Pustaka
Bahasa Indonesia

Dokter Cinta Pemikat Hati

148.0K · Tamat
Kennie Re
131
Bab
315
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah mengetahui rahasia kelam suaminya, lalu melarikan diri, Zanara bertemu dengan Jayme, seorang pria yang mencintainya sepenuh hati. Namun, masa lalu yang kelam dan pengkhianatan membuat Zanara membangun dinding tinggi dan tidak memberi kesempatan pada pria itu. Makin lama, ia justru terjebak dalam kisah cinta rumit. Terlebih ketika satu per satu orang dari masa lalunya kembali hadir dan mengusik ketenangannya. Hal itu tak hanya mempertaruhkan kehidupannya, melainkan juga kehidupan putri semata wayangnya. Hingga dirinya dihadapkan pada sebuah masalah yang mengharuskannya untuk memilih, tetap sendiri tetapi harus kehilangan Marion, atau menerima salah seorang dari beberapa pria yang menjanjikannya kebahagiaan agar ia bisa mempertahankan putrinya. Akankah Zanara mampu melalui segalanya dan meraih kebahagiaannya? Siapakah yang nanti beruntung mendapatkan tempat di hatinya juga Marion?

DokterPengkhianatanRomansaSweetAnak KecilKeluargaLove after MarriageDewasa

1. Start Over

Bursa, Turki

"Selamat datang. Mau pesan kue ap—?" Kalimat Zanara terhenti seketika, kala melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Pria itu mengulas senyum paling memesona yang ia miliki, kemudian mengulurkan selembar uang pada Zanara yang berdiri di meja kasir.

"Apa maumu?" desisnya, tajam. Tatapan matanya memancarkan rasa kesal yang membuncah.

Pria itu seperti kurang kerjaan karena datang hampir setiap hari di jam makan siang dan memesan seporsi shortcake dan tiramissu untuk ia nikmati bersama Marion. Dan kesalahan terbesar Zanara adalah membawa Marion bekerja lagi hari ini.

"Tenang, Zee ... aku hanya ingin bertemu Marion, kamu tidak perlu marah seperti itu. Strawberry shortcake untuk teman kencanku, dan tiramisu untukku. Terima kasih."

Zanara meraih uang di tangan Jayme dengan kesal. "Jangan lupa kalau Marion adalah putriku, Dokter Demir."

"Ah, kamu tega sekali padaku. Bahkan sampai sekarang kamu masih memanggilku seformal itu." Jayme menghela napas keras. "Aku tak tahu harus bagaimana lagi meluluhkan hatimu."

"Jangan melantur. Customerku akan enggan membeli kue di tokoku kalau kamu terus saja datang seperti orang sakit jiwa. Makanlah, kemudian pergi dari sini."

Zanara menyodorkan nampan berisi dua pieces kue ke hadapan Jayme, lalu hendak berbalik, tetapi tangan Jayme mencekal lengan Zanara.

"Kamu ... tidak ingin ikut makan denganku? Apa kamu sudah makan? Kamu harus menjaga kesehatanmu demi Marion, jika tidak—"

"PAPA ...."

Jayme langsung menoleh seketika saat mendengar panggilan Marion yang layaknya alarm bagi Jayme. Ia sungguh menyukai gadis kecil itu, selain menyukai ibunya yang ketus. Anggap saja Marion adalah penghiburan baginya, setelah mendapatkan kalimat-kalimat pedas dari Zanara.

Jayme berjongkok demi menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil yang mengenakan rok tutu dengan rambut kemerahan yang diikat seluruhnya ke atas. Ada pita kecil menghias di sana, ia memang sangat cantik seperti ibunya.

"Hai ... ini dia gadis kesayanganku. Bagaimana kabarmu? Apakah kamu dan mamamu sudah makan siang? Bagaimana kalau kamu ajak mama makan bersama?" Jayme mendekat ke telinga Marion sembari menyipitkan mata, kemudian berbisik. "Mamamu tidak mau kuajak makan siang."

"Jangan mempengaruhi anakku dengan bualanmu, Dokter Demir!" ketus Zanara, sembari sibuk menata kue di etalase.

Siang ini toko sedang sepi, kue dagangannya juga hampir habis. Mungkin sore hari ia sudah bisa menutup tokonya dan pulang ke apartemen mereka.

Jayme bangkit, kemudian berdiri di depan meja kasir, menghadap Zanara dan menatap manik hazel cantik milik wanita itu."Makan sianglah bersamaku. Aku tahu kau pasti akan meluangkan waktu untuk hal itu, maksudku makan dan beristirahat. Namun, aku hanya ingin memastikan kalian sudah melakukannya. Kumohon."

Zanara tak menjawab, melainkan semakin menenggelamkan diri pada kesibukan yang sengaja dibuat-buat karena ia gugup akan kedatangan Jayme ke tokonya. Bukan karena ia menyukai pria itu, melainkan sekian lama ia menutup diri dan hidupnya dari lelaki, tetapi pria satu ini terus saja menempel padanya seperti permen karet bekas.

"Jangan memaksa, Dokter Demir. Aku dan Marion baik-baik saja."

Jayme mendesah, ia berjalan keluar dari toko, kemudian menekan nomor di ponselnya. Tak berselang lama, sebuah motor dengan kotak besar bertuliskan 'PizzaPaw' berhenti di hadapan Jayme yang masih berdiri di tempat semula. Ia menerima dua kotak pizza dan membawanya masuk, menyodorkan ke hadapan Zanara yang masih tak habis pikir dengan pria satu itu.

"Kamu tidak ingin makan di luar, berarti mau jika makan di sini, kan? Ayo temani aku dan Marion makan. Kita makan bersama."

Sungguh, Zanara ingin sekali menolak, tetapi akan percuma melakukan itu jika sudah berurusan dengan pria ini. Pria keras kepala yang tak berhenti mendekatinya selama dua setengah tahun ini, sampai-sampai Marion mengira dia sebagai ayahnya.

Namun, tak rugi juga bagi Zanara, karena Jayme nyatanya sangat menyayangi Marion seperti putrinya sendiri.

Buktinya, kini dirinya menikmati makanannya sembari memangku Marion dan menyuapkan sepotong pizza, sementara gadis kecil itu menata rambut bonekanya.

"Marion, kamu bisa makan sendiri, kan? Duduk di tempatmu dan makan dengan benar, oke? Biarkan papa—maksudku biarkan Paman Jayme makan dengan tenang," tegur Zanara, kemudian ikut duduk di hadapan Marion dan Jayme yang kini tengah mengulas senyum. Mendengar Zanara yang meski hanya kelepasan menyebutnya papa, sudah membuatnya seolah terbang ke langit ketujuh.

Ia sangat norak dan memalukan sekarang. Namun, tak masalah. Hal itu membuatnya bisa menikmati makan siang dan menghabiskan beberapa potong pizza di hadapannya. Sesungguhnya ia tak seberapa menyukai pizza, ia lebih baik hanya makan kebab, atau ayam saus mentega buatan Zanara. Namun, Zanara dan Marion menyukai pizza.

"Makanlah yang banyak," ucap Jayme, sembari mengusap lembut pucuk kepala Marion.

Ia kemudian bangkit, mengembuskan napas, lega karena akhirnya Zanara—meski dengan setengah hati—bersedia duduk dan makan bersamanya."Baiklah, Marion. Papa pergi bekerja dulu, kamu baik-baiklah di sini bersama Mama. Jika ada yang kamu butuhkan, kamu tahu harus menghubungi ke mana, kan?" bisik Jayme pada gadis kecil itu. Marion mengangguk, kemudian tersenyum menampakkan giginya yang rapi.

Jayme kemudian mengalihkan perhatiannya pada Zanara yang masih menyantap pizzanya. Ia tak ingin mengganggu wanita itu, tetapi rasanya tak lega jika ia pergi begitu saja.

Meski pada akhirnya, salam pamit yang ia ucapkan hanya akan dijawab ketus atau dingin, tetapi ia sudah terbiasa dengan itu. Seperti itulah Zanara yang ia kenal, dan ia tak mengapa akan hal itu.

"Zee ... aku pamit dulu. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan, dan kuharap kamu tidak segan untuk menghubungiku jika kamu atau Marion membutuhkan sesuatu. Terima kasih untuk kuenya."

Jayme tersenyum, tanpa menunggu respons dari Zanara, ia kemudian menenteng tas kerjanya dan memutar tubuh meninggalkan toko kue milik wanita itu. Untuk hari ini tugasnya selesai, tetapi masih ada hari esok dan seterusnya yang harus ia hadapi. Mungkin akan sama dengan hari ini, tak mendapat angin segar, hanya sikap ketus dan tak bersahabat dari wanita itu. Namun, ia tak masalah akan hal itu. Ia menyukai Zanara seperti apa pun dirinya.

Meski kehidupan Jayme sangat rumit, bahkan terlalu rumit—karena bagaimana pun ia adalah lelaki yang juga membutuhkan tempat pelampiasan, tetapi hanya sebatas itu. Ia tetap tak bisa menampik bahwa dirinya tak bisa mengusir bayang-bayang Zanara sejak pertama kali bertemu dengannya.

Ponsel Zanara berdering keras, saat Jayme hendak melangkah keluar. Pria itu urung pergi, berbalik dan langsung berdiri di belakang Zanara. Meski wanita itu tak pernah menceritakan padanya mengenai teror nomor tak dikenal itu, tetapi Jayme mengetahui semuanya. Ia berasumsi itu adalah perbuatan siapa pun dari masa lalu Zanara.

"Nomor yang sama?" tanya pria itu, yang membuat Zanara nyaris menjatuhkan benda pipih di tangannya. Wanita itu menoleh pada Jayme yang ternyata sejak tadi sudah berada di balik punggung Zanara.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" balas wanita itu, penasaran. Karena ia tak pernah sekali pun memberikan informasi apa pun mengenai masalah pribadinya pada Jayme.

"Berikan ponselmu."

"A-apa yang akan kamu lakukan?" Zanara berusaha merebut kembali ponselnya, tetapi usahanya sia-sia dan justru membuat dirinya kini berada sangat dekat dengan pria itu.

Keduanya bertatapan dan seolah waktu terhenti di detik itu. Baik Jayme maupun Zanara tak sadari itu, keduanya hanya mematung hingga Zanara teringat akan benda miliknya yang masih ada di tangan Jayme.

"Ponselku ...." Zanara mengulurkan tangan sembari memunduk, pada akhirnya. Namun, tidak dengan Jayme.

Pria itu masih mengunci tatapannya di satu objek. Hanya pada Zanara. Dan tak lama kemudian, ia serahkan benda yang sejak tadi diminta wanita itu.

"Zee ...," panggilnya, tanpa mengalihkan pandangan. Wanita itu menjawab singkat. "Ada sesuatu di wajahmu."