Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Keraguan

Bab 13 Keraguan

Kegiatan Isamu di perusahaan masih menjadi pertentangan antara dia dan orang tuanya. Matahari dan Larisa tidak bisa menerima keputusan Isamu untuk fokus pada perusahaan, karena pendidikannya menjadi terganggu. padahal tidak lama lagi Isamu mendapatkan gelar. Ketidaksetujuan itu disuarakan Matahari saat sarapan.

“Kamu mengajukan cuti kuliah?” tanya Matahari datar. Isamu menoleh heran mendengar nada ayahnya.

“Sudah Dad, sebulan lalu setelah pembicaraanku dengan Jan,” jawabnya.

“Kau tahu, kami tidak suka kuliahmu tertunda,” ujar Matahari terus terang. Isamu mengangguk.

“Aku tidak akan lupa kewajibanku, Dad,” ujar Isamu meyakinkan.

“Opamu, bukanlah orang yang bertindak perlahan. Dia selalu gesit dan kami khawatir kau terjebak,” sahut Matahari.

“Dad, aku tidak akan lama berada di Maeda,” katanya. “Ah iya. Hari ini Oma akan datang berkunjung” Isamu mengalihkan perhatian Matahari dengan membicarakan Hanako hingga Matahari tersenyum.

“Tidak biasanya? Mom selalu datang ke rumah tumben ke perusahaan? Dia hanya menginjakkan kaki di sana kalau ada masalah.” Matahari bicara lebih pada dirinya sendiri. “Tahu dia akan datang jam berapa?” ia menoleh lagi pada Isamu yang menggeleng.

“Mungkin setelah jam makan siang, saat meeting.”

“Dan?”

“Dan Januari juga akan hadir,” beritahu Isamu.

“Dia tidak keberatan dengan pengaturan yang kamu lakukan selama ini bukan?” tanya Matahari. Isamu menggeleng, “Dia orang yang tidak protes pada keputusan apapun bukan? Selalu tulus,” sahut Isamu.

“Jajaran direksi atau staff?”

“Memangnya mereka bisa apa? Mereka hanya akan mengikuti apa yang sudah kita tetapkan.”

Matahari tertawa kecil. “Dalam hal ini kau persis Ken,” kekehnya.

“Sesekali dengarkan pertimbangan mereka,” ujarnya seraya menatap putranya, sedikit rasa kagum menguar dari matanya dengan kedewasaan Isamu.

Bangkit dari kursinya, Isamu berpamitan pada kedua orang tuanya. Larisa memperhatikan Matahari yang menatap punggung Isamu hingga anak mereka itu masuk ke mobil. Sejak kepulangan Isamu, Matahari sedikit berubah, ia jadi semakin pendiam.

“Apa yang kamu khawatirkan? Sejak Isamu pulang, kau semakin pendiam,” ujar Larisa, menggamit lengan suaminya yang sedikit terkejut. Matahari menoleh dan memaksakan sedikit senyum untuk wajah segar istrinya.

“Aku khawatir anak-anak tidak akan bisa mengatasinya, maaf tapi ayahmu bukan orang yang mudah,” sahut Matahari. Larisa mengikutinya duduk di ruang keluarga. Rumah besar peninggalan Jaan Peter terasa sangat sunyi sekarang.

Rumah yang dulu riuh dengan tawa dan canda mereka, celoteh Januari, Isamu atau Rinjani. Tetapi semua menepi begitu saja, apalagi Hanako tinggal bersama Dave setelah mereka akhirnya menikah. Larisa menatap ke seluruh ruangan dan sekilas kenangan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini memenuhi memorinya.

Ada begitu banyak kejadian setelah itu, sebagian besar menyakitkan. Dan semua menjadi lebih tenang ketika Isamu akhirnya hadir di tengah-tengah mereka. Ia seolah menjadi alat berdamai untuk Matahari dan Mark. Tetapi ketenangan yang telah tercipta sekian belas tahun itu kini kembali terusik.

“Aku juga khawatir. Tapi sekali lagi aku minta padamu, berikan mereka kepercayaan untuk mengatasi setiap masalah, mereka harus belajar Ra. Karena tidak selamanya kita bisa bersama mereka. Dan aku percaya Jan pasti mampu mengatasi Ayah. Jika dia tidak bisa mengatasi Ayah, Isamu tidak akan ada di sini,” ucapnya panjang.

Matahari menatapnya lurus, mengembalikan beberapa anak rambutnya yang berderai manja di kening indah Larisa. “Dan itu yang membuatku berpikir, dia memiliki rencana lebih besar pada Maeda,” ujar Matahari gelisah.

“Dave bisa menahannya, karena aku yakin Ayah tidak ingin kehilangan SN,” Larisa berusaha untuk tersenyum agar suaminya sedikit lebih tenang. “Aku juga mengkhawatirkan apa yang akan beliau lakukan jika Isamu menolak untuk melakukan apa yang diinginkannya.”

Matahari melirik Larisa dan dia tersenyum menyesal karena telah membagi kekhawatirannya pada wanita yang dicintainya itu. “Maafkan aku yang sudah membuatmu khawatir. Semoga semua kekhawatiran itu tidak akan terwujud,” ucap Matahari, merengkuh dan merangkulnya erat. “Aku mencintaimu dan berharap selamanya,” bisiknya.

“Itu tidak ada hubungannya,” ucap Larisa dengan kekehan pelan. Matahari menyinggahkan bibirnya sejenak di dahi sang istri. “Aku harus bertemu Arga,” ujarnya kemudian.

“Redaksi ada masalah?” tanyanya, Matahari tidak akan bertemu Arga kecuali perusahaan media mereka bermasalah.

“Hanya ingin bertemu, kami sudah lama tidak berbincang. Aku mungkin akan cukup lama karena Hans dan Daniel menungguku di klub. Aku akan menjemputmu nanti tapi berangkatnya dengan Pak Man saja,” lanjutnya.

Larisa hanya mengangguk, mengikuti langkah lebar suaminya menuju kendaraan di halaman. “Jangan lupakan makan siangmu,” ucapnya seraya mengecup lembut pipi Matahari.

Sementara itu di Maeda Group, Januari dan Isamu baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan para direktur yang berada di bawah bendera Maeda Group. Isamu cukup puas karena tidak ada lagi suara-suara sumbang ketidaksetujuan terhadap posisi Januari. Mereka tampaknya cukup puas dengan kehadiran Isamu di sana.

Tetapi ada yang tidak menyukainya, seseorang yang bukan bagian dari Maeda Group dan sama sekali tidak memiliki hak untuk bicara di sana. Orang tersebut datang menemui mereka setelah menerobos pintu ruang kerja Januari tanpa memperdulikan suara sekretaris Januari yang hampir berteriak menahannya.

Januari dan Isamu terkejut ketika pintu dibuka dengan kasar, sepertinya ditendang dari luar. Dan wajah beringas Mark muncul di ambang pintu. Menatap dua orang yang juga tengah menatapnya.

“Isamu!” suara Mark menggelegar begitu matanya menemukan Isamu yang tengah tertawa bersama Januari. “Anak kurang ajar. Begini yang kau sebut akan mengikuti perintah Opa?”

Isamu bangkit dan meluruskan punggung, berdiri di antara kakeknya dan Januari yang turut bangkit. Memberi tatapan tanpa kompromi pada Mark, sehingga sesaat pria itu merasa yang berdiri di hadapannya adalah Matahari, bukan cucunya.

“Kebodohan apa ini? Kau bersedia menjadi bayangannya?” Mark menunjuk Januari melewati bahu Isamu, menatap penuh kemarahan pada keduanya. Isamu mengerling sepupunya yang terlihat menghela nafas.

“Opa, karena kebodohanku maka aku bersedia menjadi bayangannya saat ini. Opa tahu, aku sama sekali tidak memiliki kemampuan apapun untuk menjalankan perusahaan. Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang perusahaan ini. Apa menurut Opa, aku harus mempermalukan diriku sendiri dengan menjadi CEO yang tidak memiliki keahlian apapun?”

Berkata begitu, Isamu menggeser sedikit tubuhnya sehingga ia bisa menutupi Januari secara sempurna dari mata membara kakeknya. “Aku melakukan ini karena aku ingin belajar dari Januari. Karena dia mengetahui segalanya tentang Maeda Group.”

“Kau adalah pemuda yang pintar dan berbakat. Dan kau juga seorang negosiator ulung. Kau akan bisa melakukan pekerjaan ini dengan seiring berjalannya waktu,” sahut Mark yakin, matanya masih bisa menemukan Januari yang sedikit lebih tinggi dari Isamu. Emosinya kian menggelegak ketika menemukan wajah dingin Januari di balik punggung Isamu.

‘Bagaimana bisa anak itu bersikap begitu tenang?’ batinnya kesal.

“Opa, aku juga ingin melakukan apa yang Opa inginkan, tetapi aku tidak semampu yang Opa bayangkan. Jan lebih mengerti dan berpengalaman dibanding aku. Opa, Dad dan Ken tidak akan memintanya jika ia tidak mampu,” sahut Isamu.

“Kau ingin melewatkan kesempatanmu menjadi CEO perusahaan sebesar ini?” sergah Mark, ia memperkecil jaraknya dengan Isamu. “Kamu benar-benar rela melepas Maeda kepadanya?” telunjuk Mark mengacung lurus menunjuk tepat di wajah Januari yang masih diam di balik punggung Isamu.

“Dan kau,” ia kini bicara langsung pada Januari. “Apa kau tidak merasa malu duduk di kursi yang bukan milikmu?” sinisnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel