Bab 10 Perjanjian Rahasia
Bab 10 Perjanjian Rahasia
Suara langkah kaki Isamu berdetak pelan di atas lantai marmer lobby Maeda Group. Melangkah tanpa mempedulikan perhatian yang ditujukan padanya. Sesuai dengan petunjuk dari ayahnya, Isamu langsung menuju ruang kerja Januari. Hanya mengangguk ke arah sekretaris sepupunya yang menatap dengan mulut setengah terbuka.
Dengan senyum menghiasi bibirnya, Isamu membuka pintu kantor Januari setelah mendengar jawaban dari balik pintu. Wajah tampan dengan mata khas keturunan Jaan Peter menyambut kedatangan Isamu, pemuda yang juga memiliki mata yang sangat memukau.
“Selamat datang di Maeda Group Isamu. Aku sangat gembira kau meneleponku,” sapa Januari ramah.
Isamu, pemuda yang lebih muda 7 tahun dari Januari menatap kagum pada pria yang berdiri di depannya. Terlihat gagah dan yakin dengan kemampuannya. Cukup lama mereka tidak bertemu, karena Januari jarang ada di rumah. Tapi meskipun mereka cukup dekat karena Januari sering datang ke rumah Matahari.
“Hei? Ada yang aneh di wajahku?” tanya Januari meringis geli.
“Sekian lama kita tidak berjumpa, kakakku sudah berubah,” jawab Isamu, menyeringai malu.
“Berubah? Tidak ada yang berubah padaku,” jawab Januari tertawa.
“Hahaha, tidak ada sambutan untukku?” tanya Isamu memasang mimik sedih.
Januari tertawa melihat ekspresinya, ia begitu gembira bisa bertemu dengan Isamu. Dan dia menarik bahu Isamu dan merangkulnya hingga Isamu kesal dengan perlakuan Januari.
“Ah, kau pikir aku Rinjani?”semburnya sebal. “Lepas Kak! Bukan sambutan seperti ini yang aku harapkan,” katanya berusaha menyingkir. Januari melepaskan rangkulannya dalam tawa.
“Lalu? Bagaimana kalau aku mengajakmu makan di tempat dulu?” undang Januari menawarkan makan siang.
“Tentu, itulah yang kuharapkan. Sebentar, Kakak sengaja menungguku? Maksudku kau belum makan siang?”
“Seharusnya sudah. Tapi adikku datang dan aku secara khusus ingin mengundangmu makan siang. Aku yakin ada banyak hal yang akan kita bicarakan. Kebetulan hari ini aku jadwalku sedikit longgar. Bagaimana?”
“Siap. Apakah kita akan berangkat sekarang?”
“Tentu. Tinggalkan mobilmu di sini.”
“Tentu,” sahut Isamu bersemangat. “Aku ingin mendengar banyak ceritamu tentang pendakian,” sahut Isamu.
“Baiklah. Ayo!”
Dua orang pemuda yang sama-sama tampan dengan postur tubuh yang tinggi dan gagah tetapi Januari terlihat lebih kekar. Berjalan meninggalkan kantor Maeda dan masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Januari. Tidak ada seorangpun diantara mereka memperhatikan bahwa kepergian mereka diawasi dan orang itu segera melaporkan apa yang dilihatnya.
“Selamat siang Tuan Mark. Tuan Muda Isamu baru saja meninggalkan kantor bersama dengan Tuan Januari. Mereka terlihat sangat akrab. Tidak ada ketegangan diantara keduanya.”
Makian kasar keluar dari mulut Mark mendengar laporan tersebut dan ia melemparkan ponselnya dengan amarah yang sudah mencapai pusat otaknya. “Kau pikir bisa memperdayaku Isamu? Tidak. Aku akan memastikan kalau rencanaku akan berjalan dengan lancar,” ucapnya mendesis seperti ular yang menunggu mangsanya.
“Ada apa Mark? Tidak sesuai rencanamu?” tanya Tom yang baru datang dan melihat ponsel miliknya di lantai.
“Belum. Aku belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Isamu. Hari ini orang yang bekerja padaku memberitahu kalau Isamu pergi keluar dengan anak tidak berguna itu. Dan aku yakin kalau cucuku selalu mempunyai rencana yang jitu. Dan aku tahu kalau dia akan bertindak sangat halus,” jawab Mark yakin.
“Aku suka dengan keyakinanmu. Tapi Isamu adalah putra Matahari dan dia telah mendidik putranya dengan nilai moral yang sangat baik.”
“Mengapa tidak kau katakan saja kalau moralku sangat rendah, Tom,” dengus Mark.
“Bukan aku yang mengatakannya,” jawab Tom tertawa membuat Mark memakinya.
“Hati-hati Mark. Tidak selamanya aku akan menerima setiap umpatan yang keluar dari dirimu,” ancam Tom mengingatkan.
“Kalau begitu harus aku katakan kalau kau datang pada waktu yang tidak tepat Tom,” sahutnya yang langsung pergi meninggalkan Tom sendiri.
Di tempat lain yang merupakan sebuah rumah makan yang cukup terkenal dengan cita rasanya, Januari dan Isamu tengah menikmati makan siang yang sudah mereka pesan.
“Aku tidak pernah tahu dari mana Kakak mengetahui tempat ini. Dan aku sangat bersyukur Kakak sudah membawaku kesini,” kata Isamu dengan isi piring yang sudah nyaris kosong.
“Aku tahu dari salah satu temanku. Dan selanjutnya tempat ini menjadi tempat favoritku.”
“Aku suka dan pilihanmu tidak salah,” sahut Isamu.
Januari memandang adik sepupunya yang kekenyangan, duduk bersandar di kursinya. “Jadi, kau tidak hanya rindu pada Kakak kan?” ujarnya seraya meletakkan gelas kosongnya di meja. Isamu menyeringai. “Katakan padaku sekarang tujuanmu meminta pertemuan ini. Aku tahu saat ini bukan saatnya liburan.”
“Sampai kapanpun kau tetap sama Kak. Isi perut teman bicaramu agar percakapan berjalan dengan lancar dan seusai yang kau inginkan,” sahut Isamu diikuti dengan tawanya.
“Jadi?”
“Apakah Opa sudah menemuimu?” tanya Isamu, menatap manik mata heterchromia Januari.
Yang disebut belakangan menghela nafas, jadi begitu, pikirnya. “Ya, Dia sudah datang dan memintaku untuk menyingkir,” jawab Januari sambil mengangkat bahunya.
“Dan Dad sangat murka,” kekeh Isamu, membuat Januari mendesis antara kesal dan ingin tertawa.
“Begitu?” tanya Januari dengan nada kaku yang membuat Isamu berpikir dari mana dia harus memulai penawaran kerjasama pada Jan.
“Dad sangat murka karena Opa membawaku pulang tanpa sepengetahuan mereka. Dan Dad hampir saja memukul Opa karena sudah ikut campur urusan keluarga kita. Untunglah Mom melerai mereka.”
“Lalu?” tanya Januari tertarik dengan cerita Isamu.
“Yang pasti Dad tidak menerima rencana Opa agar aku menggantikan posisimu. Bagi Dad, keputusan yang sudah dia buat bersama Ken dan Oma sudah mutlak dan tidak berlaku bila salah satu diantara kita menimbulkan keributan.”
“Jadi?”
“Jadi aku menawarkan kerja sama denganmu,” jawab Isamu dengan pandangan lekat kearah Januari.
“Kerja sama?”
“Benar. Aku tidak mau membuat keributan dan masalah dengan Opa. Aku rasa kita semua tahu perselisihan antara mereka dan aku yakin mereka akan kembali berselisih bila aku tidak meredam emosi mereka. Dan aku tidak ingin dia terus mengganggumu. Tapi aku tidak mempunyai keinginan untuk terlibat di perusahaan.”
“Tidak mempunyai keinginan? Kau yakin aku percaya?” tanya Januari dengan mata menyipit tajam. Isamu menarik nafas.
“Aku tidak peduli Kakak percaya atau tidak. Aku sudah mengatakan pada Dad kalau aku lebih suka bekerja seperti yang beliau lakukan sekarang,” jawab Isamu sambil mengedikkan bahunya.
“Aku tidak pernah mempunyai keinginan untuk menjadi seorang CEO di perusahaan besar seperti Maeda. Kau tahu saat Ken menghubungiku, aku sangat marah dan berharap aku sudah bergerak cepat hingga tidak ada signal untuk meneleponku. Aku berharap pekerjaanku di sini hanya sementara sambil menunggu kau selesai kuliah. Tapi kedatangan Mark membuatku berpikir apa yang dia inginkan di Maeda? Dan akhirnya aku memutuskan bertahan sampai waktunya kamu mengambilalih bukan karena bujukan darinya.”
Isamu menatap mata Januari setelah penjelasan panjang itu dan dia tertawa karena apa yang sempat ia khawatirkan tidak terbukti. Dia sama sekali tidak menyinggung Januari sebagai seorang CEO yang posisinya terancam.
“Jadi kita berdua sama-sama tidak memiliki keinginan tersebut?”
“Menurutmu siapa yang tertarik dengan Maeda Group? Hanya Ken yang betah di sana. Lanjutkan penjelasanmu itu!” perintah Januari, Isamu memasang wajah kesal seketika.
“Kenapa?” tanya Januari heran.
“Usia kita hanya terpaut tujuh tahun, aku masih pernah melihatmu menangis karena diganggu Naisya,” kekeh Isamu, Januari melempar tatapan menyebalkan padanya. “Jadi jangan bersikap seperti orang tua padaku,” gerutu Isamu dan Januari tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa.
Melihat wajah Isamu yang semakin kesal, Januari berusaha menghentikan tawanya. “Bicaralah!”
“Aku ingin kau berpura-pura bahwa aku sudah mengambilalih posisimu. Tapi kau tetap berada di sampingku dengan alasan bahwa aku membutuhkan dirimu. Siapapun tahu bahwa kau sudah cukup memiliki pengalaman di Maeda. Aku hanya berpura-pura saja menyingkirkan dirimu. Tetapi pada kenyataannya kau tetaplah yang mengendalikan perusahaan. Tidak ada campur tangan dariku karena sepenuhnya menjadi kuasamu. Bagaimana menurutmu?”
“Sampai kapan?”
“Sampai Opa merasa dirinya sudah menang.” Januari menggeleng atas kalimat itu.
“Dia tidak akan mudah dikelabui. Dan aku berpikir dia juga mempunyai orang di sini walaupun bukan pada posisi penting,” sahut Jan.
“Aku tahu. Tapi aku yakin kita bisa melakukannya asalkan Kakak mau bekerja sama. Bagaimana?”
“Baiklah aku setuju. Mulai besok aku akan menjadi anak buahmu,” jawab Januari setelah berpikir sejenak. Cengiran lebar membayang di wajahnya.
*Bersambung*