Bab 2 Keterpaksaan
Bab 2 Keterpaksaan
Ken duduk di kursi kebesarannya dengan layar laptop yang masih menyala di meja. Pria berwajah dingin itu fokus pada ponsel di tangannya. Menggembungkan pipi dan menghembuskan nafas berat.
Ia terpaksa meminta Januari untuk menggantikannya mengurus perusahaan. Tidak hanya karena ulah Matahari yang mendadak ingin menikmati masa tua dengan Larisa, Ken berpikir sudah saatnya ada regenerasi pemimpin yang harus dilakukan di Maeda Group.
“Masa tua apanya, umurmu bahkan baru memasuki 40 tahun dan aku sudah 50,” kutuknya pada ponsel di tangan. Di mana sederet pesan Matahari membuat netranya seperti terbakar.
Sejenak Ken bernostalgia dalam memorinya, mengenang masa kecil Januari. Bocah yang dibawa pulang oleh Matahari begitu ia keluar dari penjara itu tadinya tidak mendapatkan kasih sayang. Tapi setelah memasuki rumah besar keluarga Jaan Peter ia jadi kesayangan semua orang.
Ken sudah melihatnya tumbuh dari bayi merah sampai ia menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari orang kebanyakan. Ia sudah lelah menunggu Januari menjadi seorang pemuda yang bisa bertanggung jawab untuk menjalankan perusahaan sementara dia harus kembali ke Belanda. Menjalankan ADN yang berarti berkumpul bersama dengan Andara dan juga anaknya.
Hari ini ia baru mendengar dari Merah kalau Januari pergi ke Lombok untuk melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Ia tahu kalau Januari sangat suka melompat dari gunung yang satu ke gunung yang lain, tidak ubah dengan pamannya. “Cih, kau memang duplikat dia,” sungutnya pada foto Januari yang tertawa riang bersama Isamu dan Kaith, putranya.
Ken bukan tidak menyadari jika Januari yang duduk sebagai CEO Maeda Group, Mark pasti akan bertingkah. Karena Isamu putra sulung Matahari masih kuliah di Jerman. Ken tahu ia tidak akan mudah untuk membuat jajaran direksi bisa menerima Januari. Mereka yang rata-rata berusia sudah 40an tidak akan mudah menerima dipimpin oleh pemuda berusia 20an.
Ia sudah mengatur pertemuan dengan para direksi untuk membahas pengunduran dirinya sekaligus memberitahu kalau ia akan kembali ke AND. Dan untuk posisinya akan digantikan oleh Januari. Setelah mendapat kabar bahwa Januari sudah berada di pesawat, Ken menemui jajaran direksi. Menghembuskan nafas dan bersiap untuk semua protes yang mungkin akan diluncurkan kepadanya.
“Apakah Anda yakin perusahaan dapat berjalan dengan baik di bawah kepemimpinan Januari? Dia belum berpengalaman sama sekali untuk menjadi seorang pemimpin,” sela salah seorang direksi.
Ken menatap direksi yang baru saja bicara. “Kalian semua tahu, dia bukan anak kemarin sore. Dia sudah berada di perusahaan ini sejak masih remaja,” sahutnya.
“Tapi dia lebih banyak keluyuran ke gunung ketimbang duduk di ruangannya,” sahut yang lain. Ken menelan senyum kecutnya.
“Karena itu aku meminta kesediaan kalian untuk membantunya, bukan mempertanyakan apakah dia pantas atas tidak. Aku dan Matahari sudah mencoba membimbingnya selama ini, tidak akan sulit bagi kalian untuk membuatnya memahami kondisi perusahaan. Matahari sudah mempersiapkan semua ini sejak lama dan Januari selalu mendapatkan laporan secara periodik tentang kondisi perusahaan,” jawab Ken
“Kami mengerti maksud Anda, tapi apakah ini tidak terlalu terburu-buru?
“Tidak ada kata tetapi. Aku ingin kalian semua membantunya. Apakah saat kalian bekerja di sini, kalian sudah memiliki keahlian? Atau ketika kalian sudah menyelesaikan pendidikan, secara otomatis kalian sudah bisa bekerja dengan semua tugas yang harus kalian lakukan?” sahut Ken menatap semua direksi.
“Kalau begitu untuk apa kami diminta mengeluarkan pendapat kalau keputusan Anda yang utama?”
Ken menatap tajam direksi yang baru saja bicara dan dengan matanya yang seperti mengancam Ken berbicara padanya. “Saya bukan meminta Anda mengeluarkan pendapat untuk menyatakan setuju atau tidak. Saya tidak memerlukan pendapatmu yang berhubungan dengan pantas atau tidaknya. Saya hanya menyampaikan kalau Januari akan menggantikan diriku dan aku meminta kalian semua untuk membantunya!”
Sunyi, ruangan mewah itu sejenak hening. Semua mata menatap direksi yang baru saja bicara.
“Maaf Tuan Ken, Maeda Group sebelumnya dipimpin oleh Tuan Matahari bersama Anda. Mengapa Anda tidak menyerahkannya pada Tuan Isamu?”
Ken menarik nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan, terlihat sedang berusaha keras menahan diri agar tidak meledak. Ia menatap direksi yang baru saja bertugas beberapa tahun di Maeda Group. Laki-laki yang beruntung karena direkomendasikan Dani.
“Apa kalian lupa siapa Januari?”
Hening.
“Dia adalah cucu pertama Jaan Peter, apa perlu pertanyaan seperti ini? Dan kau,” Ken menatap tajam direksi yang baru saja bicara. “Apakah aku lupa memberitahumu jika Isamu masih menempuh pendidikannya?”
“Menempatkan Januari sebagai CEO di sini bukanlah keputusan yang diambil hari ini. Semua ini sudah dipersiapkan bahkan sejak dia masih balita oleh Matahari dan Dokter Hanako.”
“Kami akan membantu Januari dan menjadikannya pemimpin yang mampu mengatasi semua yang terjadi di perusahaan seperti di bawah kepemimpinan Anda dan juga Tuan Matahari.”
Kata-kata itu meluncur dari direksi yang paling tua, Ken menyeringai pada pria yang jauh lebih tua darinya itu. “Terima kasih. Aku sangat mengharapkan bantuan kalian semua. Kalau masih ada yang tidak puas, mejaku masih cukup luas untuk menerima surat pengunduran diri kalian,” ucap Ken memperhatikan para direksi yang tadi mengatakan keberatannya atas keputusan Ken memilih Januari menjadi seorang CEO.
Dengan langkah pasti Ken keluar dari ruang meeting diikuti oleh sekretarisnya. Ia melirik pria separuh baya itu dengan tatapan tajam.
“Dia sudah sampai?”
“Belum Tuan. Saya rasa Januari masih berada di perjalanan,” sahut sekretarisnya dengan suara yang terdengar sabar membuat Ken meliriknya kesal.
“Bukankah tadi kau bilang dia sudah ada di pesawat? Apa kau tidak bisa mencari tahu apakah sudah mendarat? Ini sudah dua jam lebih.”
“Telepon mereka dan katakan agar langsung membawa Jan ke sini, sekarang!” perintah Ken dengan suara tegas sambil menyisir rambut dengan jemarinya.
“Baik Tuan, akan saya selesaikan dengan segera,” katanya sebelum Ken masuk ke dalam ruangan.
Setelah pintu di belakangnya tertutup, Ken berdiri di menatap lalu lintas yang lalu lalang di bawah kakinya. Kantor ini menggunakan kaca sebagai dinding sehingga Ken yang penikmat matahari senja selalu bisa menatap bias jingga dari mejanya.
“Kenapa kamu belum juga memberi kabar pada Paman, Jan?” Ken mengeluh pelan.
Sementara Ken gelisah menunggu kabar, seorang pemuda keluar dari pesawat menenteng ranselnya. Melangkah lebar meninggalkan apron diiringi empat orang yang bergegas di belakangnya.
Salah satu dari mereka mendahului dan membukakan pintu mobil. “Ke rumah,” ujarnya setelah duduk. Pria yang duduk di samping sopir menoleh ke belakang.
“Tapi Tuan Ken meminta Anda langsung ke kantor,” jawabnya dengan suara dalam, setengah memerintah. Januari menghempas nafas kesal.
“Menurutmu aku harus ke kantor dengan pakaian begini?” sentaknya.
“Saya sudah siapkan pakaian ganti Anda, sebelum bertemu Tuan Ken Anda bisa bersalin pakaian,” lagi-lagi nadanya memerintah. Januari menggaruk belakang kepalanya kesal.
“Terserah kau saja,” sungutnya sebal. Pria di samping sopir tersenyum samar dan memerintahkan agar sopir membawa mereka segera ke Maeda Group.
Januari mendecih ketika getaran di ponselnya membuat ia terganggu. Mengambil benda pipih itu dari kantongnya, meringis ketika melihat puluhan panggilan tak terjawab ada di sana.
“Dia benar-benar tidak sabar,” gerutunya saat melihat semua panggilan itu berasal dari Ken.
Setelah berpikir berulang kali, akhirnya Januari menghubungi Ken, dengan maksud membuat Ken tenang. Menunggu cukup lama sebelum kemudian suara Ken menyapanya dari seberang sana.
“Halo Ken. Aku baru….”
“Apa kau butuh ponsel baru? Apa begitu sulit untuk memberi kabar padaku?” sergah Ken dengan suara kesal. Januari menggaruk tengkuknya, antara sebal dengan rasa bersalah.
“Ken, aku tidak bisa selalu menyalakan ponselku. Kurasa sekretarismu sudah melaporkan aku baru mendarat?” sindir Januari. Ken mendengus kesal.
“Langsung temui aku.”
“Kupikir aku akan punya waktu istirahat sebentar,” pinta Januari. Terdengar helaan nafas Ken di seberang.
“Ya sudah, temui aku besok pagi. Datanglah bersama Matahari besok.”
“Haah, iya. Jika aku bangun pagi,” jawab Januari dengan suara malas. Ken ingin tertawa, tapi berusaha menahannya.
“Aku akan membangunkanmu sebelum fajar. Atau kau memerlukan Matahari yang membangunkanmu?”
“Tidak, aku akan bangun sendiri dengan alarm.” Dibangunkan oleh Uncle Ra itu sama dengan kiamat, pikir Januari seraya melempar ponselnya ke samping
“Ke rumah, aku akan ke kantor besok,” ujarnya, kali ini dengan nada tak bisa dibantah. Kedua pria yang duduk di depan sama-sama menghela nafas dan mengangguk.
*Bersambung*