Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Tamu Tidak Diundang

Bab 6 Tamu Tidak Diundang

Matahari memeluk Ken sebelum pria yang telah menyaksikan semua kisah hidupnya itu pergi. “Ken, ini pertama kalinya aku berat melepasmu. Aku tahu, ini bukan pertemuan terakhir tapi rasanya akan menjadi perpisahan yang cukup panjang. Terima kasih sudah mendidik Jan menjadi sosok yang kuinginkan.”

Ken menepuk punggungnya dengan kelembutan seorang kakak. “Kau tahu aku juga mencintainya sebanyak cinta yang kalian punya untuknya. Jangan membuatku berat meninggalkan kalian.”

“Sampaikan salamku untuk Andara. Katakan padanya kalau aku minta maaf sudah membuat suaminya terlambat pulang. Salam untuk kurcaci kecilku di sana.”

“Mereka pasti protes padaku karena tidak membawa ayah kesayangan mereka bersamaku. Dan kau tahu, aku bersyukur memiliki Andara. Dia adalah wanita yang sangat mengerti suaminya adalah tawananmu. Aku senang kau membuatnya melepaskan SN sehingga tidak jadi tawananmu lagi,” jawab Ken tertawa.

Matahari mendecih kesal dengan kalimat itu. Ken dan Andara adalah dua orang yang sangat memahaminya. Dua orang yang selalu ada di sampingnya saat ia terpuruk dan saat ia berhasil menggenggam dunia. Dua orang yang sangat mengerti apa saja yang bisa membuat Matahari marah atau tertawa. Yang tidak akan pernah membantah saat ia ingin melampiaskan semua kemarahannya.

“Sampaikan terima kasihku padanya,” ujar Matahari pelan sebelum kemudian memberi jarak antara dirinya dan Ken.

“Kau tahu itu tidak perlu. Kau sudah memberi kehidupan yang sangat baik pada kami. Ra, sudah sekian lama kita bersama dan anak-anak kita bukan lagi rombongan bocah yang berlarian ke sana kemari. Aku berharap anak-anak kita akan memiliki sifat dan kepedulian yang sama besar seperti yang kita miliki,” Ken bicara dengan penuh pengharapan.

“Kau benar. Aku juga berharap anak-anak kita bisa memiliki hubungan yang sangat erat seperti kita yang saling mendukung.”

Matahari melirik jam tangannya dan menepuk pundak Ken dengan rasa berat. “Berliburlah sampai di sana. Aku akan marah jika tahu kau langsung menuju ADN setelah sampai,” ujarnya seraya beranjak turun.

Ken menatap punggungnya yang lebar, menahan setetes air mata yang menyesak di sudut matanya. Matahari sama sekali tak menoleh ketika ia sudah menjejak lantai apron, seperti kebiasaannya. Ia melangkah menjauh dan menoleh ketika pintu pesawat yang membawa Ken tertutup rapat.

“Aku tahu, di sana bukan hal mudah yang harus kau hadapi Ken. Maaf aku selalu memintamu menyelesaikan semua kekusutan yang dia lakukan,” keluhnya seraya melangkah keluar. Beberapa pria yang mengikutinya melangkah dengan sedikit bergegas.

Bandara Udara Internasional Schiphol seperti biasanya sangat ramai, tidak ada jeda sedikitpun dari orang yang lalu lalang pergi dan datang di bandara tersebut. Ken melangkah keluar dari bandara menuju seseorang yang sudah menantinya dengan senyum dan kerinduan yang diperlihatkan secara terbuka.

Andara, wanitanya yang terlihat semakin cantik dan matang sebagai wanita dewasa yang mampu memberikan kebahagiaan dan kehangatan di dalam hidupnya. Mengenalnya saat Matahari membawanya sebagai calon karyawan yang dipaksakan di Maeda Group. Gadis yang ia kenal di gunung Kerinci itu melarikan diri dari keluarga kayanya dan bekerja untuk mencari biaya kuliah.

Dia yang tak pernah dipandang sebagai perempuan oleh rekan-rekan kerjanya, akhirnya bisa meluluhkan Ken yang terkenal dingin dan tidak peduli perempuan. Bukan perjalanan singkat cinta mereka berkembang.

“Aku pikir kamu menunda kepulanganmu lagi, Sayang,” Andara memeluk Ken dengan penuh kerinduan.

“Matahari mencobanya. Tapi semuanya sudah selesai sekarang, Januari sudah bersedia mengambil alih Maeda,” sahut Ken membalas pelukan istrinya.

“Sungguh dia bersedia. Apakah Matahari mengawasinya? Bagaimana dengan Isamu?”

“Isamu masih kuliah dan Matahari setuju kalau putranya tidak perlu dilibatkan ke dalam perusahaan dalam waktu dekat ini.”

“Apa kabar Larisa?”

“Dia selalu sibuk dengan kafenya. Matahari membantunya karena Doni pergi ke Meksiko beberapa waktu,” dengus Ken dengan nada kesal.

“Ada apa?”

“Aku tidak mengerti. Lagipula Matahari sejak dulu memang lebih senang mengurus café bersama Larisa daripada mengelola perusahaan. Kau tahukan, dia memutuskan tampil di Maeda hanya karena permintaan ibunya dan aku sibuk di rumah sakit,” sahut Ken yang mulai melangkah meninggalkan bandara Shciphol.

Kembalinya Ken untuk berkumpul bersama istri dan anaknya membuat dirinya sangat bahagia. Setiap saat dia bisa berjalan-jalan dan menikmati keindahan Jembatan Erasmus yang merupakan landmark kota Rotterdam yang menghubungkan bagian utara dan selatan kota tersebut

Sementara Ken menikmati hari-harinya di Rotterdam, hari-hari Januari setelah ia pergi mulai memburuk. Suara-suara keberatan yang selama ini teredam dengan kehadiran Ken atau Matahari mulai menguar ke permukaan. Seperti hari ini, beberapa orang menyuarakan keberatan dalam rapat direksi.

“Anda bukan orang yang kami harapkan untuk memimpin kami,” salah satu staf direksi menatapnya tajam. Beberapa staf lain berdiri mendukungnya.

“Aku tahu kalian meragukanku, keraguan yang kalian padamkan saat Ken masih berdiri di sisiku. Aku duduk di hadapan kalian bukan atas pertimbangan kalian ataupun keinginanku. Kalian punya hak untuk meragukanku? Tentu saja punya, karena kalian akan bekerja bersamaku. Jika kalian keberatan, silahkan ajukan keberatan itu pada Tuan Matahari dan Nyonya Hanako,” ia berusaha untuk tidak terdengar kasar.

“Tentu saja kami akan mengajukan keberatan kami pada Tuan Matahari. Permisi!” sahutnya membuat Januari nyaris melempar mereka dengan benda yang ada di mejanya.

“Bahkan di hari pertama Ken pergi, mereka sudah seperti ini,” menghembuskan nafas kasar, Januari melangkah keluar dari ruang meeting diikuti sekretarisnya. Wanita itu melirik sekilas wajah gelap bosnya.

Pria yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun itu terlihat marah, tapi ia menahan semua ledakan emosi dalam dirinya. “Aku sedang ingin sendiri. Jangan biarkan siapapun ke ruanganku,” ujar Januari saat mereka sampai di ruangannya. Sang sekretaris hanya mengangguk.

Dia tidak mengerti mengapa mereka bisa menyatakan keberatan tanpa memberikan kesempatan padanya untuk membuktikan bahwa dia mampu untuk bekerja.

“Dasar munafik, mengapa mengatakan pada Ken. Dalam pertemuan direksi pertama kali mereka bergeming, ini benar-benar tidak masuk akal. Bahkan staf biasa saja datang menemuiku hanya untuk menyatakan keberatannya. Aku begitu buruk?” Januari mondar mandir dalam ruangannya dan kini tertawa kesal.

Yang tidak diketahui Januari, keberatan itu tidak datang dari staf atau direksi, tapi seorang laki-laki tua yang secara implisit tidak punya hak untuk tidak setuju. Dan ia mencoba menebar ranjau di bawah kaki Januari.

Pintu ruangannya menjeblak terbuka, Januari yang tengah kesal menoleh dan bersiap menghardik. Tapi sekretarisnya terlihat pucat berdiri di belakang seorang pria yang menatapnya seperti X-ray. Senyum Januari mengembang tapi pria tua itu justru berdiri di hadapannya dengan tatapan sangat sinis.

“Opa? Ada apa? Mengapa Opa tidak memberi kabar kalau mau datang?”

Sebuah kebiasaan jika biasanya pria ini berkunjung ke rumah Maeda, Januari akan menyapa dengan ramah. Meskipun tidak jarang ia diacuhkan. Dan sekarang, Januari bisa melihat kemarahan dalam mata hijaunya yang cerah.

“Kau pikir kau punya hak apa duduk di kursi itu?” tanya Mark dengan tatapan menghina. Januari melengak, sejenak terdiam. Ini jelas tentang Isamu.

“Opa, saya tidak akan berani duduk di ruangan ini jika bukan Uncle Ra yang meminta,” jawabnya dengan suara dalam.

“Keputusan yang berasal dari dua orang laki-laki bodoh dan tidak bertanggung jawab!” ucap Mark kasar. Darah Januari seketika menggelegak, dua pria itu sangat dipujanya. Dua orang yang selalu memberinya kepercayaan besar.

“Saya tidak mengerti dengan ucapan Tuan. Hak apa yang Anda punya untuk menghina mereka?” sahut Jan tegas.

“Hahaha, bagus kamu memanggilku dengan Tuan, karena kamu sama sekali tidak pantas memanggilku Opa. Kau tahu kenapa? Karena aku bukanlah Opamu dan juga karena kamu adalah anak yang lahir dengan tidak terhormat. Hasil dari perbuatan seekor hewan yang menyebut dirinya manusia,” makian Mark benar-benar menjatuhkan tidak hanya mental tapi juga kehormatan Januari sebagai seorang manusia.

Januari menahan syok dan terkejutnya agar tidak terlihat di wajahnya. Dia tahu, Mark tidak pernah ramah padanya tapi apa yang baru saja diucapkan mertua pamannya itu sudah sangat keterlaluan.

“Anda adalah laki-laki yang saya hormati meskipun saya tidak sekalipun melihat sikap hormat yang diberikan Uncle Ra pada Anda. Dan kini saya tahu apa alasannya dia bersikap seperti itu, karena Anda memang tidak pantas untuk mendapatkan rasa hormat.”

Mark menggeram kasar. “Dasar sampah! Kau berani memberiku ceramah? Kamu adalah sampah yang berasal dari limbah paling busuk di dunia. Hanya karena kebaikan dari orang bodoh yang bersedia menerima dan membesarkanmu.”

“Hati-hati dengan bicaramu, Tuan!” Tawa Mark meledak melihat kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi Januari. Sudah sangat lama ia ingin melakukan ini.

“Kenapa? Kedudukanmu di kursi itu sama sekali tidak pantas. Karena yang berhak duduk di situ adalah Isamu Maeda, cucuku.”

Januari sudah bisa menduga ini, Isamu adalah pusat dunia Mark sejak lama. Tapi dia dan Isamu sama-sama keturunan Maeda, sekalipun ia menggunakan nama keluarga Bayu di belakang namanya. Januari tahu perbedaannya dengan Isamu sangat besar di mata Mark.

“Anda ingin menggugat saya, silahkan temui Oma Hanako dan Uncle Ra,” pungkas Januari. Ia kembali ke mejanya dan menatap Mark dari sana dengan tatapan keras yang cukup menyakitkan.

“Aku perintahkan padamu agar secepatnya meninggalkan Maeda Group dan kembali ke gunung. Tempat yang lebih pantas untukmu. Karena aku yakin tidak ada yang akan menerima kehadiran dirimu bila mereka tahu yang sebenarnya. Jadi mengapa kamu tidak pergi sekarang?”

Januari menatap Mark dengan tatapan berbahaya, sayangnya Mark tidak melihatnya. “Hak apa yang Anda punya untuk meminta saya pergi? Sebagai kakeknya Isamu? Kami dari keturunan yang sama. Sekali lagi, ajukan gugatan Anda pada Oma dan Uncle Ra.”

Mark mendengus mendengar jawaban menyebalkan Januari. Jawaban itu mengingatkannya bahwa Mark bukan siapa-siapa dan tidak punya hak apa pun untuk mencampuri urusan Maeda Group. Wajah Mark menjadi gelap mendengar ucapan Januari yang menantangnya sekaligus mengatakan bahwa dia bukan orang penting.

Dengan wajah semerah bara, Mark mendekati Januari dan bibirnya mengatup rapat siap untuk memuntahkan kemarahan yang tidak ingin didengar oleh siapapun. Terutama oleh seorang Januari yang terlihat menunggu apa yang akan dikatakan oleh laki-laki yang pernah menjadi musuh Matahari.

*Bersambung*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel