Bab 8 Kemarahan Matahari
Bab 8 Kemarahan Matahari
Senyum puas mengembang di wajah Mark saat melihat cucunya berjalan menghampiri. Isamu, cucu satu-satunya, putra Matahari dan Larisa. Cucu yang diharapkan dapat memenuhi ambisinya untuk menguasai Maeda Group.
Semua penjelasan dan alasan sudah Mark berikan agar Isamu bersedia pulang ke Indonesia. Tetapi cucunya bergeming hingga akhirnya ia melakukan hal yang sangat memalukan. Mark menjual nama Januari dan Matahari. Dan tentu saja berhasil, Isamu bersedia pulang bersamanya.
Mark lelaki yang selalu berambisi untuk menguasai Maeda Group tidak peduli bila yang dia lakukan dapat membuat Matahari murka. Isamu yang tidak tahu dengan apa yang terjadi melangkahkan kakinya dengan ringan menuju ruangan tempat ayah dan ibunya sedang bersantai.
“Malam Dad, Mom. Tidak ada yang menyambut kedatanganku? Atau kalian tidak berharap aku pulang?” sapa Isamu dengan suaranya yang sedikit keras.
Tanpa harus disapa dua kali, Matahari dan Larisa menoleh ke arah pintu di mana suara sapaan berasal. Sejenak saling tatap karena sangat terkejut melihat Isamu berdiri dengan wajah tersenyum. Larisa bergegas bangkit dan menyambut putranya.
“Isamu? Apa yang kamu lakukan di sini, Nak? Bagaimana dengan kuliahmu?” tanya Larisa memberi dekapan kerinduan pada tubuh jangkung putranya.
“Benar Mom, ini aku Isamu putramu. Kecuali kalau Mom mempunyai putra yang lain,” jawab Isamu mencoba melawak.
“Tidak lucu,” sungut Larisa. “Apa yang membuatmu pulang. Bagaimana dengan kuliahmu? Bukankah sekarang belum waktunya kamu liburan?” tegur Matahari.
“Aku memang tidak bermaksud melucu. Tapi yang kalian katakan juga membuatku tidak berdaya,” jawab Isamu heran.
“Maksudmu? Bicara tentang apa?” tanya Larisa heran.
“Dad dan Jan. Mereka yang menyebabkan aku meninggalkan kampus.” Isamu menatap wajah Matahari dan ia mengumpat dalam hati ketika mulai mengerti mengapa orang tuanya tidak menyambut kepulangannya dengan suka hati.
“Dad dan Jan?” Larisa menoleh pada suaminya. “Sayang? Kamu dan Jan yang meminta dia pulang?” wajah Larisa sudah memasuki mode siap mengomel satu jam ke depan. Isamu menatap orang tuanya, menyesal sudah bicara.
“Ada apa? Kau belum menjawab pertanyaan ibumu?” tanya Matahari. Larisa yang paham nada bicara suaminya menarik Isamu sedikit menjauh. Memberinya usapan lembut di punggung dan menatap suaminya dengan lembut.
“Sayang, biarkan Isamu istirahat dulu. Bagaimanapun dia sudah berada di rumah,” ia bicara dengan nada membujuk pada suaminya sebelum kemudian menoleh pada anaknya. “Istirahatlah, kami akan menunggu penjelasan darimu nanti,” ucap Larisa, mendorong anaknya menjauh. Tapi Isamu menolak.
“Tidak Mom. Karena aku juga sangat berat ketika memutuskan untuk pulang sementara waktu yang kumiliki untuk mendapatkan gelar tidak begitu lama lagi,” jawab Isamu menolak untuk beristirahat.
“Bagaimana dia membujukmu?” tanya Matahari langsung, nadanya sangat tajam.
“Opa mengatakan kalau, aaah, aku terlalu bodoh untuk mengetahui apa yang sedang direncanakannya,” sahut Isamu kelam.
“Kita akan membicarakannya kembali setelah kamu beristirahat,” Matahari segera memeluk Isamu dengan erat. Sangat berbeda saat ia berbicara dengan nada penuh kemarahan. Isamu menggeram dalam rangkulan ayahnya, kesal pada sang kakek.
Dengan tubuh lesu karena dibohongi kakeknya, Isamu melangkah ke kamarnya sementara Matahari segera menghubungi Mark. Tetapi pria tua yang sejak awal menjadi rivalnya tidak menjawab panggilan teleponnya.
Di tempat lain Mark tertawa puas dengan yang sudah dia lakukan. Dia akan menunggu ketika Januari tersingkir dan Isamu yang akan menggantikan posisi CEO dengan harapan dia bisa mengendalikan Maeda melalui tangan Isamu.
“Matahari, kamu tidak akan bisa melawanku. Aku sudah selangkah lebih maju darimu. Apa yang akan kau lakukan ketika anakmu sendiri yang akan menggantikan Januari dan aku akan membuat tidurmu tidak akan pernah nyenyak lagi karena aku sudah kembali untuk membuat perhitungan denganmu,” katanya.
Suara tawa Mark terdengar begitu keras karena ponselnya terus berbunyi dan asal panggilan telepon tersebut berasal dari satu orang, yaitu Matahari. Sementara yang menelepon Mark berkali-kali tengah menggeram marah di kamarnya.
‘Dia ternyata tidak pernah berhenti dan sekarang ingin mengganggu Jan. Bahkan sampai menjemput paksa Isamu bahkan tanpa setahuku sebagai orang tuanya,’ Matahari mengeluh dalam hati. Dia yang berpikir Mark sudah selesai dengan semua ambisinya terhadap Maeda Group, hari ini menyadari bahwa Mark tidak pernah selesai dengan ambisi itu.
Matahari tidak habis pikir dengan langkah Mark, sangat tidak masuk akal dan terlalu ikut campur yang bukan urusannya. Larisa masuk ke kamar setelah memastikan putranya bisa istirahat dengan nyaman. Menatap suaminya yang termangu di sisi jendela.
“Maaf Ayah berulah lagi,” sahutnya, memegang lembut lengan kokoh suaminya. “Apa yang akan kau lakukan Ra?” tanya Larisa dengan nada khawatir.
“Walaupun aku sudah menduga apa yang akan Ayah lakukan, tapi aku hanya akan menunggu. Apakah dia benar-benar akan bertindak seperti dugaanku,” jawab Matahari memegang tangan Larisa yang berada di lengannya.
Wanita itu menatapnya dengan rasa yang tak bisa ia ungkapkan. “Maaf, jika semuanya kembali seperti semula,” ujarnya pelan. “Aku hanya berharap kalian berdua tidak terluka.”
“Kali ini, kami tidak akan bertarung di atas ring seperti dulu, Sayang,” ujar Matahari tersenyum, mengusap lembut kedua pipi halus istrinya. “Kami hanya akan menggunakan pion.”
“Kau akan meminta Ken kembali?”
“Menurutmu? Andara bisa memblokirku,” kekeh Matahari, berusaha terlihat tidak khawatir.
***
Pagi-pagi sekali ponsel Isamu sudah berdering, mengganggu tidurnya yang nyenyak. Mengeluh ketika melihat siapa yang menghubunginya di pagi buta, Isamu memilih mengabaikannya dengan memilih tanda diam dan melempar kembali ponsel tidak bersalah itu ke atas nakas.
“Kurang ajar. Jawab teleponku Isamu,” Mark menggeram marah karena Isamu tidak menjawab teleponnya. Nyaris membanting ponsel tetapi sejurus kemudian dia bisa bersikap tenang, setelah pikiran bahwa Isamu mungkin masih tidur.
Tetapi Mark bukanlah orang yang bisa menunggu dan kesabaran yang ia miliki bahkan lebih tipis daripada kulit ari. Karena itu dia langsung menuju mobilnya dan pergi untuk menemui Isamu langsung di rumahnya.
Suara deringan bel mengganggu pagi hari di rumah Matahari yang biasanya selalu tenang hingga Matahari menyuruh pelayannya untuk melihat siapa yang tamu yang datang pagi-pagi secara tidak sopan.
“Maaf Tuan, yang datang adalah Tuan Mark,” beritahu pelayan yang langsung pergi setelah Matahari memberi isyarat untuk meninggalkannya.
Mark berdiri di depan Matahari dengan sikap jemawa dan merasa berhak untuk berada di rumah Matahari. “Selamat datang di rumah, Ayah,” ucap Matahari dengan nada sarkas. Mark menyeringai.
“Aku senang Ayah datang sendiri ke sini setelah tidak menjawab teleponku,” ucap Matahari dengan suara yang dapat membuat orang pergi menjauh.
“Aku datang untuk cucuku,” sarkas Mark, membuat Matahari menggeram marah.
“Apa hakmu membawa pulang putraku? Kau sama sekali tidak berhak mengganggu kehidupan anakku. Setidaknya bicara pada ibunya!”
“Isamu memang anakmu tapi dia juga cucu lelakiku. Kecuali kamu bisa melahirkan anak sendiri. Aku berhak mengatur kebahagiaannya karena ayahnya sendiri lebih mementingkan anak yang tidak jelas sebagai seorang CEO,” ucapnya sinis. “Dan aku akan memberikan dia apa yang seharusnya ia miliki.”
Matahari menarik kerah Mark dan menekannya ke dinding. Tidak perduli bahwa yang dia hadapi sekarang adalah ayah mertuanya sendiri. “Percayalah, aku tidak membutuhkan orang luar untuk mengatur perusahaanku. Apalagi orang seperti dirimu,” ucap Matahari mengancam.
“Hahaha! Apa yang akan kau lakukan bila aku mengatur kehidupan cucuku? Memukulku? Atau kita kembali bertarung lagi? Dan sebagai taruhannya adalah Maeda?” kata Mark dengan sikap menantang Matahari.
“Anda terlalu menilai tinggi Anda, Tuan Mark. Kurasa aku tidak perlu mengingatkan siapa kau di keluarga ini? Ataukah aku harus membawa Diamond ke situasi yang sama lagi? Kuingatkan, Maeda tidak akan pernah memberi tempat secuilpun padamu.”
Mendengar ucapan Matahari membuat Mark sangat murka dan dia segera menyingkirkan tangan Marahari dari kerah kemejanya. “Aku akan membuat Isamu duduk di kursi CEO dan menggantikan anak tidak jelas itu.”
Matahari nyaris memukul Mark kalau saja Larisa tidak datang, setengah berlari untuk mencegahnya. Wanita berparas indah itu memegang lengan suaminya yang bergetar dalam amarah dengan kuat.
“Jangan Ra. Aku mohon padamu,” kata Larisa pelan, menatap mata birunya dengan memohon.
Mark tersenyum smirk melihat Matahari yang menahan diri saat Larisa datang dan mencegahnya. Ia tahu, Larisa selalu menjadi kelemahan Matahari.
Larisa menatap Mark dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Hubungan mereka memang tidak pernah baik karena Mark sangat membenci suaminya. “Bukankah seharusnya Ayah tidak mempertaruhkan keberuntungan Ayah di sini. Ayah, aku meminta padamu, tolong pergilah.”
“Anak kurang ajar. Kau sama saja dengan laki-laki lemah yang menjadi suamimu. Tidak pernah memikirkan kebahagiaan anak sendiri,” geram Mark. Ia bergerak menyingkir dari tatapan memanggang Matahari. “Isamu, turunlah! Opa datang! Cepat temui Opa Isamu!”
Mark ternyata memang mempertaruhkan keberuntungan yang dia miliki dengan berteriak memanggil Isamu di depan Matahari. Ia tahu Matahari tidak menjatuhkan tangannya di depan Larisa. Wanita yang sangat dia sayangi dan cintai.
Isamu mengeluh, pemuda itu sebenarnya sudah sejak tadi melihat dan mendengar pertengkaran di ruang tamu. Isamu tersenyum karena ketegasan ayahnya dan tahu apa yang dia lakukan meskipun orang yang dia hadapi adalah ayah mertuanya sendiri. Dengan langkah santai dan memasang wajah mengantuk ia turun.
“Sepenting apa Opa? Sampai membangunkanku sepagi ini? Lagi pula kenapa Opa berteriak-teriak? Mom biasanya tidak suka suara yang nyaring,” ujarnya dengan nada tidak tahu apa-apa dan mengerling ibunya yang mendecih. Jelas-jelas Larisa melihat ia menyeringai dari lantai dua saat ayahnya nyaris memukul sang kakek.
Mark menatapnya sebal. “Jangan bersikap seperti yang orang tuamu lakukan. Kau adalah cucuku. Maka bertindaklah sebagai cucuku. Bukan sebagai lelaki lemah yang berlindung di bawah ketiak orang tuamu,” sergah Mark. Isamu membuat gerakan menguap dan menggaruk kepalanya seolah ia tidak mengerti.
“Aku tidak tahu apa yang Opa inginkan dengan datang ke sini pagi-pagi. Tapi menurut Opa, aku bisa berlindung di mana lagi kalau bukan pada orang tuaku?”
“Aku tidak akan datang ke sini kalau saja kamu mengangkat telepon dariku,” ucap Mark berusaha sabar, kesal karena Isamu bersikap tidak sesuai harapannya.
“Oh? Yang meneleponku pagi ini Opa? Maaf, tapi memang sengaja tidak mengangkatnya, mataku terlalu berat untuk dibuka Opa. Sudah lama tidak tidur begitu nyenyak,” jawab Isamu sambil mengangkat kedua bahunya tidak peduli.