Bab 14 Amarah Hanako
Bab 14 Amarah Hanako
Januari yang sudah sampai di batas kesabarannya menyingkirkan Isamu dari hadapannya. Mendelik ketika adik sepupunya itu protes besar.
“Ah, maaf saya tidak tahu harus memanggil Anda siapa. Tapi Tuan Mark, saya sungguh tidak mengerti. Anda datang begitu saja ke ruangan ini, membuat keributan seolah Anda adalah pemilik gedung? Sekali lagi maaf, tapi kami punya aturan sendiri yang sepertinya tidak berlaku di tempat Anda?”
Mark menggertakkan gigi dengan geram demi mendengar kalimat teguran Januari. Wajahnya merah padam, marah dan sedikit rasa malu. Tetapi dia berjalan hingga jaraknya dengan Januari hanya tersisa beberapa senti saja, menatap lurus pada pemuda yang juga menatapnya dengan keras kepala.
Mark yang mencoba mengintimidasi Januari, tetapi pemuda itu justru menunduk menatap Mark yang sedikit lebih rendah darinya. Melihat sikap waspada Januari, Mark menggeram. “Kau persis dia,” ujar Mark dalam. “Matahari mendidikmu dengan sempurna. Tapi kau pikir, aku akan menjatuhkan tangan padamu seperti yang sering kulakukan padanya? Bahkan untuk menyentuhmu dengan pukulanku pun aku tidak sudi,” seringai Mark membuat Januari heran.
Seringai puas Mark terbit begitu ia melihat ekspresi keheranan Januari, sekalipun sekilas karena di detik berikutnya pemuda itu kembali mendapatkan ketenangannya. Isamu kembali berdiri di antara mereka dengan menarik Januari ke samping. Ia menatap Mark dengan mata memohon.
“Opa, aku mohon, sudahi semua ini,” pintanya, tapi Mark menggeleng tegas.
“Tidak, sampai dia menyerahkan jabatannya padamu.”
“Saya akan memberikannya saat dia sudah siap,” Januari yang menjawab. Isamu mendelik kesal padanya.
“Opa, Januari masih memiliki sangat banyak pekerjaan dan aku juga harus belajar darinya. Bisakah Opa kembali dulu untuk saat ini? Aku akan menemui Opa nanti,” bujuknya.
“Isamu, jawab satu pertanyaanku,” Mark memindahkan tatapannya pada Isamu yang berusaha memasang wajah semanis mungkin untuk meluluhkan hati sang kakek. “Mengapa kau tidak ingin menjadi CEO Maeda Group?”
“Belum waktunya, Opa,” jawab Isamu setengah putus asa.
“Tidak ada yang perlu kau pelajari, kau hanya perlu mengikuti perintah Opa!” sentak Mark kasar. Wajahnya terlihat gelap dalam kemarahan yang luar biasa.
“Opa tahu, Maeda Group tidak ada dalam list keinginan ataupun cita-citaku sejak kecil,” jawab Isamu berusaha melucu.
“Dan kau membiarkan dia yang memimpin?” sekali lagi tangan Mark teracung ke wajah Januari yang bergeming. “Aku tidak akan pernah menerima itu dan aku akan menyingkirkan dia dengan tanganku sendiri!”
Mata mereka bertemu dalam kemarahan yang mungkin sama besarnya. Januari yang bersikap sangat tenang mampu membuat amarah Mark memuncak ke ubun-ubun.
“Kau pikir kami peduli dengan pendapat dan keinginanmu?” seseorang muncul di belakang Mark, pria itu menoleh. Sementara Isamu menyeringai begitu neneknya, Hanako berjalan dengan langkah anggun memasuki ruang kerja Januari.
“Hana,” desis Mark begitu Hanako berdiri di hadapannya. Dia mengutuk mengapa harus ada Hanako saat dia meradang di depan kedua pemuda yang sudah membuatnya marah.
“Mengapa kau ada di sini?” tanya Hanako sinis. “Kau sama sekali tidak memiliki kepentingan di sini,” sambungnya.
“Kau lupa siapa aku? Dia,” Mark menunjuk Isamu. “Dia cucuku. Dia satu-satunya yang berhak memimpin Maeda Group. Dia putra Matahari, pewaris perusahaan ini. Sedangkan cucumu yang tidak jelas asal usulnya itu hanya anak dari putrimu!”
“Kau pikir karena kau kakek Isamu lantas kau punya hak untuk ikut campur dalam perusahaanku?” sergah Hanako. “Aku dan suamiku yang mendirikan perusahaan ini. Akulah yang paling berhak menentukan siapa yang berhak memimpin. Bukan kau!”
“Kamu berani menentangku Hana?” tanya Mark pelan. “Apa Dave memberimu begitu banyak kekuatan?”
“Kenapa aku harus takut? Aku akan menentang semua keinginanmu jika itu terkait dengan perusahaan dan cucu-cucuku. Sebaiknya kamu pergi dari sebelum semua orang di gedung ini kehilangan rasa hormatnya padamu,” tegas Hanako.
Mark menatap Hanako tidak percaya. Selama dia mengenal wanita yang berdiri di hadapannya, tidak pernah sekalipun Mark mendengar Hanako berbicara dengan nada mengancam. “Apa yang kamu miliki hingga berani mengancamku Hana?”
“Aku mengancammu?” Hanako mendadak tertawa seperti kesetanan. “Bukankah baru saja kau yang mengancam cucuku?” sergahnya.
“Mark, kupikir dua puluh terakhir kita melewati semuanya dengan tenang. Apa yang kau inginkan sampai kau membuat kekacauan baru sekarang?”
“Aku hanya berusaha menempatkan sesuatu dengan benar, Hana.”
“Tapi kau tidak memiliki hak apapun di sini. Ini keluargaku, kau tahu kau berada cukup jauh dari lingkaran itu,” tegas Hanako. Mark menatap wanita yang masih dicintainya itu dengan mata penuh amarah.
“Kau pikir, putraku Matahari bersikap tidak adil pada cucu-cucuku? Lalu kau berusaha menempatkan Isamu di sini? Anakku sudah mempersiapkan segalanya dan dia tidak harus memberitahumu apa yang harus ia lakukan pada anak-anak keluarga Maeda. Sebaiknya kau pergi, karena apa yang kau lakukan hari ini hanya merusak segalanya. Kau bahkan merusak masa depan cucumu sendiri.”
“Aku merusak masa depan cucuku?” tanya Mark dengan tawa sarkas. “Aku berusaha memberinya masa depan yang sangat baik, Hanako!”
“Kau salah!” suara Hanako naik setengah oktaf. Isamu dan Januari saling pandang dan bertukar seringai. Jika suara Hanako sudah melengking seperti itu, maka satu-satunya cara untuk selamat dari omelannya yang seperti peluru balistik itu hanya dengan kabur diam-diam.
“Kau membuatnya meninggalkan kampus secara paksa! Dia harus meninggalkan kampus hanya enam bulan sebelum jadwal ia menamatkan pendidikan, itu yang kau sebut memberinya masadepan yang baik?”
“Aku menjemput Isamu karena ayahnya tidak peduli pada anaknya sendiri!”
“Tahu apa kau tentang kepedulian?” sentak Hanako kesal. “Kau pikir Matahari tidak peduli pada putranya? Justru kau yang tidak peduli Mark! Kau hanya memberinya rasa malu!”
“Hana!”
“Keluar Mark, itu akan lebih baik untukmu!”