Ringkasan
Januari terpaksa menerima jabatan sebagai CEO untuk perusahaan keluarga karena permintaan paman dan neneknya. Tapi mertua pamannya tidak menyetujui hal itu dan membawa sepupunya pulang dari Jerman untuk mengisi jabatan itu setelah ia mengungkapkan jati diri Januari yang sebenarnya. Januari menjauh dari keluarganya karena merasa dibohongi. Ia membuang identitasnya sebagai keturunan Isamu Maeda, menggunakan kontak lens untuk menutupi mata heterochromia yang menjadi cirri khasnya. Bekerja sebagai fotografer independen dan tinggal di kota kecil di sumatera. Tapi suatu hari ia akhirnya mengetahui apa yang terjadi di masalalu ibunya, membuat Januari merasa bersalah. Ia berusaha memperbaiki keadaan, tapi bersamaan dengan itu ia mendapati kenyataan bahwa perusahaan keluarganya tengah dirongrong oleh mertua pamannya yang berusaha mengambil alih perusahaan itu.Dibantu Cahaya, gadis yang ia temui dalam pengasingannya dan sepupunya Isamu, Januari menyingkirkan semua pengganggu di keluarganya.
Bab 1 Pendakian
Bab 1 Pendakian
Angin bertiup kencang menyibak rambut Januari yang diikat di atas tengkuknya sementara bandana menahan keringat yang turun dari dahinya. Hari ini ia tiba di Lombok untuk memulai pendakian menuju Puncak Rinjani. Sudah lama ia tidak melihat Danau Segara yang berada di tengah-tengah kawah Rinjani.
Januari sengaja memilih jalur pendakian melalui Pintu Bawak Nao setelah melintasi persawahan warga yang berada di Desa Sembalun. Setelah sebelumnya dia mendaki melalui Desa Senaru. Sebagai pemuda yang masih memiliki semangat dan ego untuk menaklukkan salah satu gunung tertinggi di Indonesia adalah kebanggaan yang tidak dapat dinikmati setiap orang.
Januari terlihat asik bersenda gurau dengan para pendaki lain ketika mereka berada di Pos 2 Trangeang Sembalun.
“Aku tidak mengira kita dapat bertemu lagi Jan,” sapa salah seorang pendaki yang berasal dari salah satu klub pendaki yang berasal dari Pulau Jawa.
Januari menepuk pundak pria sebayanya itu dengan bibir menguar senyum. “Benar. Sudah lama aku tidak melihat Danau Segara,” jawab Januari dengan wajah seperti memimpikan danau yang berada di Gunung Rinjani.
“Sendirian?” tanya sang teman.
“Tidak, aku bersama teman,” jawab Januari, mengerling temannya yang asyik menggoda wanita dalam rombongan.
“Hanya berdua?”
“Benar. Aku lebih suka tidak banyak orang yang ikut bersamaku. Kau sendiri?”
“Seperti kau lihat, aku bersama rombongan. Walaupun aku juga terkadang sepertimu yang lebih menyukai kesendirian, tetapi berjalan dengan mereka juga memiliki keseruan yang tidak mudah diabaikan,” jawab Bagas, pendaki yang sedang berbincang-bincang dengan Januari.
“Semoga tidak ada badai,” harap Januari, menatap berkeliling.
“Semoga tidak, meskipun ramalan cuacanya sedikit membuat khawatir,” mereka tertawa bersama.
“Apakah kau sudah mempunyai rencana setelah ini?” tanya Bagas mencari tahu.
“Belum tahu. Kau sendiri?”
“Pendakian ke tempat biasa. Aku diminta memberikan pelatihan untuk anak-anak SMA,” jawab Bagas.
“Kalau begitu aku ucapkan semoga sukses,” kata Januari.
“Jam berapa kamu akan melanjutkan perjalanan?” tanya Bagas.
“Sekarang,” jawab Januari tertawa.
“Wow, mengapa kamu tidak katakan sejak tadi. Apa aku sudah terlalu lama menunda perjalanan mu?” tanya Bagas dengan wajah bersalah.
“Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian semuanya,” kata Januari pada mereka yang masih beristirahat di pos 2.
Dengan peluh yang membasahi kaos dan angin nakal mengibarkan rambut panjangnya yang dibiarkan sampai tengkuk yang basah sementara ikatan rambutnya sudah hilang entah ke mana, Januari berhenti sejenak. Menatap ke belakang di mana teman dan rombongan Bagas ternyata menyusul. Bumi, teman yang mendampingi pendakiannya kali ini mendelik ketika Januari berbalik dan kembali melangkah.
“Istirahat sebentar, Jan!” teriak Bumi dari jarak lima puluh meter, tapi Januari tetap melanjutkan perjalanannya menuju Pos 3 dengan harapan mereka bisa tiba di puncak tepat saat matahari terbenam karena bagi pendaki pemandangan matahari tergelincir dari kaki langit adalah momen yang paling ditunggu.
Langkah Januari terhenti ketika ponsel dalam kantong jaketnya menjerit. “Bukankah itu suara ponsel kamu Jan?” tanya Bumi.
“Benar. Kupikir tidak ada lagi signal di sini,” Januari mengambil ponselnya dengan bersungut-sungut. Dan mengeluh kesal ketika nama Ken tertera di layar ponselnya.
“Siapa?” tanya Bumi ketika melihat raut kesal sahabatnya.
“Hmh, selalu mengganggu di waktu yang salah,” gerutu Jan dalam hati. “Halo Ken?”
“Aku minta maaf mengganggu pendakianmu. Tapi kembali ke Jakarta sekarang,” suara Ken di seberang sana tidak bisa ditawar.
“Ke Jakarta? Kau gila! Apa kau tahu saat ini aku berada di mana?” tanya Januari dengan wajah kesal. Bumi yang sudah sampai di dekatnya hanya tersenyum kecut.
“Aku minta maaf Jan. Tapi kau memang harus kembali sekarang,” tegas Ken.
“Kembali sekarang? Siapa yang mengharuskan aku kembali sekarang?” tanya Januari dengan mimik wajah yang sulit digambarkan.
“Aku yang memintamu kembali.”
“Ah, ayolah, Ken,” ujar Januari sebal.
“Tidak ada tawaran Jan. Sekarang.”
“Katakan ada apa?”
“Pamanmu berulah. Dia ingin meninggalkan Maeda Group sekarang.”
“Lalu? Bukankah kau bisa menjalankan perusahaan?”
“Benar. Tapi Matahari memintaku harus segera kembali ke Rotterdam. Andara tidak bisa menangani ADN sendirian. Kau tahu aku memiliki tanggung jawab yang sama besarnya dengan Maeda.”
“Apa aku bisa memilih?”
“Dengan sangat menyesal, kau tidak bisa memilih Jan.”
“Aku ingin menyelesaikan pendakianku lebih dulu.”
“Seperti yang sudah aku katakan padamu, kau tidak punya pilihan.”
Mimik kesal yang terlihat di wajah Januari, sulit untuk dikatakan sehingga Bumi lebih memilih diam dan menunggu keputusan dari temannya sendiri.
“Pesawatnya sudah kusiapkan,” suara Ken nyaris tenggelam dalam geraman kesal Januari. Ia memutuskan sambungan tanpa mengucapkan salam pada Ken.
“Jadi?” tanya Bumi memastikan apa yang akan dipilih oleh Januari.
“Kau pikir aku punya pilihan?” sungutnya kesal. “Aku bisa dicoret dari kartu keluarga.” Bumi terbahak mendengar kalimat bernada sarkas itu.
“Kita dalam perjalanan menuju Pos 3,” goda Bumi yang dibalas seringai Januari.
“Kalau kamu bertanya yakin atau tidak jawabannya aku benci harus memutuskan kembali. Oke, aku harus kembali, apa kamu mau melanjutkan perjalanan sendiri atau menunggu rombongan Bagas?”
“Tidak perlu menunggu. Itu ada Awan. Kami akan jalan bersama,” jawab Bumi saat melihat Awan dan kawan-kawannya berjalan ke arah mereka.
“Apakah kalian sudah terlalu tua untuk bisa berjalan lebih cepat?” goda Awan.
“Biasa, ada gangguan yang membuat kami berhenti lebih lama dari yang seharusnya,” jawab Januari.
“Aku harap bukan hal yang serius.”
“Hanya orang di rumah yang selalu kehilangan,” jawab Januari tertawa.
“Aku harap bukan berita buruk.”
“Bukan. Aku harus kembali ke Jakarta dan silahkan kalian lanjutkan. Semoga lain waktu kita dapat bertemu kembali dalam pendakian selanjutnya,” ujar Januari pada mereka.
Semua rasa ada di dalam hati dan jiwa Januari. Pendakian adalah hoby yang sudah lama dia lakukan dan seperti kegiatan rutin untuk menyalurkan energinya. Selama ini Januari tidak mempunyai keharusan apalagi kewajiban untuk memimpin perusahaan dan kini ia harus turun langsung dengan jabatan yang terlalu tinggi buat dia yang masih mentah dalam bekerja.
Senja sudah mulai menggantikan siang ketika Januari baru memasuki kota Lombok dan membawa mobilnya menuju arah Bandara Lombok Internasional Air yang berada di kota Praya Lombok Tengah. Beberapa orang utusan Ken sudah menunggunya di sana. Januari mendesis kesal, sepertinya jika ia tidak segera turun, Ken akan meminta mereka menjemputnya ke puncak Rinjani.
Wanita yang dikenal Januari pramugari senior pesawat milik keluarga Maeda mengangguk sopan ketika ia masuk ke pesawat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Januari, ia hanya duduk dan diam. Pramugari senior yang menyambutnya tadi meminta pilot untuk segera take off.
Tidak satu pun dari mereka yang berani mengajaknya bicara. Dalam beberapa hal, Januari kadang lebih mengerikan bagi mereka ketimbang Matahari, pamannya. Januari lebih seperti Ken, yang dingin dan kaku. Mereka hanya menatap wajahnya yang kesal dan dingin, seorang pramugari baru berusaha mendekatinya dan menawarkan minuman. Tapi Januari hanya mengerling kesal padanya dan gadis itu membawa kembali nampannya ke pantry.
Di kafe Larisa, wanita itu menatap suaminya yang terlihat bersemangat memasak sesuatu di dapur bersama Dani. Yang ditatap sama sekali tidak peduli dan tertawa bersama dengan Dani dan istrinya. Dengan gemas, Larisa mendekati mereka dan menarik lengan suaminya menjauh dari dapur.
“Hai Sayang, kau begitu merindukanku?” goda Matahari seraya mengacak rambut blondie Larisa.
“Katakan ada apa?” sarkasnya begitu mereka duduk di ruangan privat Larisa.
“Kenapa kau meninggalkan Maeda?” pertanyaan itu sepertinya lewat begitu saja di telinga Matahari yang justru menatap istrinya dengan terpesona.
“Bagaimana kau begitu cantik di usia sekarang?” tanyanya bloon. Dua jari Larisa mengetuk dahi sang suami. Menatapnya antara kesal dan geram. Tapi sang suami terlihat lebih mempesona di usianya yang memasuki 40. Usia matang yang dimiliki oleh para pria yang bisa diharapkan dapat mengambil keputusan bijak serta bertanggung jawab.
“Aku bertanya padamu,” Larisa menatap manik mata biru Matahari. Pria itu menatapnya serius.
“Sayang, ini bukan tentang rasa bersalahku, tapi kau tahukan aku tak terlalu tertarik untuk duduk di kursi di sana dan bertindak sebagai CEO yang menyebalkan. Jan sudah menyelesaikan pendidikannya, sudah waktunya bagi dia untuk memimpin.”
Larisa menggeleng menatap suami keras kepalanya. “Tapi kau tidak bisa melakukannya secara tiba-tiba seperti ini. Dia masih butuh bimbingan Ra. Dan kau bahkan meminta Ken kembali ke Rotterdam.”
“Ah, jangan khawatir,” Matahari merengkuh kepala istrinya agar mendekat. “Jan bisa melakukannya. Aku sudah mendidiknya sejak lama. Lagipula sebelum pergi, Ken pasti akan membimbingnya.”
“Kau selalu begitu. Memangnya kamar kecil dan gelap itu bisa jadi kantormu?” sungut Larisa. Matahari membelalak.
“Kau tahu?”
“Tentu saja! Kau pikir aku tidak penasaran setiap kali melihat suamiku muncul dari dinding?” Matahari terkekeh.
“Semoga keyakinanmu pada Jan benar adanya. Kuharap dia bisa bekerja sepertimu dan Maeda Group tidak akan menjadi beban baginya.”
“Sayang, aku sudah memberinya waktu terlalu lama untuk berkeliaran dari satu gunung ke gunung lain. Sekarang waktunya dia bekerja. Percayalah, aku dan Ken sudah mempersiapkan dia sejak lama,” pungkas Matahari.
*Bersambung*