2. Adaptasi
"Khal, berenang yuk!" ajak Kintan pada si sulung yang bernama Khalil, yang sedari tadi cuma cemberut menatap ke arah jendela kaca di kamarnya.
Jendela yang memperlihatkan pemandangan indah kota di siang hari.
Khalil merasa kesal karena harus pindah, karena ia pun menjadi kesepian karena tidak memiliki banyak teman bermain seperti di rumah yang dulu.
"Kakaaaakk... ayoooo kita belenaaang!!" ajak Kahfi, adiknya yang masih berusia 3 tahun dengan suara cemprengnya yang bikin telinga sakit.
"Kakaaakkk dengel gak siiih? Ayooo kitaa lenaaang!"
Khalil mendengus kesal. "Iyaaa iyaaa... berisik ah! Tunggu deh, aku ganti baju renang dulu." Lalu anak laki-laki itu pun mengambil baju renang yang sudah disiapkan oleh Kintan di atas tempat tidurnya.
Ketika Khalil masuk ke kamar mandi untuk ganti baju, Kintan dan Kahfi langsung melakukan tos berdua.
"Berhasil!" bisik Kintan sambil tersenyum senang pada anak bungsunya.
Kahfi pun nyengir. Mereka memang sengaja membuat Khalil nggak tahan mendengar suara adiknya yang cempreng itu, sehingga Khalil pun akhirnya menuruti kemauan mereka untuk berenang.
Kini mereka bertiga sudah siap untuk berenang. Saat sedang berjalan menuju pintu keluar, Kintan berpapasan dengan Bi Yani asisten rumah tangganya yang sedang mengelap meja.
“Bi, saya tinggal dulu ya? Anak-anak mau berenang di bawah,” pamitnya.
Bi Yani menolehkan kepalanya dan mengangguk. "Iya, Bu."
"Bi Yani istirahat aja dulu. Pasti capek kan, habis bantu-bantu pindahan. Nanti malam nggak usah masak, kita makan di resto dekat apartemen saja ya," ucap Kintan, yang disambut dengan teriakan "HOREEE" dari anak-anaknya.
"Iya bu, makasih. Saya memang mau istirahat dulu. Oh iya, ibu juga kan capek. Nanti saya bikinkan jamu buat pegel-pegel untuk ibu, ya?"
“Boleh banget, Bi. Makasih ya,” Kintan menyahut sambil tersenyum sebelum berlalu keluar dari pintu.
***
Setelah puas bermain air dan berenang, ibu muda serta kedua putranya itu pun kembali ke apartemen dengan riang.
Celoteh lucu serta pertanyaan-pertanyaan lugu dari Khafi serta tawa Khalil mengiringi langkah mereka menuju ke lantai atas.
Namun sesampainya di depan pintu apartemennya, Kintan tiba-tiba melihat seorang anak perempuan berusia sekitar belasan tahun, yang sedang berdiri di depan pintu apartemen yang terletak persis di sebelah apartemennya.
Dan anak perempuan itu juga terlihat kebingungan.
Ketika pandangan mereka tanpa sengaja bertemu, Kintan pun sontak menguraikan senyum. "Halo. Kuncimu hilang ya?" Sapa Kintan bertanya.
Anak itu mengangguk sambil menatap Kintan lekat. "Kakak tetangga yang baru pindah di sebelah ya?" tanyanya penasaran.
‘Kakak?’ Ulang Kintan dalam hati sambil tertawa. ‘Lagi-lagi aku dikira anak sekolah!’
"Iya, saya baru masuk hari ini. Ngomong-ngomong, kalau kuncimu hilang, mau saya bantu telponkan ke pengurus apartemen?" Kintan menawarkan bantuan karena tak tega melihat raut bingung anak perempuan itu.
Anak itu pun terdiam sesaat, kemudian kepalanya mengangguk pelan. “Uhm… iya, boleh kalau tidak merepotkan.”
“Oke, kalau begitu tunggu sebentar ya?” Kintan memasukkan anak-anaknya ke dalam apartemen lebih dahulu, kemudian ia keluar lagi untuk menemui anak perempuan tadi sambil menelepon ke bagian maintenance apartemen.
"Mereka baru bisa datang setengah jam lagi, katanya. Kalau gitu, gimana kalau menunggu di tempat saya saja?" usul Kintan, karena tidak tega meninggalkan anak itu sendirian di depan pintu apartemen, menunggu orang bagian manintenance datang.
Anak itu pun mengangguk, lalu ia ikut berjalan menuju ke apartemen Kintan.
"Oh iya, nama saya Kintan. Yang tadi anak-anak saya, yang besar namanya Khalil, yang kecil Khafi," Kintan memperkenalkan diri sambil tersenyum simpul, melihat ekspresi kaget yang jelas tergambar di wajah anak perempuan itu.
"Lho, jadi kakak ini sudah punya anak ya?" tanyanya heran. "Maaf… saya kira yang tadi itu adik atau keponakannya. "
Kintan tertawa pelan. "Nggak apa-apa kok, udah biasa. Oh iya, nama kamu siapa?"
"Namaku Geandra, kak... eh, Tante Kintan. Panggil aja Gea."
Mereka berdua lalu bersama-sama memasuki apartemen Kintan, dan wanita pun memperkenalkan Gea pada Khalil dan Khafi.
"Ini lukisan siapa?" tanya Gea tiba-tiba, saat ia sedang melihat lukisan bunga yang ada di dinding ruang tamu.
"Oh, itu lukisan Tante. Tapi belum selesai sih. Tinggal finishing sedikit," jawab Kintan sambil tersenyum.
"Wow. Keren banget! Tante Kintan ternyata jago melukis ya!" puji Gea takjub.
"Ah, biasa aja kok. Kebetulan memang tante kerjanya melukis dinding, namanya mural."
Gea manggut-manggut. "Tante… lukiskan dinding di kamarku dong, boleh nggak?"
"Boleh aja. Kamu mau lukisan apa?" tanya Kintan sambil menaruh nampan berisi minuman dan cemilan ringan untuk Gea di meja tamu.
"Ayo, sini diminum dan cicip kuenya, Gea."
Gea mendekat dan duduk di sofa. Sambil minum dan memakan kue, ia terlihat berpikir. "Aku suka sama bunga lili. Tante Kintan gambar bunga lili aja deh. Gimana?"
"Boleh. Sebentar ya." Kintan berdiri dan mengambil buku sketsanya. Setelah corat coret, ia pun memperlihatkan hasil gambar sketsanya pada Gea.
"Lilinya mau seperti ini?"
"Ih... bagus banget. Iya, seperti itu tante!" seru Gea gembira. "Nanti aku bilang kepada Papa untuk biaya jasa Tante, ya."
Kintan cepat-cepat menggeleng. "Nggak usah, Gea. Tante kasih gratis khusus buat kamu, karena telah menjadi pelanggan pertama di apartemen ini," ucap Kintan sambil tersenyum.
Gea pun semakin sumringah mendengarnya. "Yang bener, tante? Gratis? Asiiik..."
Tiba-tiba terdengar suara bel yang berbunyi, dan ternyata orang bagian maintenance sudah datang.
Kintan pun berinisiatif menemani Gea sampai ia mendapatkan kunci cadangan. Anak perempuan itu terlihat sangat lega, setelah akhirnya ia bisa masuk kembali ke dalam apartemennya.
"Ok, Gea. Kalau begitu tante tinggal dulu ya," pamit Kintan setelah memastikan Gea masuk.
"Tante, tunggu!" seru Gea.
Kintan pun membalikkan badannya dan menatap Gea. "Ada apa?"
"Hmm... tante bisa masuk dulu, nggak? Lihat ke kamarku, biar tahu gimana kondisi dindingnya?"
"Memangnya muralnya mau dikerjakan sekarang?" tanya Kintan kaget.
Gea pun menganguk penuh harap.
Haduh. Padahal sekarang Kintan sudah capek banget dan ingin istirahat, tapi ia nggak tega juga melihat mata Gea yang puppy eyes penuh permohonan gitu.
"Tapi... sudah minta ijin ke papa kamu belum? Nanti beliau marah nggak, kalau dinding kamar kamu dilukis?"
"Papa nggak akan marah kok. Pliiss ya, tante," rengek Gea. Entah sejak kapan mereka berdua jadi akrab dan bicara santai seperti ini.
"Uhm, ya udah deh. Tante bikin lukisannya sekarang," ucap Kintan akhirnya.
***
Sekarang Kintan sudah berada di kamar Gea untuk melukis salah satu sisi dindingnya.
Ia sudah menyalakan musik dari ponsel dengan volume keras, memperdengarkan lagu-lagu dari Billie Ellish kesukaannya.
Salah satu kebiasaan Kintan saat melukis, adalah sambil mendengarkan musik yang ia suka. Rasanya dengan begitu ia pun bisa fokus menggerakkan kuas dengan lincah di dinding.
Kintan melirik ke arah jam yang melingkari pergelangan tangannya, dan mulai mengira-ngira waktu.
Gea mengatakan kalau papanya biasa pulang kerja cukup larut, kira-kira jam 10 malam.
Jadi ia pun bisa bebas melukis dan menyetel lagu dengan keras selama kurang lebih 2 jam, karena waktu saat ini masih menunjukkan pukul 19.40.
Bibir wanita itu seketika memulas senyum, saat mengingat bagaimana Gea yang terlihat santai dan sama sekali tidak keberatan bermain bersama Khalil dan Khafi.
Gea sudah bercerita kalau papa dan mamanya sudah bercerai. Dan anak perempuan itu memilih untuk tinggal dengan papanya, karena mamanya sudah menikah lagi dan telah memiliki dua orang anak dari suami barunya.
Kintan berpikir mungkin karena Gea kesepian tinggal hanya berdua dengan papanya, makanya ia terlihat gembira bermain dengan anak-anak Kintan yang berisik dan rame itu.
Lalu sambil melamun ditemani irama musik, Kintan pun mulai melukis.
***
30 MENIT SEBELUMNYA...
Hari ini, Iqbal bermaksud untuk pulang lebih cepat.
Syukurlah, masih ada sedikit waktu yang bisa dihabiskan untuk bersama Ge, karena biasanya putrinya itu sudah terlelap saat ia baru pulang.
Lelaki itu melirik jam tangannya. Sekarang masih jam 19.30, sampai di apartemen mungkin sekitar jam 20.00 lewat sedikit.
Sip. Iqbal akan mengajak putrinya makan malam di luar.
Jarang-jarang ia pulang cepat dari kantornya, jadi sebaiknya hal ini dimanfaatkan Iqbal untuk mengajak anak satu-satunya itu jalan-jalan sekaligus makan di resto faforit.
Lelaki itu memacu mobilnya dengan kecepatan sedang sambil bersenandung.
"Ge, papa pulang!" seru Iqbal sesampainya ia di dalam apartemen.
Namun keningnya pun sontak mengernyit, ketika mendengar lagu yang disetel begitu kencang dari kamar anaknya.
Aneh. Rasanya Ge nggak pernah menyetel lagu kencang seperti itu karena ia lebih suka pakai earphone.
Lagipula, ia suka lagu-lagu K-pop, sedangkan ini... Billie Ellish sepertinya.
Iqbal berjalan perlahan menuju kamar anaknya. Pintu kamar itu terbuka, membuat Iqbal bisa melihat langsung siapa di dalam.
‘Eh? Cewek itu?’
Iqbal melongo melihat seorang wanita dengan celana hot pants biru tua yang memperlihatkan kaki jenjang dan putih, serta kaos pas badannya yang penuh dengan warna-warni cat.
Begitu pun dengan sekujur tubuhnya. Rambutnya digelung ke atas, bibirnya terlihat bersenandung lagu yang sama dengan musik di ponselnya.
Ia sedang asik melukis dinding kamar Gea, dan sama sekali tidak menyadari kehadiran Iqbal di sana.
"Kamu siapa?"
Kintan menjerit kaget dan tanpa sadar menjatuhkan kuas catnya ke lantai, membuat noda berwarna hijau di sana. Lalu ia pun menoleh ke arah sumber suara yang mengejutkannya tadi.
Dan maniknya pun membelalak.
Loh? Pria ini... yang tadi menolongnya mengambilkan mainan dan yang memanggilnya ‘adik’??
Pria jangkung tinggi, berkulit putih dan tampan...
"Eh? Kamu sendiri siapa?" tanya Kintan balik.
Lelaki itu terlihat bingung dan kesal. "Saya? Saya adalah pemilik apartemen ini! Kamu siapa? Apa yang kamu lakukan di kamar anak saya?"
Mulut Kintan pun membentuk huruf O. "Ya ampun, jadi kamu... Papanya Gea?"
Kening Iqbal pun mengernyit semakin dalam. "Darimana kamu kenal anak saya?"
Kintan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tanpa ia sadari malah membuat cat di tangannya ikut menempel di rambutnya.
“Uhm, ceritanya panjang sih...,” ringis Kintan, tak menyangka ada kejadian yang se-kebetulan ini.
“Gea kehilangan kunci apartemennya, lalu saya bantu untuk menghubungi pihak maintanance apartemen. Kemudian, Gea juga meminta saya untuk melukis kamarnya. Menurut Gea, papanya pulang jam 10 malam. Jadi dia meminta saya untuk melukis hari ini juga,” tutur Kintan sembari melirik jam di tangannya.
‘Sekarang kan masih jam setengah 9, kenapa dia sudah pulang sih? Bikin kaget aja,' batinnya menggerutu.
"Lalu dimana Gea?" tanya pria itu.
"Ada di sebelah, di apartemen saya."
Iqbal pun menghela napas seraya mengomeli putrinya itu dalam hati. ‘Dasar Ge! Seenaknya saja memasukkan orang asing ke dalam rumah!’
"Maaf, tapi bisakah kamu rapikan semua? Saya akan jemput Ge."
Kintan mengangguk, dan dengan cepat merapikan semua peralatannya. Ia sadar sebagai orang tua, jika dia berada di posisi papanya Gea juga pasti kesal sekali.
Ck. Ini semua gara-gara ia tidak tega melihat Gea yang memohon padanya.
Sudahlah. Toh, ia juga tidak melakukan kejahatan.
Kintan keluar dari apartemen itu bersama papanya Gea dalam diam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara.
Wanita itu lalu memencet bel apartemennya karena ia memang tidak bawa kunci.
Saat pintu terbuka, tampak raut gembira Gea pun muncul melihat Kintan, namun ekspresi itu sontak menghilang ketika melihat seseorang yang berdiri di sebelah Kintan.
"Papa?" Gea terlihat kaget. "Kok papa sudah pulang?"
Iqbal lagi-lagi menghela napas pelan. "Coba jelaskan ada apa ini sebenarnya, Ge?" tanya lelaki itu dengan nada dingin.
"Mamaaa!!!" seruan riang dan tiba-tiba terdengar menyeruak di antara mereka. Suara girang Khalil dan Khafi yang melihat Kintan yang berdiri di depan pintu. Mereka pun berebutan memeluk Kintan.
"Tadi kak Gea main tembak-tembakan sama Khalil. Seru banget!" ucap si anak sulung penuh semangat.
"Kak Gea seluuu bangeett!" Khafi pun tidak mau kalah dengan suara cemprengnya.
Iqbal terlihat kaget mendengar panggilan anak-anak itu kepada Kintan.
"Mama??" ulangnya sambil mengerjap dan menatap heran kepada Kintan. "Jadi, kamu sudah punya anak?" tanya pria itu kepada Kintan antara percaya dan tidak percaya.
Kintan tersenyum bangga. "Iya. Dua orang," ucapnya sambil memberi tanda dengan telunjuk dan ibu jari.
Suara tawa yang menyembur tiba-tiba terdengar dari bibir Gea. "Maaf ya, Tante Kintan. Rupanya papa juga sudah salah paham. Kirain cuma Gea doang yang mengira kalau Tante Kintan masih kuliah!" serunya di sela tawa.
Iqbal tampak terlihat malu. Tadinya ia memang mengira wanita ini masih muda, jadi dia bersikap layaknya seperti orang tua... eh, ternyata wanita ini juga orang tua!
Pria itu pun mendehem pelan. “Ayo kita pulang, Ge,” ucapnya kepada Gea yang mendadak cemberut.
"Setengah jam lagi deh, pa. Gea lagi asik main sama Khalil dan Khafi," pintanya.
Kintan merasa tidak enak melihat ekspresi papanya Gea yang makin terlihat kesal. Ia pasti ingin pulang cepat untuk bertemu dengan anaknya, begitu pikir Kintan.
"Gea, besok-besok masih bisa main lagi kok sama Khalil dan Khafi. Pulang dulu aja ya? Kasian papanya pasti kangen sama Gea," bujuk Kintan sambil tersenyum.
Iqbal kembali mendehem pelan melihat keengganan yang tertera di wajah putrinya. "Ya udah, kalau gitu papa tunggu di rumah. Jangan lama-lama," ucapnya kemudian sambil berjalan kembali menuju apartemennya.
Kintan menatap punggung lelaki itu yang semakin menjauh, lalu ia pun mengalihkan tatapan ke arah Gea.
“Tante tahu bagaimana perasaan orang tua yang lelah bekerja. Lalu ketika pulang, perasaan lelah itu akan serta merta sirna saat melihat wajah anaknya yang tersenyum menyambut,” ucap Kintan lembut.
Gea terdiam sesaat, meresapi perkataan Kintan yang membuatnya jadi merasa kasihan dengan Papanya. "Iyaa… Gea pamit dulu, tante. Tapi kalau besok-besok Gea sering ke sini boleh kan?"
Kintan terenyuh melihat permintaan penuh harap dari pertanyaan Gea. Anak ini kesepian. Dia butuh teman, dan terlebih lagi, sebenarnya dia juga butuh papanya.
Kintan memeluk Gea tanpa sadar dan mengecup sayang pada puncak kepalanya. "Tentu saja, sayang. Kamu bebas datang kapan saja. Tapi pulanglah saat papamu sudah di rumah ya?"
Seketika wajah anak itu pun bersinar, dan ia pun membalas pelukan Kintan dengan erat.
"Kalau nggak ada papa, Gea akan panggil tante dengan sebutan 'mama', boleh ya?" bisiknya di telinga Kintan, dan Gea pun langsung berlari ke apartemennya, tanpa merasa perlu untuk menunggu jawaban dari Kintan.
***