Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Double Trouble

Mendengar suara bariton berat yang dulu sempat sangat menghibur pendengarannya, Zanara mematung. Berharap bahwa apa yang terjadi saat ini hanyalah mimpi, ia ingin agar bisa terbangun segera jika memang pria yang berdiri di balik punggungnya adalah benar pria itu. Tubuhnya bergetar hebat, tak ingin sampai bertemu mata dengan pria itu. Bukan takut hatinya akan lemah, melainkan tak ingin. Ia benci jika harus menatap pria itu lagi. Ia tak ingin bayang-bayang perselingkuhan Mark kembali bermain nakal di rongga kepalanya.

Namun, sial! Ia bahkan tak mampu menggerakkan kedua kakinya untuk melarikan diri dari tempat itu. Jayme. Di mana pria itu? Apakah ia sudah pergi? Ataukah masih berdiri di tempat yang sama dan menanti kelanjutan cerita yang tengah dimainkan di depan matanya? Setelah bersusah payah menelan jantungnya yang nyaris mencelus, Zanara pada akhirnya memutar tubuh. Sorot mata yang semula penuh kepanikan, kini berubah tegar seketika, seiring bertemunya dua manik dari kejauhan.

Benar, Mark yang sejak tadi berdiri di balik punggungnya. Memandang sosok yang perlahan memangkas jarak antara mereka, Zanara nyaris berada persis di hadapan Mark. Namun, dengan cepat Jayme menjadi penghalang antara keduanya. Seolah bisa membaca keengganan di wajah Zanara akan kehadiran pria itu, Jayme sadar bahwa pria yang kini ada di hadapannya adalah pria yang telah menghancurkan hati wanita baik hati seperti Zanara, dan menjadikannya wanita yang dingin dan selalu menarik diri dari cinta dan perhatian yang ia berikan.

Tatapan Jayme jelas ditujukan untuk Mark. Dan pria itu tampaknya tak terima ada orang lain berada di sisi mantan istrinya. Tidak. Mereka bahkan belum sama sekali menanda tangani apa pun mengenai perceraian. Mereka masih bisa kembali, andai Zanara mau memberi kesempatan kedua untuk Mark. Bagaimana pun, putri mereka membutuhkan sosok ayah.

"Apa tujuanmu datang kemari?" tanya Jayme, terdengar tenang. Namun, dalam hatinya sudah layaknya langit yang mendung dan penuh gemuruh yang bisa menggelegar kapan pun ia mau. Akan tetapi, untuk saat ini, ia ingin berusaha untuk tenang, seperti apa yang dilakukan Zanara. Tenang, meski Jayme dapat melihat gejolak tak tertahan di hati wanita itu.

"Ini bukan urusanmu. Aku ingin bertemu dengan istri dan anakku. Kau minggirlah."

Mendengar jawaban Mark, Jayme terenyak sesaat dan nyaris tak berkutik. Namun, ia pria cerdas. Ia tahu bagaimana memainkan kartunya dengan baik.

"Tak bisakah kau lihat kalau dia tak ingin bertemu denganmu?"

Mark tampak tak suka dengan kehadiran Jayme. "Biar ia sendiri yang mengatakannya secara langsung." Kalimat itu terdengar seperti sebuah tantangan. Seolah Jayme salah jika mengatakan bahwa Zanara tak ingin bertemu Mark. Namun, Zanara tanpa mengangkat wajahnya, atau berusaha menatap wajah mantan suaminya, segera mengambil alih pembicaraan.

"Pria ini benar. Aku tak ingin bertemu denganmu. Sekarang pergilah!" Zanara memutar tubuhnya, dan nyaris melangkah pergi, tetapi sekali lagi urung ia lakukan.

"Aku sungguh ingin bicara denganmu, Zee. Kumohon."

Zanara mematung di tempatnya. Apakah pria itu tak dengar apa yang ia katakan? Bagaimana cara yang tepat untuk mengusirnya?

"Aku lelah, tak ingin bicara dengan siapa pun."

Mendengar kalimat yang terdengar tegas, Mark tak mampu memaksa, ia tahu bagaimana karakter wanita yang sangat dicintainya itu. Ia hanya mendesah pasrah, kemudian memandang ke arah Zanara yang masih tertutup oleh tubuh tegap Jayme.

"Baik. Aku tak ingin kau kelelahan dan sakit. Sebaiknya kau istirahat. Tapi besok aku akan datang lagi. Aku merindukan kalian, dan aku tidak akan menyerah mengejar dan meminta kalian kembali."

Zanara mendengkus, kemudian mengayun langkah meninggalkan Mark dan Jayme.

Ia tak peduli, entah Jayme maupun Mark, tak ada satu pun dari mereka yang bisa menggoyahkannya. Tak ada cinta yang sungguh di dunia ini. Mereka—para pria—pada akhirnya akan memberi luka saja. Ia tak ingin hatinya kembali rapuh, karena ada Marion yang harus ia jaga dan nantinya akan ia ajarkan menjadi kuat sepertinya agar tak mudah tergoda oleh pria mana pun.

Zanara tiba di apartemennya. Mengunci pintu dengan tergesa dan bersandar pada pintu yang tertutup.

"Mama? Kenapa mama terlihat ketakutan? Apakah papa marah-marah?" tanya Marion dengan polosnya. Zanara tertegun sesaat ketika Marion muncul dan melontarkan pertanyaan yang ia tak tahu harus menanggapi dengan jawaban apa. Zanara berjongkok demi menyejajarkan tubuhnya dan Marion. Ia menatap dalam manik hazel gadis kecil di hadapannya. Wanita itu meraih kedua tangan putrinya, mengecupnya dengan penih cinta.

"Paman Jayme tidak marah-marah, sayang. Mama juga tidak sedang ketakutan. Mama hanya ... hmm ... apa, ya, namanya?" Zanara tampak berpikir. Mencari kalimat yang mudah dipahami oleh anak sekecil Marion. "Tergesa. Ya. Mama hanya tergesa, itu yang membuat Mama sekarang kehabisan napas. Bolehkah aku masuk sekarang, detektif?"

Marion membulatkan maniknya kala mendengar Zanara memanggilnya dengan sebutan 'detektif' karena barusan ia bertingkah seperti seorang detektif yang menginvestigasi raut wajah ibunya.

Gadis itu tertawa."Maksud Mama aku seperti detektif? Aku jadi dapat ide untuk bermain detektif-detektifan bersama Melika." Ia kemudian mengecup pipi Zanara dan berlalu meninggalkan wanita yang kini mendesah lega karena bisa menghindar dari pertanyaan kritis putrinya.

Zanara melangkah gontai dan masuk ke kamarnya, menghempaskan tubuh di atas ranjangnya. Bolehkah jika ia beristirahat sebentar saja?

Berurusan dengan satu pria saja sudah menguras energinya, ini justru ia dihadapkan pada dua pria, dan satunya datang dari masa lalu yang sungguh sangat ingin ia hindari. Terlebih setelah sekian lama berhasil lari darinya, kini harus bertemu lagi dengannya seperti sebuah mimpi buruk.

"Kenapa kau harus kembali, Mark? Tidak cukupkah wanita itu, dan juga anakmu darinya?" Zanara bermonolog, geram akan apa yang dilakukan pria dari masa lalunya itu. Setiap kali mendengar nama Mark, segala kenangan buruk selalu datang berkelebatan di rongga kepalanya, tanpa kendali. Dan Zanara sungguh tidak menyukai kenangan itu. Dadanya sakit tiap teringat akan hal itu.

Namun, kehidupan memang seringkali menguji kesabarannya. Tak cukup dengan apa yang baru saja ia alami, ponselnya berdering nyaring dan membuat Zanara malas ketika tahu siapa yang menghubunginya. Sekali berdering, ia hiraukan. Hingga sebuah pesan teks masuk di nomornya.

[Tolong terima panggilanku.]

Dari sebuah nomor terblokir yang baru beberapa jam lalu ia buka blokirnya. Siapa lagi kalau bukan pria kesayangan Marion. Jayme. Zanara tak ingin terpengaruh dengan pesan, maupun panggilan dari pria itu. Namun, ia terganggu juga ketika satu pesan lain masuk lagi.

[Please.]

Lalu disusul dering yang kali ini tidak ia abaikan. Zanara menerima panggilan itu, tetapi tak ingin mengucap apa pun. Ia biarkan Jayme yang memimpin percakapan. Ia sedang malas berurusan dengan pria-pria itu karena baginya, baik Jayme maupun Mark sudah memberi banyak masalah di kehidupannya.

"Zee ... aku sedang di depan apartemenmu sekarang. Aku ingin bicara."

Zanara enggan, tetapi tak bisa mencegah atau pun menolak kedatangan Jayme. Maka dengan hati-hati ia membuka pintu, tak ingin Marion menyadari kehadiran pria favoritnya yang mungkin akan membuat urusan menjadi lebih rumit dan memakan waktu lama. Jayme telah berdiri di depan pintu, dengan ponsel masih menempel pada telinga kirinya. Menatap manik hazel milik wanita cantik di hadapannya, yang tengah menanti hal apa lagi yang ingin dibicarakan pria itu.

"Bolehkah aku masuk?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel