Bab 4 Pengalaman Baru
Bab 4 Pengalaman Baru
Januari mematut diri di kaca, ini pertama kalinya dia datang ke kantor sebagai seorang pimpinan. Biasanya dia akan datang hanya jika Matahari memaksa. Kebimbangan masih menggayut di hatinya, ia tahu tidak mudah baginya menyamai kemampuan Matahari maupun Ken. Dan ia menyadari pasti akan ada yang tidak suka dengan kehadirannya.
Turun untuk sarapan, Januari duduk di ujung meja dengan wajah kaku. Merah mendekat dan mengusap pundaknya yang lebar. “Jangan memasang wajah robotmu di meja makan. Adikmu bisa kehilangan selera makan,” ujarnya seraya meletakkan setangkup roti di hadapan Januari.
Januari melirik Bayu yang menyeringai di sebelahnya. Berharap dukungan dari sang ayah yang justru memilihkan topping untuk Rinjani.
“Siap memulai hari baru Jan?” tanya Merah.
“Mom mau bertanya aku siap atau tidak?” katanya merajuk membuat Merah mencebik.
“Berarti Mommy salah bertanya ya. Kalau begitu selamat bekerja,” katanya memberi semangat hingga Januari cemberut. Bayu tersenyum melihat wajahnya yang ditekuk.
“Kakak cemberut seperti anak perempuan saja,” goda Rinjani, adik perempuan satu-satunya. Januari mendelik, tapi Rinjani justru makin senang. Gadis itu terkekeh dan meraih sarapannya dari tangan sang ayah.
“Berhenti menggoda kakakmu, dia sedang dilanda kegalauan,” ujar Bayu, niatnya membela Januari justru membuat tawa Rinjani makin melengking.
“Kemarin Oma datang ya?” tanya Merah, sekedar mengalihkan perhatian Januari yang sebal melihat tawa adiknya.
“Hem, memangnya Oma tidak bilang Mom?”
“Tidak. Bi Mirna yang memberitahu Mommy.”
Obrolan pagi di meja makan adalah kesempatan yang selalu dimanfaatkan oleh Merah dan Bayu untuk mengetahui kesibukan dan kegiatan anak-anak mereka. Mereka tetap berusaha menjadi orang tua yang baik, meskipun memiliki kesibukan yang luar biasa di luar rumah.
“Rin duluan ya Mom,” pamit Rinjani, meraih tangan kedua orang tuanya untuk berpamitan. Januari yang menuggu giliran hanya mendapat cibiran mengesalkan dari sang adik.
“Pamit Kakak,” tegur Bayu, gadis itu berbalik dan membawa tangan Januari ke dahinya.
“Semoga hari Kakak menyenangkan,” senyumnya, Januari mengacak rambutnya pelan.
“Ah, kan jadi kusut!” teriaknya, menggebuk lengan Januari dan berlari menjauh dengan mulut penuh omelan.
“Bareng sama Papi saja Rin!” sela Bayu pada putrinya.
“Wow, bisa berangkat dan diantar seorang idola. Pasti seru,” sahut Rinjani dengan mata memandang ke atas seolah membayangkan sambutan luar biasa dari fans pada idolanya.
“Dan Papi yakin di sekolahmu tidak ada yang akan mengenali Papi,” sahut Bayu tertawa diikuti dengan tawa Merah.
Dengan menggandeng lengan Bayu di kanannya, Merah mengantar suami dan anak perempuannya ke mobil yang sudah berada di depan rumah bersama Pak Toha yang mejadi sopirnya.
“Kok sama Pak Toha, Pi?” tanya Rinjani heran.
“Iya. Papi mau ke luar kota,” jawab Bayu sambil melirik Merah yang bergayut manja.
“Dad keluar kota? Berapa lama?” Januari yang menyusul mereka ikut bertanya. Dia dan Rinjani memang tidak kompak dalam urusan panggilan pada ayah mereka. Bagi Rinjani panggilan Dad terasa berlebihan. Menurutnya hanya pantas untuk Januari yang wajahnya menurun sang ibu, khas Eropa.
“Lusa sudah pulang,” jawab Bayu. “Papi titip Mom dan Rinjani ya!” kata Bayu pada Januari.
“Siap!” jawab Januari dengan semangat.
“Mau berangkat sekarang?” tanya Merah pada Januari yang masih berdiri setelah mobil yang membawa Bayu dan Rinjani berlalu.
“Hem,” gumam Januari melirik Merah yang menatapnya penuh kekaguman.
“Kenapa Mom?” tanya Januari heran.
“Tidak apa-apa,” jawab Merah sebelum masuk ke dalam rumah. “Berangkatlah, itu Ardian sudah menunggu,” ia menunjuk supir kantor yang diutus Ken. Pria yang usianya terpaut tidak jauh dengan Januari itu mengangguk ringan padanya.
“Berangkat Mom,” Januari berpamitan yang dibalas Merah dengan pelukan hangat.
“Hati-hati. Sampaikan salam Mommy pada Ken dan Uncle Ra.”
“Akan Jan sampaikan.”
Ardian melirik Januari yang terlihat tidak nyaman. “Anda baik-baik saja?” tanyanya. Januari mengerlingnya sekilas.
“Menurutmu?”
“Maaf, saya tidak akan bicara lagi,” Ardian tahu ia sedang kesal. Ia sudah mengenal Januari sejak lama dan mengerti karakternya.
Sementara Januari masih dalam perjalanan, Ken dan Matahari berbicara lewat sambungan telepon.
“Jadi hari ini Jan akan mulai bekerja?” tanya Matahari.
“Benar. Apakah kamu tidak berniat untuk datang ke kantor?” tanya Ken menawarkan undangan pada Matahari. “Melihat impianmu akhirnya terwujud?”
“Tidak. Aku tidak mau Jan merasa tidak nyaman dengan kehadiranku,” jawab Matahari.
“Menurutku kehadiranmu justru akan memberi semangat padanya,” sahut Ken.
“Kau berusaha membujukku apa kau khawatir tidak bisa membuat Jan betah?” sungut Matahari.
“Hahaha, kau selalu tahu apa maksudku Ra.”
“Aku akan datang menemui Jan ketika kamu sudah siap melepas Jan untuk bekerja seorang diri,” janji Matahari pada Ken yang langsung menyambut baik janji dari Matahari.
“Aku akan menagih janjimu Ra.”
***
Gedung Maeda Group menjulang di depan mata Januari, pemuda itu menatap nanar dan ada rasa ragu apakah dia bisa menjalankan tugas yang diberikan padanya sesuai dengan harapan Hanako, Matahari dan juga Ken. Ardian menunggunya sampai Januari merasa siap dan mengiringi langkah lebarnya menuju ruangan Ken.
“Mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus berusaha menjadi lebih baik,” Januari berbisik pada dirinya sendiri sambil menghembuskan nafas berat.
Perhatian semua orang teralihkan begitu Januari memasuki lobi. Dan dia hanya melirik sekilas pada mereka semua yang menatapnya heran dan juga bingung. Bagi yang tidak mengenal Januari akan heran karena tidak biasanya pegawai Maeda Group memiliki rambut gondrong.
“Apakah diperbolehkan pegawai pria memiliki rambut panjang?” bisik seorang pegawai yang memperhatikan penampilan Januari.
“Entahlah. Mungkin dia pegawai baru yang tidak mengetahui peraturan di sini,” temannya balas berbisik. “Tapi dia tampan,” keduanya terkikik sambil menatap wajah Januari yang dingin.
“Atau dia salah seorang putra pimpinan perusahaan?” bisik salah seorang dari mereka membuat suasana langsung hening.
Januari tidak perduli dengan pendapat dan penilaian orang yang berpapasan dengannya karena tujuannya saat ini adalah menemui Ken. Orang yang selama ini mengurusi segalanya di Maeda Group. Suara ketukan pintu di ruang kerja Ken memberitahukan pria yang masih berbicara di telepon bahwa orang yang ditunggunya sudah datang.
“Aku tutup teleponnya sekarang Ra. Sepertinya Jan sudah datang,” ucap Ken.
Ken menatap pintu yang masih tertutup dan belum ada tanda akan terbuka. “Ardian, haruskah aku menyuruhmu masuk?” ketusnya.
Januari dan Ardian yang berdiri di depan pintu saling lirik. Ardian membuka pintu dan mempersilahkan Januari masuk lebih dulu.
“Kau terlambat,” ujar Ken tanpa kompromi. Jika tidak mengenalnya sejak kecil, Januari sudah berbalik keluar dari ruangan bernuansa hitam itu. Januari hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Duduklah.”
Januari meletakkan tubuhnya dengan hati-hati di kursi di hadapan Ken. Menatap lurus pria yang selalu bertampang dingin itu.
“Apa senyummu sangat mahal Jan?” tanya Ken melihat gerakan bibir pemuda gagah yang berada di hadapannya.
“Apakah itu pertanyaan penting?” tanya Jan membuat Ken tertawa. Ia menatap pemuda yang memiliki arti lebih buatnya.
“Ya, ya. Lupakan saja. Kita harus segera bertemu Dewan Direksi,” Ken melirik jam tangannya. “Sepuluh menit lagi. Kau butuh kopi?” tanyanya. Januari menggeleng kaku.
“Berharaplah agar aku bisa melakukannya Ken. Aku khawatir tidak dapat melakukannya sesuai dengan harapan kalian.”
“Omong kosong apa yang kau bicarakan? Kau selalu yang terbaik secara akademis, secara pengalaman, aku yakin kamu bisa menjadi pimpinan terbaik karena kamu selalu menjadi ketua organisasi kemahasiswaan saat kuliah.”
“Jangan mengolokku, itu jelas saja berbeda. Bukan berarti aku bisa menjadi pemimpin untuk orang yang bekerja dan menggantungkan nasibnya padaku.”
“Kita akan cari tahu bersama,” sahut Ken.
Ken memperhatikan Januari dengan tatapan kagum yang tidak dia sembunyikan. Ken melihat di dalam diri Januari terdapat jiwa pemimpin dan dia yakin kalau pemuda ini akan bisa mengemban tanggung jawab yang diberikan padanya, karena Ken melihat jiwa pejuang dan pantang menyerah di dalam diri Januari.
Januari tumbuh di antara orang-orang gigih. Tidak hanya Matahari dan Hanako tetapi juga Bayu, Daniel, Dave, dan Hans. Mereka semua memberinya karakter yang kuat dan tidak tergoyahkan. Sementara Merah, Larisa dan Bibib memberinya kelembutan dan rasa humanis yang lebih dari orang di sekitarnya.
“Aku akan memberikan petunjuk dan bimbingan padamu selama beberapa hari, jadi jangan berpikir kalau kamu tidak akan mendapatkan petunjuk dariku sehingga kamu tidak akan merasa dijebloskan ke hutan belantara tanpa ada bekal atau keahlian untuk bertahan hidup,” ujar Ken tenang. Ketenangan yang diperlukan oleh Januari di dunia kerja. Dunia yang akan dimasukinya dengan sebuah tanggung jawab yang harus dia laksanakan dengan baik.
Pertemuan dengan Dewan Direksi yang sedikit dikhawatirkan Januari berjalan cukup lancar. Tidak ada yang gejolak yang berarti karena mereka memang sudah mengenal Januari. Protes yang sempat bergaung sehari sebelumnya tidak terdengar begitu Ken mengumumkan bahwa mulai hari ini Januari akan menggantikannya.
Selama sehari penuh, Ken memberikan petunjuk yang harus Januari pahami dengan cepat. Januari mendapatkan semua informasi yang diperlukan sehigga dia bisa melakukan yang terbaik dan dapat bertindak bijak saat mengambil keputusan.
“Apakah ada yang belum kamu pahami?” tanya Ken dengan pandangan menyelidik saat melihat keseriusan dari seorang Januari. Pemuda itu duduk merosot di sofa dengan dasi yang sudah dilonggarkan dan kemeja sudah antah berantah.
“Menurutmu aku bisa menelan semua ini dalam waktu sehari?” ia menoleh dengan wajah terlipat pada Ken yang terkekeh.
“Aku tahu karena kamu baru hari ini masuk kerja. Masih ada beberapa hari yang diperlukan untuk bisa memahaminya,” jawab Ken memberi semangat.
“Terima kasih Ken. Aku akan berusaha lebih giat dan memahami dengan cepat,” jawab Januari membuat Ken lega.
“Aku yakin kamu bisa. Aku dan Uncle Ra-mu tidak akan memilih kalau kami tidak yakin dengan kemampuanmu,” jawab Ken dengan keyakinan penuh terhadap Januari.
“Semoga tidak sia-sia kepercayaan yang kalian berikan padaku,” sahut Januari seraya mengangkat bahunya.
Walaupun pada awalnya Januari sangat keberatan dengan tugasnya, tetapi ia sudah memikirkannya baik-baik setelah pertemuan dengan Hanako. Ada tugas dan tangung jawab yang harus dia penuhi sebagai salah seorang keturunan Isamu Maeda senior.