Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Mencari Kepastian

Jayme sudah berdiri di depan pintu dengan sebuket bunga di tangannya, ia ulurkan pada Zanara. Tak ada maksud apa pun, tidak juga demi merayu wanita itu agar lebih memilih dirinya ketimbang kembali pada mantan suaminya. Sungguh semua itu murni untuk menghibur.

Namun, niat baiknya sepertinya tak mendapat sambutan baik. Seperti biasa, Zanara dengan tanpa ekspresi menyambut dan menanyakan tujuan Jayme datang ke apartemennya.

"Apa tujuanmu datang kemari? Bukankah kau sudah puas bermain dengan Marion? Sekarang apa lagi?" desis Zanara, tajam. Namun, tetap menjaga intonasi dan volume suara agar tak didengar langsung oleh Marion.

"Zee ... jangan salah sangka dulu. Aku ingin bicara denganmu. Boleh?"

"Perkara apa? Aku sedang tak ingin membicarakan masalah yang sering kau tanyakan, tentang romansa atau apa pun itu." Wanita itu membuang wajah ke arah lain, tak ingin memandang wajah Jayme secara langsung. Bagaimana pun ia hanyalah manusia biasa, bisa saja pria itu akan memasang wajah memelas dan pada akhirnya Zanara akan luluh.

"Tentang kita."

"Itu lagi," keluhnya, tampak jenuh. "Bicarakan itu dengan wanita lain saja, Dokter Demir."

Zanara menutup pintu dan nyaris mematahkan tangan Jayme yang dengan sengaja menghalangi daun pintu itu agar tak menutup. Dan bodohnya, ia melakukan itu dengan tangannya.

"Akkh!" Jayme dengan cepat menarik anggota tubuhnya itu dari pintu, yang justru memperparah sakit yang ia derita.

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Zanara. Ia bukan perempuan berhati dingin seperti yang orang sangkakan. Ia juga punya perasaan, dan punya belas kasih. Melihat kebodohan pria yang akhirnya membawa kerugian bagi dirinya sendiri, Zanara tentu saja tak sampai hati.

"Kau ini apa-apaan? Apa kau ingin kehilangan tanganmu?" Zanara bergegas masuk dan keluar dengan kotak berisi obat-obatan.

Zanara, dengan telaten dan cekatan, mengeluarkan apa saja yang dibutuhkan untuk mengobati luka yang sebenarnya hanya sedikit lecet. Tak berpengaruh pada Jayme yang bahkan pernah merasakan yang lebih sakit dibanding ini, dan ia bisa bertahan. Namun, kapan lagi ia bisa bersentuhan dengan wanita ini, jika bukan sekarang? Wanita itu tak pernah membolehkan dirinya menyentuh meski itu hanya sekedar bersalaman. Dan satu hal lagi yang membuat Jayme rela sebentar saja menjadi laki-laki cengeng, perhatian dan ketelatenan Zanara yang diberikan untuknya, merupakan hal yang sangat langka.

Jayme memandangi wanita yang kini tengah mengoleskan krim pada lukanya. Ia tak memerhatikan kalau ada luka lain yang justru disadari oleh Zanara. Bisa saja mengalami dislokasi atau cidera lain. Karena itu Zanara mengambil bebat dan membebatkannya pada tangan pria itu.

Meski ia selalu memakai topeng dingin di luar, Zanara tetaplah wanita baik hati bagi Jayme. Sampai kapan pun ia akan selalu menjadi wanita baik hati, karena itu adalah karakternya.

Jangan tanyakan dari mana Jayme mengetahuinya. Menjadi dokter jiwa selama beberapa tahun, membuatnya mampu melihat sisi lain seseorang dari cara berbicara, bahasa tubuh, bahkan sekadar mengedipkan mata pun bisa menjadi sarana bagi Jayme untuk membaca pikiran orang lain. Ia bukan cenayang, tentu saja. Hanya kemampuan yang pastinya dimiliki oleh orang yang bergelut dengan kejiwaan orang lain.

"Kau sangat telaten melakukannya. Terima kasih," ucap Jayme, berusaha mencairkan suasana karena ia bisa melihat kalau Zanara kini tengah merasa gugup.

Wanita itu tak menghentikan apa yang sedang ia lakukan, tetapi tidak juga mengangkat wajah demi menatap manik kecoklatan milik Jayme. Ia tetap menunduk dan fokus pada peralatan di tangannya. "Jangan besar kepala! Aku sudah biasa melakukan ini, jadi tak hanya dirimu, pada siapa pun mungkin aku akan lakukan hal yang sama."

"Termasuk pada pria tadi?"

Zanara kali ini terganggu dengan kalimat yang diucapkan Jayme. Ia berhenti dari apa yang tengah dilakukannya sejak tadi, lalu matanya menatap kosong. Hanya sebentar. Karena di detik berikutnya, ia sudah kembali merawat luka Jayme dan mempercepat gerak tangannya mengikat bebat yang telah membungkus tangan Jayme dengan sempurna.

"Sudah. Kau bisa pulang sekarang, Dokter Demir!"

"Tunggu, Zee! Aku serius. Apakah jika ini terjadi pada pria itu—mantan suamimu itu, kau juga akan melakukan hal sama terhadapnya?"

Tentu saja. Namun, bukan itu yang membuat Zanara ragu menjawab. Masalahnya, pria yang disebut oleh Jayme adalah pria yang ia hindari selama dua tahun lebih. Jadi, mungkin Zanara tak akan melakukan apa yang ia lakukan pada Jayme, jika yang mengalami kesialan tadi adalah Mark. Bukan karena Jayme istimewa, melainkan murni karena masa lalu.

"Dokter Demir, kumohon. Apakah kau tidak lelah seperti ini terus? Mau sampai kapan kau mendekatiku, sementara aku sudah katakan padamu kalau aku—" Zanara menghela napas berat. "Sudahlah, semua ini sia-sia. Lakukan saja apa pun yang membuatmu senang. Aku masuk dulu."

Jayme tampaknya tak ingin menyerah begitu saja. Ia tak membiarkan Zanara pergi. Dengan cepat tangannya mencekal lengan wanita itu. Terlalu tiba-tiba hingga membuat Zanara terhuyung dan terjatuh dalam dekapannya. Ia tidak sedang mencari keuntungan dari kejadian itu. Jika lengannya tak merengkuh tubuh jenjang Zanara, wanita itu mungkin akan jatuh tersuruk ke lantai. Jayme tentu saja tak ingin itu terjadi. Namun, tampaknya niat baiknya itu disalah artikan oleh Zanara.

Wanita itu mendorong tubuh Jayme secara spontan. Napasnya sedikit terengah, seolah dirinya sudah melakukan beberapa putaran maraton. Sekali lagi, bagaimana pun, Zanara hanyalah wanita biasa.

Ia pernah merindukan Mark, bahkan sampai beberapa jam lalu ketika pria itu datang, Zanara ingin sekali berlari menghambur ke dalam pelukan Mark yang pasti akan selalu terbuka untuknya. Namun, ia menahan diri. Ada banyak luka yang belum sembuh, dan kembali menjatuhkan diri pada Mark sama halnya dengan bunuh diri.

"M-maaf. Aku hanya—"

"Pulanglah, Dokter Demir. Aku tidak punya apa yang kau butuhkan. Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan dan kau minta. Jangan lagi datang padaku."

"Apakah karena pria itu? Apakah kau akan kembali padanya?" Dengan cepat Jayme memotong kalimat Zanara sebelum wanita itu beranjak pergi.

Zanara berbalik. Mendengar pertanyaan Jayme membuat darahnya mendidih. Ia tak suka pertanyaan yang justru terkesan menuduh yang ditujukan Jayme padanya. Apakah ia terlihat begitu menyedihkan hingga berpikiran untuk kembali pada Mark? Apakah Zanara terlihat begitu haus akan belaian, hingga seolah akan menerima Mark lagi? Begitukah?

"Ini bukan urusanmu, Dokter Demir. Dan jika kau berpikir aku akan terjatuh lagi pada pria yang pernah menyakitiku, kau salah besar. Aku tak akan pernah membiarkan siapa pun yang pernah menyakitiku, datang dan melakukannya sekali lagi."

"Baguslah. Aku hanya ingin mendengar itu," jawab Jayme, tampak tenang setelah mendengar perkataan wanita pujaan hatinya itu. "Kalau begitu mengenai perasaanku—"

Zanara menggeleng perlahan. "Kumohon, Dokter Demir, carilah wanita lain yang lebih sepadan denganmu dan pastinya mencintaimu sebesar rasa cintamu padanya. Aku yakin kau akan menemukan banyak sekali wanita yang jauh lebih baik dibanding diriku."

Jayme tak ingin menginterupsi perkataan Zanara meski ia sangat ingin membungkam ucapan wanita itu dengan sebuah kecupan. Ia sungguh ingin, tetapi ia cegah dirinya untuk lakukan itu. Ia hanya membelalakkan maniknya secara liar, berusaha menemukan manik hazel milik wanita itu, berharap bisa menguncinya dan mengatakan banyak hal saat itu juga.

Belum sempat ia wujudkan, Zanara berbalik dan nyaris pergi.

Namun, Jayme tak ingin membiarkan wanita itu menghindar dari apa yang seharusnya ia hadapi. Jayme sudah cukup lama menanti, setidaknya untuk sebuah jawaban bahwa dirinya masih boleh terus berada di sisi Zanara dan Marion. Ia kembali menahan kepergian Zanara dan mengatakan apa yang seharusnya ia katakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel