanyi tanpa menyadari bahwa ada seseorang yang bediri di bingkai pintu tengah memandangnya lekat-lekat.

Padahal wanita cantik dan seksi bertebaran di kantornya, dan tidak sedikit juga yang menggoda Iqbal, tapi kenapa malah janda dua anak ini yang membuat mata Iqbal tak mampu berkedip?

Memang ia mengakui kalau Kintan sangat cantik dan awet muda.

Bahkan ketika pertama kalinya ia melihat wanita ini memungut mainan yang jatuh di lantai, Iqbal pun diam-diam sudah mengaguminya.

Namun kala itu ia mengira Kintan masih berusia 19 atau 20 tahun, bukan seorang wanita yang sudah berusia matang apalagi seorang janda.

Iqbal yang masih terus terpaku menatap Kintan, hingga tanpa sengaja pandangan mereka pun bertemu.

“Aaaaa…!!!”

Sontak saja Kintan berteriak karena kaget, dan tanpa sengaja kakinya menginjak genangan kecil cat yang tumpah di lantai hingga membuatnya terpeleset.

Wanita itu sudah pasrah mengira tubuhnya akan menghantam lantai dengan keras, jika saja Iqbal tidak segera bergerak cepat untuk menarik tangannya.

Lengan pria itu memeluk erat pinggang ramping Kintan, membuatnya bisa merasakan panasnya telapak tangan lelaki itu di kulitnya hingga menembus pakaian yang Kintan kenakan.

Tanpa sadar mereka pun saling berpandangan, dengan tubuh yang saling menempel dan lengan yang saling mengait.

Mungkin karena ia sudah lama tidak bersama wanita, atau mungkin karena situasi yang mendukung, atau juga karena wangi aroma di rambut Kintan…

Iqbal pun sibuk mencari 1001 alasan karena rasanya saat ini otaknya sudah korslet, dan tiba-tiba saja ia pun langsung memagut keras bibir penuh merekah Kintan dengan bibirnya.

Persetan dengan tetangga sendiri.

Yang pasti, hasratnya harus tuntas saat ini juga... atau ia bisa gila.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel