Bab 3 Boneka Beruan Hanako
Bab 3 Boneka Beruan Hanako
Mobil yang membawa Januari memasuki gerbang ala rumah jawa dan berhenti di depan pintu tinggi. Pemuda itu menarik ranselnya dan keluar dari mobil, menoleh ketika pria yang mendampinginya memanggil.
“Saya akan kembali ke kantor,” pamitnya. Januari hanya mengangguk. “Besok sebelum jam tujuh, saya akan menjemput Anda.”
Itu berarti besok sebelum jam tujuh dia sudah harus bangun. Mendesis kesal, Januari membuka pintu utama dan melangkah masuk. Sedikit merasa heran dengan suasana rumah yang sunyi, biasanya rumah ini selalu berwarna.
“Pada kemana Bi?” tanya Januari ketika salah satu asisten rumah tangga mendekatinya.
“Tuan sedang ke studio, Nyonya sepertinya ke kafe Nyonya Larisa. Hari ini ada lomba di sana,” wanita setengah baya itu menggiring Januari ke dalam.
“Rinjani?”
“Belum pulang, Den. Lagi dijemput Pak Toha.”
Langkah Januari terhenti, “Rinjani belum pulang kuliah? Apa dia sudah biasa seperti ini?” tanya Januari mengenai kegiatan adik perempuannya yang usianya terpaut 8 tahun dengannya.
“Tadi Nona Rinjani mengatakan kalau dia ada pelajaran tambahan dan minta Pak Toha agar menjemputnya di luar jam biasanya,” jawab Mirna seperti berusaha melindungi Nona majikannya yang sangat manis dan tidak banyak bicara seperti tuan mudanya yang sedang berdiri di depannya.
“Ya sudah. Aku mau istirahat dulu Bi. Kalau tidak ada yang penting, tolong jangan membangunkanku!” pesan Januari sebelum dia menutup pintu kamarnya.
Mirna berdiri di depan pintu yang tertutup dengan wajah bingung, seperti sedang berpikir karena merasa ada yang belum dia katakan.
“Apa yang aku lupa ya? Aku yakin ada pesan yang harus aku sampaikan kalau Den Januari pulang, tapi apa ya? Kenapa aku bisa lupa begini?” katanya membatin dengan mata yang disipitkan. Berharap dengan begitu dia bisa mengingat apa yang sudah dia lupakan.
Mirna masih berdiri di depan pintu kamar Januari, ketika tiba-tiba pintu itu terbuka memperlihatkan sosok tubuh Januari dengan roman wajah bertanya. Wanita itu mendongak untuk bisa menatap wajah tuan mudanya.
“Maaf Den, Bibi lupa kalau ada pesan yang harus Bibi sampaikan pada Aden, tapi apa ya?” dengan wajah malu, Mirna meremas jari-jarinya sendiri. Januari menahan tawa, wanita yang telah merawatnya sejak berseragam merah putih itu selalu membuatnya tersenyum.
“Pasti lupa lagi mencatatnya,” ujar Januari dengan mengangkat kedua alisnya menggoda Mirna.
“Oh iya, Bibi sudah mencatat pesannya. Sebentar ya Den, Bibi ke belakang dulu!” katanya berbalik dengan cepat meninggalkan Januari yang berdiri dengan wajah geli dan senyum di bibirnya.
Sambil menunggu Mirna mengambil catatan yang berisi pesan untuknya, Januari mengeluarkan pakaian kotor yang dia letakkan di dalam keranjang agar bisa dibawa Mirna pada saat dia datang. Dengan langkah kaki cepat dan seperti terburu-buru, Mirna menghampiri Januari yang baru mengeluarkan keranjang pakaian kotor dari dalam kamarnya.
“Maaf Den, ini pesannya. Tadi Nyonya Hanako minta dikabari kalau Aden sudah pulang,” katanya dengan gugup.
“Oma meminta Bibi untuk memberi kabar padanya kalau aku sudah datang. Memangnya untuk apa?” tanya Januari. Oma jarang bertemu dengannya, bukan hanya karena kesibukannya di rumah sakit tapi juga karena Januari sedikit menjaga jarak darinya. Tidak tahan jika sudah mendengar omelannya yang tidak akan berhenti sehari semalam.
Mendengar Mama dan Aunty Larisa mengomel saja dia sudah mual, apalagi Oma. Dan mengingat situasi saat ini, Januari yakin Oma sedang menyiapkan pidato panjang untuknya.
“Nyonya tidak bilang kenapa,” jawab Mirna dengan wajah menunduk. “Kalau begitu Bibi kasih kabar ke Nyonya Hanako sekarang saja ya, Den?” katanya pada Januari yang masih menatapnya.
“Ya sudah, Bibi telepon Oma. Tapi katakan pada Oma kalau aku baru saja tiba dan mau tidur dulu,” kata Januari berharap Mirna mau bekerja sama dengannya.
“Apa Nyonya Hana tidak akan marah Den? Kan Aden tahu sendiri, Nyonya Besar.”
“Tidak. Jan akan telepon Oma nanti. Oh iya, tolong sekalian bawa keranjang ini ya. Khawatir nanti jadi bau kalau dibiarkan tetap berada di dalam tas Bi,” ucap Januari sambil mengedipkan matanya.
“Tumben sedikit?” kata Mirna balik bertanya.
“Iya. Ini hanya pakaian yang aku bawa kemarin, sebagian belum sempat dipakai, Bi,” ujar Januari sebelum Mirna berbalik membawa keranjangnya.
Januari menahan senyum gelinya ketika melihat wajah Mirna yang merasa ragu apakah dia harus mengikuti permintaan tuan mudanya atau hanya menyampaikan kalau majikan mudanya itu sudah pulang.
“Bi Mirna, padahal mau mengatakan apapun sama Oma, tetap saja Oma akan datang kesini,” Januari terkekeh geli dan menggelengkan kepala sebelum menutup pintu kamarnya kembali.
“Kembali ke rumah dan berada di kamar yang menjanjikan kenikmatan luar biasa ketika bisa berbaring dengan bebas adalah salah satu kenikmatan dunia yang tidak ingin aku tukar dengan apapun juga,” Januari menjatuhkan tubuhnya di atas pembaringan.
Mata Januari nyaris terpejam ketika ia seperti mendengar suara Aunty Bibib yang selalu menegurnya kalau dia tidur sebelum membersihkan tubuh. Wanita yang merawatnya sejak bayi itu, selalu mengatakan tubuh harus bersih sebelum dia tidur. Karena akan meninggalkan aroma yang kurang sedap bila langsung berbaring tanpa membersihkan tubuh terlebih dulu.
Dengan mulut yang terkatup rapat, Januari melepaskan pakaiannya dan mengambil handuk yang langsung dililitkan di batas pinggangnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Dan tidak berapa lama, terdengar suara kucuran air yang berasal dari shower bertabrakan dengan senandung yang berasal dari mulut Januari.
Januari keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan air yang masih mengalir ke lehernya dan terus turun melewati dadanya yang bidang dan tidak tertutup handuk yang hanya membungkus tubuhnya dari pinggang ke bawah. Januari melangkah ke arah lemari dan mengambil handuk kecil kemudian mengeringkan rambutnya hingga tidak ada lagi air yang menetes dan membasahi lantai yang diinjaknya.
Baru saja ia memakai bajunya, terdengar suara ketukan pada pintu kamarnya hingga dia memaki pelan pada orang yang berniat mengganggu waktu istirahatnya. Dengan kasar Januari membuka pintu dan seketika wajahnya berubah menjadi semanis boneka beruang ketika melihat siapa yang mengetuk pintu dan berniat mengganggu waktu istirahatnya.
“Aah, ratu cantikku,” rayunya begitu Hanako menyeruak memasuki kamar. Wanita setengah baya itu menjewer telinganya ketika Januari mengambil tangan dan membawa tangan yang mulai keriput itu ke bibirnya.
“Rayuanmu tidak manjur untuk Oma,” sungutnya. Januari menyeringai.
“Jan pikir Oma baru akan datang nanti sore atau malam,” katanya dengan wajah yang jauh dari semangat.
“Tidak usah pasang wajah seperti itu. Memangnya kamu serius tidak mau bertemu dengan Oma?” tanya Hanako cemberut.
Dengan wajah bersalah yang diketahui Hanako sebagai wajah kepura-puraan, Januari bicara. “Ayolah, sejak kapan Jan menolak bertemu ratunya? Memangnya Bi Mirna tidak mengatakan kesediaan Jan sama Oma?” tanya Januari.
“Bibi kesayanganmu itu memberitahu Oma setelah pagar gerbang rumahmu terbuka,” Hanako bersungut-sungut sementara Januari bersimpuh dan memegang lututnya dengan wajah merayu. Hanako menggusal rambutnya yang ikal dan hampir menyentuh pundak.
“Kamu pikir Oma baru akan datang setelah Mirna menelepon? Oma sudah lama menunggu kamu pulang. Apa kamu tahu?” ucap Hanako dengan kata-kata selancar jalanan Jakarta pada saat penduduknya sedang mudik.
“Lalu dari mana Oma tahu kalau Jan sudah ada di rumah?” tanya Januari. “Atau aku tidak perlu bertanya lagi, karena aku yakin Ken pasti sudah mengatakan pada Oma.”
“Pintar,” Hanako mengetuk dahi pemuda kesayangannya itu. Jika mengingat cerita lama, dulu sangat sulit baginya menerima Januari. Tapi sekarang justru dialah yang merajai hati Hanao.
“Kenapa tidak langsung ke kantor, bukankah Ken meminta mereka mengantarmu langsung ke kantor?”
“Astaga Oma, Jan baru saja tiba. Apa Oma tahu, Ken benar-benar merusak hariku. Dia mengusikku saat aku sudah separuh jalan untuk mencapai puncak Rinjani. Andai saja posisiku sudah lebih jauh atau sudah lebih tinggi lagi, aku berharap tidak ada signal yang bisa membuat Ken bisa menghubungi diriku,” gumam Januari dengan suaranya yang seperti keluhan.
Hanako tergelak saat cucunya memasang wajah seperti anak kucing. “Berarti kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin yang diharapkan. Kalau tidak, mungkin seperti ucapanmu tadi. Bisa saja Ken tidak bisa menghubungi dirimu dan harus menunggu kamu turun gunung,” sahut Hanako dengan senyum manis yang menurut Januari senyuman termanis setelah senyuman ibunya, Merah.
“Kenapa harus Jan, Oma? Enam bulan lagi Isamu menyelesaikan pendidikannya, Ken tidak akan ditinggalkan Aunty Andara sebelum itu.” Tawa Hanako meledak mendengar kalimat bodoh Januari.
“Oma, Maeda Group perusahaan besar, Jan masih belum mampu.”
“Kamu bukannya tidak mampu atau belum mampu. Tapi karena kamu masih mempunyai keinginan besar untuk menaklukkan gunung-gunung tertinggi yang ada di dunia. Apa kamu belum puas dengan semua pendakian dan petualanganmu?” ucap Hanako yang menegur Januari karena masih memilih memuaskan hobinya dari pada mulai belajar untuk menjadi seorang pemimpin. Pemimpin Maeda Group.
*Bersambung*