Bab 11 Bantuan Januari
Bab 11 Bantuan Januari
Isamu dan Januari keluar dari restoran dengan wajah tersenyum puas. Siapapun dapat melihat bahwa mereka telah sepakat untuk melakukan kerja sama yang tujuannya untuk menipu Mark. Sebagai pemuda berusia dua puluh tujuh tahun Januari lebih matang dari pada Isamu yang baru berusia dua puluh tahun. Dan Isamu yakin pengalaman yang dimiliki oleh sepupunya sudah lebih dari cukup untuk mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
“Kau benar-benar yakin untuk melakukan hal ini?” tanya Januari setelah mereka sudah tiba di kantor.
“Tentu saja aku yakin, Kak. Kuharap Kakak tetap datang ke kantor setelah aku menggantikan dirimu. Aku hanya pengganti, sementara semua keputusan terkait apapun di perusahaan tetap Kakak yang memutuskan,” jawab Isamu.
“Baiklah. Aku akan pergi sekarang dan kamu yang akan melanjutkan dari sekarang,” ucap Januari setelah merapikan mejanya.
“Hari ini? Kakak bercanda, aku baru akan memulainya besok. Saat ini aku hanya memperhatikan dan anggap aku sedang menemani Kakak bekerja,” katanya tertawa, seraya berjalan menuju sofa di sudut ruangan. “Aku akan mempelajari semua yang harus kulakukan besok darimu hari ini,” sambungnya kemudian.
“Dengan kata lain saat ini kamu adalah bos besar yang sedang mengawasi pegawainya bekerja,” sungut Januari kesal.
“Kau membuatku rindu Rinjani,” kekeh Isamu, wajah sedikit merengut Januari sangat mirip dengan adik sepupunya yang sedikit cerewet itu. “Aku hanya melihatmu bekerja,” sangkal Isamu menjatuhkan tubuhnya di sofa khusus saat Januari menerima tamu atau klien. Meraih sebuah buku dan membaca dengan santai di sana.
“Duduk dan perhatikan saja apa yang aku kerjakan,” perintah Januari tertawa. Isamu mengerlingnya dengan mendecih.
“Gadis kecilmu ada di rumah?” tanyanya kemudian. Januari menoleh sekilas.
“Rinjani?” tanyanya, Isamu mengangguk.
“Sepertinya dia mulai sibuk dengan teman-temannya,” ujarnya kemudian.
Isamu adalah pemuda yang mau belajar tetapi untuk bekerja di posisi Januari sekarang bukanlah yang dia inginkan. Buku yang ia pegang hanya menjadi penghias, karena Isamu bukanlah orang penggila buku, berbeda dengan Januari yang akan melahap buku apa saja. Dan dia terlihat bosan dengan semua aktivitas yang dilakukan oleh sepupunya. Bosan karena tidak tahu harus melakukan apa, sementara Januari sangat fokus pada pekerjaannya.
Bangkit dari sofa, Isamu mengembalikan bukunya ke rak. “Kembalikan ke tempat dimana kau mengambilnya,” ujar Januari tanpa menoleh. Isamu mendecih sebal, bahkan telinganya bisa melihat, umpatnya dalam hati.
“Mau kemana kau?” tanya Januari ketika Isamu berjalan menuju pintu.
“Pulang,” sahutnya dengan wajah ditekuk. “Kau membuatku mati karena bosan di sini,” sungutnya.
“Belum waktunya pulang. Ingat kamu datang sudah lewat jam makan siang,” ujar Januari mengingatkan sepupunya.
“Tidak penting. Aku tidak bekerja di sini,” mendecih, Isamu tetap berjalan keluar, meninggalkan Januari yang tertawa. Tanpa menghiraukan panggilan Januari, Isamu melewati meja sekretaris dan langsung menuju lift untuk meninggalkan kantor Maeda Group.
Dengan kesepakatan yang sudah mereka lakukan, Isamu berharap Mark tidak akan pernah tahu dan menganggap dia benar-benar serius bekerja. Ia hanya perlu duduk di sana dan Januari akan
Isamu menatap dirinya di cermin, merapikan dasinya dengan sedikit bersenandung. Menenteng jas, ia turun menuju meja makan. Larisa dan Matahari yang sudah duduk di sana menatapnya heran.
“Pagi sekali dan sangat rapi, mau kemana?” tanya Matahari pada putranya yang mengambil sarapan yang disodorkan sang ibu. Larisa melirik suaminya.
“Ke kantor, Dad,” jawabnya singkat.
“Ke kantor?” tanya Matahari dengan suara dalamnya. Isamu menatap sang ayah, tersenyum tipis.
“Iya, Jan setuju untuk kerjasama,” ujarnya dengan wajah serius. Matahari menatapnya kesal.
“Apakah kamu serius mengusir Januari dari ruangannya? Dad sungguh kecewa dengan apa yang kamu lakukan Isamu. Daddy sungguh tidak berharap kau akan seperti kakekmu,” kecamnya. Isamu menghela nafas bersamaan dengan tatapan kejam ibunya yang menggeleng tidak mengerti.
“Bukankah kemarin kamu berjanji hanya akan bicara pada Jan dan tidak akan menggantikannya,” Matahari meradang. Dia tidak mengerti dengan sikap Isamu yang menurutnya tidak bisa memegang janji.
“Aku tidak mengusirnya Dad, bagaimana bisa aku melakukan itu? Tapi aku dan Jan membuat kesepakatan seperti yang aku katakan kemarin. Apakah Dad tidak percaya padaku?” tanya Isamu mengerutkan alisnya.
Hening sejenak, Matahari menatap mata hijau putranya, mencari-cari di kedalaman matanya. Tidak ada yang bisa ia temukan di sana selain kejujuran. Menghela nafas, akhirnya ia berkata, “Baiklah, kami percaya padamu. Tapi Dad memang khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh kakekmu. Kamu tentu mengerti mengenai perselisihan kami selama ini. Dan Dad tidak keberatan untuk melakukan gesekan padanya,” mengatakan itu, Matahari mengerling istrinya yang pura-pura tidak mendengar.
“Dad, aku hanya sekedar datang dan duduk di sana, keputusan apapun, tetap menjadi otoritas Kakak,” jawab Isamu.
Matahari menatap lekat wajah putranya, sejenak ada kebimbangan dalam kepala pria itu. “Kau kecewa dengan keputusan kami karena memilih Jan untuk menempati posisi CEO?” ia bertanya kemudian. Isamu terkekeh mendengar pertanyaan itu, membuat kedua orang tuanya saling pandang.
“Ayolah, Dad, Mom. Berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk menolak kalian?” keluhnya. “Sekarang kalian meragukanku? Bagiku Jan adalah kakak lelaki yang pantas. Bahkan aku tidak memiliki setengah saja keahlian yang dimiliki dirinya. Aku baru satu hari melihatnya bekerja tetapi aku sudah tidak kerasan. Aku yakin dia memiliki kemampuan seperti pemimpin sebelumnya. Aku tidak ada apa-apa dibandingkan dirinya,” jawab Isamu.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Larisa dengan mata menyelidik. Matahari tersenyum tipis menatap istrinya.
“Mom, apalagi yang bisa kulakukan selain ikut dalam permainan Opa?” jawabnya mengeluh. “Sebelumnya aku ingin bertanya Dad, apakah kalian tahu rencana Opa?” tanyanya sambil menerima lagi yang berisi roti bakar dari Larisa.
“Bukan hal sulit untuk menebaknya,” jawab Matahari. “Dad yakin kamu tahu apa yang direncanakan oleh kakekmu, ikuti saja,” jawab Matahari.
“Tujuan Opa memaksaku pulang adalah untuk menyingkirkan Jan dari posisinya di Maeda Group. Aku tidak tahu apa alasan mengapa Opa tidak menyukai Jan. Tapi dia bersikeras agar aku bisa mengambil alih posisinya dengan cepat.”
“Dan kamu tidak boleh masuk ke dalam perangkapnya,” dengus Matahari.
“Tidak. Aku tidak akan menggantikan Jan. Menurut Dad apa yang aku ketahui tentang Maeda Group? Selama ini yang selalu membantu kalian adalah Jan. Maka Jan yang lebih pantas. Aku hanya berpura-pura telah menyingkirkan dirinya. Tetapi aku tetap akan membutuhkannya untuk semua keputusan.”
Penjelasan panjang Isamu cukup untuk membuat Matahari sedikit lega. “Dan, Jan setuju dengan rencanamu?” tanya Matahari tidak percaya.
“Apakah dia pernah menolak adiknya?” kekeh Isamu, Larisa menggeleng melihat cengiran di wajah anaknya. Sementara Matahari menatap lurus putranya, Isamu menghentikan tawa dan menatap sang ayah.
“Jan tahu, ia tidak bisa membiarkan aku terjebak di antara kalian. Antara Dad dan Opa,” jawab Isamu akhirnya. “Lagipula jika terus seperti ini, Jan tahu Mom akan tersiksa,” ujarnya dalam tawa tertahan. Matahari mendecih, ia tahu sang anak menyindirnya yang tidak pernah akur dengan sang kakek.
“Ibumu justru tersiksa kalau dia akur denganmu,” ketus Matahari, Larisa menatapnya sedikit tertawa.
“Jangan berkata begitu, dia bisa berpikir buruk tentang kakeknya,” jawab Larisa, tapi tidak bisa meninggalkan cengiran di wajahnya. Matahari tersenyum sarkas.
“Ayolah, setidaknya dia kakek yang baik,” lanjut Larisa. Matahari hanya meleletkan lidah dan enggan membalas. Dia menatap lurus pada putranya yang masih menikmati pertengkaran kecil orang tuanya.