Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Lost

Zanara membulatkan maniknya saat mendengar salam sapaan yang diucapkan oleh pria di seberang sana. Ia segera mengakhiri panggilan dan memeriksa ponselnya dan memblokir semua nomor tanpa nama secara liar. Semua nomor baru yang terus menghubunginya sudah diblokir oleh Jayme. Bagaimana mungkin?

Ia kemudian berlari ke arah kamar Marion, didera ketakutan kalau-kalau gadis kecilnya itu merasakan kehadiran ayahnya. Tidak! Zanara tak akan membiarkan Mark datang dan menemukannya. Ia tak akan membiarkan pria itu mengusik ketenangan hidupnya bersama Marion.

Mereka berdua sudah cukup bahagia meski hanya menikmati segalanya berdua tanpa sosok lelaki yang mendampingi, tanpa sosok ayah untuk putrinya, mereka tetap bahagia. Kehadiran Jayme, meski mungkin menyebalkan bagi Zanara, tetapi setidaknya tidak bagi Marion. Dan meski zanara tak menyukai kunjungan dari pria itu, tetapi ia tak menampik kenyataan bahwa kehadiran lelaki di kehidupan mereka menerbitkan rasa aman.

Zanara mendekat pada putrinya yang masih lelap, mendekapnya seolah ia akan kehilangan Marion jika melepaskan pelukannya. Ia mengecupi pipi dan kepala putri kecilnya itu.

Dan pagi harinya, Zanara memutuskan untuk menutup tokonya sementara. Ia tak ingin meninggalkan Marion di rumah, tetapi juga tak mungkin membawanya bekerja. Banyak hal yang menjadikan dilema itu makin menjadi. Jika ia meninggalkan Marion, bagaimana kalauMark lantas datang dan mengambil Marion darinya? Namun, hal lain yang membuatnya bingung adalah Jayme yang akan terus menjadikan Marion sebagai alasan dirinya untuk datang menemui Zanara di toko. Melika bahkan merasa bingung saat melihat Zanara masih berada di rumah.

"Nyonya Miller, apakah kau tidak jadi pergi bekerja?" tanya gadis itu pada Zanara yang kini tengah duduk di sofa sambil mengurut kening. Wanita itu menggeleng.

"Tidak, Melika. Kepalaku tiba-tiba pening sejak semalam."

"Uhm ... lalu apakah aku perlu kembali pulang saja atau—"

"Tidak, tidak. Aku tetap membutuhkan bantuanmu di sini. Mungkin nanti aku harus berbelanja, dan aku ingin kau ikut denganku. Sekarang kau bisa membantu untuk menjaga Marion sebentar. Aku akan beristirahat di kamarku. Thanks, Melika."

Zanara kemudian masuk ke kamarnya, tetapi ia tak bisa terpejam. Ia bangkit kembali, kemudian mengambil sweaternya dan mengenakannya asal. Setelah berpamitan pada Melika dan Marion, ia pergi sebentar untuk memeriksa kondisi toko. Ia harus memasang pemberitahuan bahwa tokonya sedang libur hari ini.

Namun, baru saja memarkir mobilnya di sisi jalan yang tak jauh dari toko, Zanara melihat sosok yang sangat ia kenali, bahkan yang selalu ia rindukan meski seringkali ia tepis. Zanara tak ingin berharap banyak dari apa yang ia terima hingga hari ini. Bisa menjalani hidup yang tenang bersama Marion adalah berkat yang luar biasa baginya.

Dan kini, setelah segalanya berjalan baik-baik saja, mengapa pria itu harus kembali lagi? Zanara membuang wajah ke arah lain, saat pria itu sepertinya menyadari kehadiran orang lain yang mengawasinya dari kejauhan. Ia tak ingin Mark menemukannya di sini, di Turki, atau di belahan dunia mana pun. Ia ingin pria itu mengetahui dan menganggap dirinya dan Marion sudah mati.

Bukankah memang ia sudah mati? Zanara yang lama sudah mati. Tak ada lagi Zanara yang begitu mencintai Mark yang posesif dan bahkan rela menyerahkan segalanya untuk pria itu. Zanara yang saat ini berada di mobil, mengawasi dan memastikan Mark tak akan menemuinya dan Marion adalah Zanara dengan versi lain, yang tak akan pernah bisa ia miliki bahkan sekedar menemuinya. Tak akan pernah.

***

Zanara membuka pintu tergesa. Mencari Melika dan Marion yang tak tampak keberadaannya di apartemen mereka. Panik dan cemas, itu yang sekarang tergambar di benak Zanara. Ia harus membawa Marion pergi dari apartemennya, setidaknya menjauh dari Bursa untuk beberapa lama. Ia harus memastikan putrinya tak akan pernah bertemu dengan Mark sama sekali.

"Marion!!!"

Zanara berkali-kali memanggil putrinya itu, tetapi tak ada sahutan dari mana pun. Ia menilik balkon, kamar, bahkan di dapur, tempat favorit Marion. Namun, tak menemukannya di sana. Tubuhnya sudah bergetar hebat. Bagaimana jika Mark berhasil menemukan keberadaan mereka? Bagaimana jika ia tiba lebih dulu di sini lalu membawa Marion pergi? Berbagai kemelut tengah menyergapnya saat ini.

"Melika!!! Marion!!!"

Masih juga tak ada tanda kehadiran mereka. Jika mereka bermain di taman, mengapa Zanara tak melihat siapa pun saat melewati tempat itu tadi? Memang, Marion biasa mengajaknya bermain di taman yang lokasinya tak jauh dari gedung apartemen mereka, tetapi Zanara tak menemukan anak-anak bermain di sana kecuali hanya beberapa petugas taman yang tengah melakukan perawatan.

"Di mana kalian?" Zanara mulai tak mampu menahan air matanya yang mulai meleleh. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi nomor salah seorang pengelola apartemen yang tinggalnya beberapa lantai di bawah. Tak lama menunggu, suara wanita paruh baya menyapanya di seberang.

"Halo, sayang. Apakah ada yang bisa kubantu?"

"Nyonya Yilmas, apakah Melika dan Marion ada di tempatmu?" tanya Zanara, berusaha mengendalikan napasnya agar wanita yang bicara dengannya tidak ikut panik, andaikan ternyata Marion tidak berada di sana.

"Tidak, sayang. Kupikir ia ikut denganmu ke toko. Apakah kau tidak bekerja?" tanya wanita itu. Namun, pertanyaan Emine Yilmas seolah tak terdengar lagi, karena pikiran Zanara yang berkelana dengan liarnya.

"Zanara? Apakah kau masih di sana? Apakah ada masalah?"

"Nyonya Yilmas, jika Marion datang ke sana, kumohon jaga mereka. Aku akan ceritakan nanti. Terima kasih sebelumnya." Zanara segera mengakhiri panggilan, kemudian kembali mencari putri dan pengasuhnya. Kali ini, ia menuju gerai es krim yang berada di ujung jalan, salah satu tempat yang juga disukai Marion. Dan nihil.

Zanara menepikan mobilnya. Tangannya sudah bergetar hebat dan tak mampu ia kendalikan. Terlebih air matanya yang kini mulai mengalir deras di sudut matanya. Hal semacam ini tak pernah terjadi sebelumnya, karena Melika pun selalu mengabari setiap kali mengajak Marion bepergian.

Kali ini, nomor Melika tak bisa dihubungi dan sama sekali tak ada kabar dari gadis itu. Wajar saja jika Zanara panik bukan kepalang. Terlebih setelah apa yang disampaikan oleh Shienna, lalu telepon dari Mark yang mendukung kekhawatirannya yang kini bagaikan bola salju.

Sebuah panggilan mengejutkan Zanara yang tak sadar tepekur sendiri. Panggilan rutin dari Shienna yang mungkin datang di saat yang kurang tepat. Namun, pada akhirnya ia menerimanya juga, karena kini Zanara membutuhkan seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya.

"Shie ... apakah kau meberitahukan nomorku pada pria itu!?" serang Zanara tiba-tiba, saat Shienna baru saja hendak menyapa dengan salam terhangat.

"Whoa ... easy, girl! Aku tak pernah memberikan informasi apa pun padanya, sumpah! Memangnya kenapa? Apakah ada masalah?"

Zanara tak segera menjawab pertanyaan Shienna. Ia menyugar rambutnya dengan kasar. "Pria itu ... kemarin ia menghubungiku. Dan hari ini entah siapa yang memberikan informasi, ia ada di sini, Shie. Ia datang ke toko dan mengetuk berkali-kali. Aku melihatnya sendiri."

"Oke, pelan-pelan. Aku sedang berusaha menyimak. Lalu, apa yang membuatmu sepanik ini? Aku bisa tahu dari mendengar suaramu—apakah semua baik-baik saja?"

Isak Zanara mulai terdengar. "Tidak. Ini buruk, Shie, sungguh. Marion tak ada di mana pun dan aku sangat cemas. Bagaimana jika ia ... Shie, katakan, apa yang harus kulakukan?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel