Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. The Pain is Back

"Shie ... apa yang harus kulakukan sekarang?" Zanara tak ingat sejak kapan ia mulai sering dilanda kecemasan. Ia jadi sering menggigiti jemarinya terkadang hingga berdarah, dan baru menyadarinya saat tangannya mulai terasa perih.

"Jayme. Coba hubungi Jayme, siapa tahu ia bisa membantu."

Zanara membulatkan maniknya. "Apa? Tidak! Aku tak akan pernah menghubunginya untuk meminta apa pun! Aku tidak mau ia mengambil kesempatan dari ini semua."

"Zee, untuk sekali ini saja coba tekan egomu. Lupakan apa pun yang tengah kau rasakan pada Jayme atau pria mana pun. Nyatanya kau membutuhkan bantuan mereka. Kau butuh bantuan, kau bukan wonderwoman, okay?"

Zanara masih bergeming. Tak ingin mengiyakan begitu saja, karena benar apa yang dikatakan oleh Shienna, egonya memaksa untuk menang saat ini. Entah dengan tujuan apa, tetapi Zanara sama sekali tak ingin mengalah.

Ia tak ingin pria itu berpikir bahwa dirinya lemah hingga membutuhkan bantuan pria itu. Ia sudah membuktikan sendiri bahwa nyatanya hingga kini dirinya mampu bertahan meski tanpa kehadiran pria mana pun. Zanara tak ingin menyebut Jayme sebagai pengecualian. Pria itu memang pengganggu baginya sejak awal.

"Kau tidak perlu mendikteku, Shie. Aku telah menjalani ini semua seorang diri dan aku baik-baik saja. Nyatanya pria hanya menyakiti, dan aku tak akan pernah membuka peluang untuk disakiti lagi. Kau dengar itu?"

"Zee, dengarkan dulu. Apakah kau lupa, tidak hanya dirimu yang seorang single parent sekarang. Kau tidak melihatku?" Kalimat Shienna sukses membuat Zanara menyesali apa yang baru saja ia ucapkan. "Apakah menurutmu aku memiliki suami yang bisa kujadikan pegangan, hm? Namun, aku mengakui bahwa diriku hanya manusia biasa dan aku membutuhkan bantuan sesekali."

Apa yang dikatakan Shienna benar adanya. Namun, menurutkan egonya sendiri nyatanya terasa lebih mudah ketimbang harus berurusan dengan pria itu.

"Maafkan aku, Shie, aku tidak bermaksud—"

"Sudahlah, tak masalah. Ini tentang kau, bukan aku. Jadi aku tak akan mempermasalahkan reaksimu atas masukanku. Hanya saja, ayolah, ini demi Marion. Kau tidak akan bisa mencarinya seorang diri."

Zanara mengakhiri panggilan dan memutar haluan kembali ke apartemen. Ia masih berharap dirinya yang bereaksi berlebihan. Ia berharap Marion sedang bermain di rumah saat dirinya tiba. Namun, baru turun dari mobil ia mendengar suara Marion memanggilnya.

"Mama!"

Zanara menoleh dan langsung menghambur memeluk putrinya yang sudah satu jam membuatnya kelabakan mencari ke sana kemari. Ia mengecupi pipi dan kening Marion, seolah gadis kecil itu memang telah menghilang dan kini kembali ke pelukannya.

"Dari mana saja kau, sayang? Apakah kau tahu Mama mencarimu—"

"Hey, Zee."

Pria itu lagi. Zanara memutar maniknya tanpa canggung. Ia tak peduli meski Jayme melihat reaksinya yang menampilkan rasa tidak suka terhadap pria itu. Wanita itu sudah mengatakan berulang kali bahwa ia tak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapa pun, tetapi pria itu tetap saja mengejarnya.

Zanara menurunkan Marion. "Naiklah bersama Melika, oke? Mama ingin bicara dengan paman Jayme."

Zanara tak dapat menahan diri saat Marion sudah tampak menjauh. Ia menarik lengan Jayme menjauh dari gedung apartemen dan mendekat ke mobilnya, agar setelah ia menyemburkan lava amarah, pria itu bisa langsung angkat kaki dari hadapannya.

"Kau bawa ke mana putriku?" tanya wanita itu, ketus. Ia tak peduli meski beberapa orang menoleh padanya, ingin tahu apa yang tengah ia ributkan.

"Zee, pelankan suaramu, Marion bisa saja mendengar."

"Aku tidak peduli, Dokter Demir! Bukankah sudah kukatakan berulang kali kalau aku tidak suka kau terlalu dekat dengan putriku?! Tidakkah kau tahu, aku mencarinya sampai nyaris gila, dan kau seenaknya membawa putriku tanpa izin dariku!" cecarnya. Jayme yang sesungguhnya merasa bersalah hanya diam. Ia tak ingin menyanggah, karena apa yang dilakukannya memang tidak bisa dibenarkan.

"Maafkan aku. Tadi aku sempat mampir ke toko, tetapi tokomu tutup, jadi aku datang ke sini karena ...." Jayme tak melanjutkan kalimatnya. Ia tak yakin jika apa yang akan ia katakan penting bagi wanita bermanik cantik di hadapannya.

Namun, Zanara yang sejak tadi sudah didera amarah, tak ingin membiarkan pria itu menggantung kalimatnya. Ia harus bertanggung jawab dengan menuntaskan apa yang telah ia ucapkan.

"Karena apa? Aku sudah muak mendengarkan alasan klise darimu, Dokter Demir."

Jayme menghela napas, disergap rasa bersalah. "Maafkan aku, aku hanya rindu. Dan ketika tiba di sini hanya ada Melika dan Marion. Aku berniat mencarimu, tetapi Marion memintaku untuk membelikannya es krim dan berkeliling sebentar."

Napas Zanara yang masih setengah-setengah, terdengar makin tersengal. Andai saja bisa, mungkin sudah ia tumpahkan kemarahan membabi buta pada pria ini. Namun, bukan tak sanggup, ia hanya tak ingin bersikap berlebihan. Ia memang marah akan sikap Jayme, tetapi tak ingin terlibat terlalu jauh secara emosional dengan pria itu.

Jika cinta saja ia hindari, maka kemarahan pun seharusnya bisa ia jinakkan.

"Setidaknya kau bisa menghubungiku, kan?" Kali ini Zanara menurunkan intonasinya. Ia tetap tak ingin menatap mata pria yang kini gelisah disergap rasa bersalah. Ia tak ingin kekesalannya melunak dan berubah menjadi iba.

Biar saja pria ini menerima hukuman batin atas apa yang telah ia lakukan, nyaris saja Zanara terkena serangan jantung akibat perbuatannya.

"Bagaimana aku bisa bicara denganmu, jika teleponku selalu dijawab oleh pesan suara?"

Mendengar kalimat itu, Zanara menegakkan tubuhnya. Apakah ia telah salah memblokir nomor? Atau saking tergesanya, ia tak perhatikan nomor siapa saja yang ia hapus atau saring, karena hingga kini nomor Jayme di ponselnya hanyalah nomor tanpa nama.

Sama seperti posisi Jayme dalam hidupnya, yang tak pernah memiliki tempat dalam hidup dan hati Zanara hingga kini. Namun, untuk mengakui bahwa itu mungkin merupakan kesalahannya, Zanara sungguh tak ingin, dan tak akan pernah. Mau ditaruh di mana mukanya jika ia mengakui kesalahan di hadapan Jayme?

Mungkin pria itu akan besar kepala dan merasa dengan Zanara mengakui kesalahan, maka ada kesempatan baginya untuk makin mendekat. Dinding hatinya harus tetap tinggi dan kokoh, agar tak ada yang bisa melewati atau meruntuhkan meski mencoba berkali pun. Zanara pada akhirnya hanya menghela napas kesal. Kemudian ia berbalik, berniat melangkah meninggalkan Jayme yang masih mematung di tempat, sama sekali tak halangi kepergian wanita itu.

Tangan pria itu masih membawa bungkusan berisi kue dan boneka yang ia beli untuk Marion, belum sempat ia berikan pada gadis kecil itu. Zanara pasti tak akan mau menerima pemberian darinya meski itu untuk Marion.

Belum benar-benar meninggalkan Jayme, seseorang—yang berdiri tak jauh dari tempat di mana Jayme berada—memanggil nama wanita itu.

"Zanara ...."

Zanara hentikan langkahnya. Tanpa perlu berbalik, ia tahu siapa yang kini tengah berdiri di balik punggungnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel