Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Bersamamu

Seharusnya Kintan belajar dari kejadian tadi sore.

Seharusnya ia yang sudah berpengalaman pernah menikah dan berumah tangga, tidak dengan begitu mudahnya terbuai seperti gadis remaja.

Namun perlakuan Iqbal yang lembut serta permainan perpaduan bibir dan lidah pria itu yang sangat terampil tak pelak membuat wanita itu terbawa suasana, saat Iqbal tiba-tiba mendekatkan wajah untuk menciumnya.

Sebagai seorang wanita, tentu saja Kintan memiliki perasaan untuk menolak demi harga dirinya. Namun sebagai seorang wanita juga, ia pun tak bisa menampik perasaan menggebu yang tiba-tiba hadir dan perasaan meremang yang menyenangkan saat bibirnya bertemu dengan bibir Iqbal.

Ini adalah kedua kalinya Iqbal menciumnya. Namun untuk kali ini entah kemana akal sehatnya berada, karena Kintan tak lagi menolaknya. Sial. Iqbal sangat ahli berciuman!

Berulang kali ia berusaha sekuat tenaga untuk menekan hasratnya agar tidak mendesah, merasakan nikmat yang diberikan pria itu padanya.

Rasa menerima dan menolak sentuhan lidah basah Iqbal seakan sedang berperang di dalam otaknya, menggetarkan seluruh tubuhnya yang kini berada dalam kungkungan dekapan Iqbal.

Ini... tidak benar!

Kintan pun bermaksud untuk mendorong dada bidang Iqbal agar menghentikan ini semua, sebelum segalanya menjadi terlambat.

Tapi bertentangan dengan perintah dari logikanya, beberapa saat kemudian Kintan malah meraup bagian dada kemeja pria itu, seakan tidak ingin cumbuan yang menyenangkan ini berhenti.

Dan Kintan pun akhirnya menyerah.

Membiarkan hasratnya mengambil alih seluruh tubuhnya yang telah panas dan meletup karena hasrat.

Sementara itu, Iqbal tahu kalau Kintan akhirnya mulai terpancing pada umpan yang ia lemparkan. Ia pun tersenyum diam-diam untuk merayakan keberhasilannya memancing hasrat wanita itu.

Wanita yang membuatnya penasaran setengah mati. Yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan tetangganya yang janda ini sepanjang hari.

Kintan terlihat seperti gadis polos jika pertama kali melihatnya. Bahkan, Iqbal sempat mengira wanita ini masih berada di bangku kuliah!

Tapi siapa yang menyangka, kalau Kintan yang tampak polos ternyata menyimpan gairah panas yang sangat ingin dilihat oleh Iqbal ketika meledak ke permukaan.

Pasti sangat menakjubkan.

Meskipun Iqbal tidak tahu, kenapa harus Kintan yang membuatnya menjadi seperti anak remaja yang sedang puber seperti ini...

Sudah tiga tahun Iqbal menduda, dan selama ini tidak ada satu pun wanita yang membuatnya tertarik. Bukan karena mereka tidak cantik, hanya saja Iqbal benar-benar tidak berselera pada mereka.

Gea juga sering menjodohkan Iqbal dengan wanita yang menarik, tapi tetap saja pria itu tidak berminat.

Sedangkan Kintan...

Bahkan saat pertama kalinya ia bertemu wanita itu di depan lift, diam-diam Iqbal sudah tertarik.

Pria itu ingat saat Kintan yang terlihat kerepotan membawa kardus besar berisi mainan anak-anak, dan di tengah jalan ia malah terjungkal oleh tali sepatunya sendiri.

Menggemaskan sekali.

Iqbal benar-benar tidak menyangka kalau wanita yang telah membuatnya mabuk kepayang adalah tetangganya sendiri.

Darah Iqbal pun semakin berdesir dengan cepat, saat Kintan mencari-cari bibirnya dan membalas ciumannya dengan lembut.

Awalnya Iqbal membalasnya dengan kelembutan yang sama, namun lama-kelamaan pagutan itu menjadi sengit dan keras, seakan berubah menjadi pertunjukan adu gairah yang sangat panas.

Karena mereka telah sama-sama terseret dalam kencangnya arus yang telah membenturkan logika dan hasrat.

“Iqbal…” Kintan lirih melenguhkan nama Iqbal, saat ia merasa badannya telah sepanas api yang ingin segera dipadamkan.

Ia tidak mengerti, ia sungguh bingung, kenapa tubuhnya bisa sepanas ini?! Meskipun enggan, namun Kintan diam-diam mengakui, bahwa baru kalau ini ia bisa mereguk rasa yang sedahsyat ini. Bahkan dengan Kemal pun Kintan belum pernah merasakannya.

Iqbal yang mengerti akan kebutuhan Kintan, segera bergerak lebih jauh. Perlahan ia mengusap lembut leher Kintan dengan telapak tangannya yang hangat, lalu turun ke tulang selangka wanita itu.

“Mmhh…”

Sial. Kintan serasa gila ketika kehangatan tangan Iqbal kini berada di dadanya, dan menangkup bukit menakjubkan wanita itu untuk dimanjakan.

Aarghh… terkutuklah gairahnya yang merindukan sentuhan pria!

"Kintan, boleh aku melihatnya?"

Iqbal mungkin tahu pada kebutuhan Kintan yang tak tak dapat lagi ia bendung. Sakit di sekujur tubuhnya akibat reaksi alergi, kini telah berkurang akibat efek obat.

Dan kini, godaan Iqbal telah berhasil membuatnya tenggelam dalam gelora.

Manik coklat Iqbal pun sama sepertinya, telah berkabut dalam bayang-bayang hasrat. Kintan hanya bisa menjawab dalam gumanan lirih tak jelas, saat Iqbal bertanya sambil mengelus lembut gundukan yang terlihat penuh itu.

Namun satu hal yang Iqbal tahu pasti, bahwa Kintan telah mengizinkannya untuk bertindak lebih jauh.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Iqbal pun melucuti gaun hitam itu dari tubuh Kintan, sehingga yang tertinggal hanyalah pakaian dalamnya.

Keindahan yang seketika terpampang di hadapannya pun membuat Iqbal terkesima. Kintan... dia terlalu menakjubkan.

Tubuhnya sangat ramping, namun memiliki lekukan yang begitu menggoda dan penuh di bagian yang tepat. Sempurna, dan tanpa cela.

Sepertinya Kintan sangat merawat tubuhnya. Kulitnya yang putih sehalus sutra, lembut bagaikan mentega, dan rasanya manis seperti madu.

Iqbal pun menelan ludah. Kintan terlalu menggiurkan baginya. Pria itu tidak yakin akan bisa menahan keinginannya untuk segera melampiaskan hasratnya dengan cepat dan keras bersama Kintan.

Ia sudah lama tidak melakukannya, semenjak ia bercerai.

Selama ini Iqbal hanya tenggelam dalam kesibukan pekerjaan dan mengurus kebutuhan Gea. Tidak pernah ada sekalipun niatnya untuk dekat dengan lawan jenis, meskipun keluarga serta teman-temannya menyuruh Iqbal untuk segera menikah lagi.

Hanya saja, ia belum bisa melupakan rasa sakitnya dikhianati oleh orang yang pernah ia cinta segenap rasa.

Perihnya saat kesetiaannya tidak dihargai dengan timbal balik. Kehormatan keluarga dan harga dirinya telah dinodai oleh Rani, mantan istrinya.

Ia belum bisa melupakan itu.

Tapi entah sejak kapan, untuk sejenak Kintan telah membuatnya lupa pada rasa sakit itu.

Wanita inilah yang membuatnya ingin menyentuh tubuh wanita lagi, ingin merasakan kehangatan berbalut kelembutan yang feminin dan membuatnya serasa mabuk.

Ia memang pernah mencintai Rani. Tapi saat mereka bersama dulu… Iqbal tidak pernah merasakan panasnya kobaran api yang membakar seluruh tubuhnya seperti ini.

Kintan benar-benar telah membuatnya gila.

Iqbal menyentuh dan merasakan sensasi yang lezat di sana dengan bibirnya. Merasakan sekujur tubuh Kintan begitu menggiurkan, begitu menggoda. Dan membuatnya tidak ingin berhenti.

Kintan pun hanya bisa merintih, saat Iqbal menggigit lembut lekukan menonjol di dadanya dari balik bra.

Kedua matanya terpejam dan kepalanya menengadah ke atas. Ia mencengkram kuat rambut tebal dan hitam milik Iqbal, seakan memohon dalam kebisuan untuk tidak berhenti.

Kecupan Iqbal pun kemudian turun ke bawah, ke perut rata Kintan. Bagian yang juga begitu sempurna di mata Iqbal.

"Perut kamu sangat indah, Kintan. Sudah punya dua anak, tapi kok masih rata saja, sih?" tanya pria itu kagum.

Pujian Iqbal yang tampal tulus itu membuat Kintan tersenyum malu, namun tiba-tiba saja bayangan Kemal terbersit kembali di pikirannya.

Kemal, suaminya, yang tidak pernah memujinya sekali pun dalam hal apa pun. Yang sering membuatnya kesal dengan ketidak-pedulian suaminya itu pada Kintan dan anak-anak mereka.

Kemal juga sangat pemarah dan sensitif. Terkadang dari yang cuma bercanda, tiba-tiba saja jadi bertengkar karena Kemal yang mudah tersinggung.

Jujur saja, Kintan sebenarnya sudah tidak tahan dengan sikap Kemal yang egois dan pemarah itu. Jika saja tidak ada Khalil dan Khafi, mungkin Kintan sudah mengajukan cerai.

Bayangan buruk pernikahan yang terlintas di benaknya itu tanpa sadar membuat Kintan melamun, dan membuat Iqbal mendongakkan wajahnya karena menyadari Kintan yang tak lagi mendesah.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel