Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Tak Akan Pernah Pergi

Jayme masih mematung sesaat, memandangi wanita cantik yang wajahnya mulai memucat. Mungkin Zanara terlalu lelah seharian ini menghadapi konflik yang mendera, yang salah satunya disebabkan olehnya, tentu saja. Ia merasa bersalah, itu pasti. Namun, untuk membuat Zanara kembali tenang, pastilah bukan hal yang mudah. Dalam keadaan baik-baik saja pun ia akan bersikap ketus, terlebih kali ini.

"Zee, aku tahu kamu tak akan pernah menganggap ini penting, tapi setidaknya izinkan aku mengatakan semua, hanya agar hidupku tenang," ucap Jayme, kemudian, setelah lama tepekur dan hanya memandangi Zanara serta menghibur penglihatannya dengan cara mengagumi sosok indah itu.

Hanya mencuri pandang sesekali saja, karena jika Zanara tahu kalau Jayme memerhatikan sedetail itu, wanita itu pasti akan kesal dan itu jelas akan merusak suasana hatinya yang sudah memburuk.

"Terserah kamu saja, tapi cepatlah ... aku tak ingin Marion mengetahui kehadiranmu."

Mendengar kalimat itu, Jayme tentu saja merasa kecewa. Namun, itu lebih baik ketimbang diusir begitu saja tanpa diberi kesempatan mengungkapkan perasaannya, bukan? Anggap saja ini bentuk kebaikan lain yang diberikan oleh wanita itu.

"Baiklah. Uhm ... aku ...."

Sial!

Sungguh Jayme tak pernah begini gugup menghadapi wanita. Tentu saja, bahkan ia bisa dengan mudah mengajak wanita manapun naik ke atas ranjangnya hanya dengan kedipan mata elangnya itu. Namun, dengan wanita satu ini, ia seperti kehilangan segala kesaktian, layaknya dikebiri. Wanita satu ini ... berbeda dari wanita kebanyakan.

Sementara Jayme tengah berperang dengan kegugupan yang menyergap hatinya, Zanara tampak tak sabar. Hal itu terlihat dari beberapa kali ia mengembuskan napas. Hal itu justru membuat Jayme makin tak karuan.

"Oke, aku hanya ingin katakan ... uhm ... ah, sial! Zee, maukah kamu menunggu sebentar saja? Uhm, hanya lima menit, aku janji akan segera kembali." Jayme berusaha berkompromi dengan Zanara, karena nyatanya ia sudah tak mampu lagi tawar-menawar dengan hatinya yang kini mungkin tengah merasakan ketertarikan luar biasa akan pokok pembahasan yang ingin ia bicarakan dengan wanita cantik itu.

"Dokter Demir, apakah kamu sedang mengerjaiku?" tanya Zanara, tampak geram.

Melihat gurat kekesalan di wajah Zanara, Jayme dengan sigap mengibaskan kedua tangannya. "T-tidak, Zee ... sungguh, a-aku hanya butuh waktu sebentar, oke? Kalau begitu tiga menit saja. Bagaimana?" Zanara sudah mengulas ekspresi lain, seolah tak mau mendengar apa pun jika Jayme hanya berniat mengulur waktu.

Ah, sialan!

Jayme tak henti mengumpat dalam hati. Ia tak pernah tampak begitu bodoh di hadapan wanita.

"Baiklah ... terserah bagaimana nanti pandanganmu tentangku, aku katakan saat ini saja ...." Jayme membenarkan pijakan kakinya agar ia tidak limbung, karena kondisinya saat ini terlalu mengkhawatirkan. Entah apakah ia akan tetap bisa berdiri tegak setelah mengatakan segalanya. Kakinya saja sekarang rasanya seolah tak bertulang.

"Meski sekuat apa pun kamu menjauh, meski kamu memintaku untuk pergi, mengusirku, menjauhkan diri ... aku tak akan pernah pergi. Dan sejauh apa pun kamu melarikan diri dariku, aku akan terus mengejarmu. Karena aku ...." Kalimatnya kembali terhenti.

Ia sadar bagian inilah yang tersulit. Bukan karena ia tak mampu mengucapkan, melainkan karena Zanara sudah pernah menolaknya ketika ia katakan bahwa ia jatuh cinta pada sosok indah itu.

"Aku mulai terbiasa seperti ini. Aku sudah katakan, cinta itu ... meski kamu tak percaya, itulah nyatanya yang kurasakan terhadapmu, Zee."

Kini Zanara yang mematung dan tak tahu harus berkata apa. Ini bukan hal baru baginya. Sudah beberapa kali ia mendengar kata cinta sari beberapa pria, lagi pula, Jayme sudah mengatakan berulang kali. Namun, bedanya ... mungkin Jayme kurang beruntung karena momen spesial baginya ini justru terjadi di saat tak tepat, pada orang yang tidak tepat.

Andaikan Jayme mengatakannini semua sebelum dirinya bertemu Mark, mungkin Zanara akan memberi respon terbaik yang seharusnya diterima pria itu. Satu lagi hal aneh dari Jayme. Meski ia telah melakukannya berulang kali, tetap saja setiap kali ia mengatakan perasaannya pada Zanara, pria itu akan gugup.

Apakah ia mengira Zanara tidak merasakan kegugupan yang sama? Wanita itu juga tak jauh berbeda. Hanya saja, ia tak merasakan perasaan cinta itu. Tidak lagi. Setidaknya, tidak semudah sebelumnya, karena baginya, Jayme sama seperti pria lain yang datang dalam hidupnya hanya selingan yang suatu saat akan berganti. Seperti musim yang datang dan berlalu.

"Kumohon, jangan samakan aku dengan pria-pria yang pernah datang dan pergi dalam hidupmu, Zee. Mereka yang kemudian menyakitimu, hingga kamu tak lagi bisa merasakan cinta ... aku tidak seperti mereka. Aku akan terus buktikan padamu, bahwa saat yang lain pergi, aku akan bertahan di sisimu."

Oke. Ini sudah terlalu jauh. Bukan lagi seperti apa yang dibayangkan oleh Zanara. Pria ini ... ia mulai memaksa, mulai menegaskan bahwa ia bersikeras untuk bertahan. Lantas, apa lagi yang harus dikatakan oleh Zanara selain diam dan menerima?

"Apakah sudah selesai?" tanya wanita itu, tak juga merubah ekspresinya sejak tadi. Membuat berbagai tanya bermunculan di benak Jayme. Apakah wanita ini benar-benar tak memiliki hati? Ataukah ia hanya berusaha menekan segala rasa demi melindungi hatinya dari rasa sakit yang pernah hadir karena pengkhianatan?

"S-sudah. Tapi ... bolehkah aku tinggal sebentar saja?"

"Kamu sudah mulai kelewat batas, Dokter Demir. Aku sudah memberi waktu untukmu, dan sekarang kamu meminta hal lain."

"Aku hanya rindu pada kalian. Aku ingin bertemu Marion." '... dan kau,' batin Jayme.

"Marion harus beristirahat. Kalian sudah menghabiskan waktu bersama seharian ini, bukan? Kamu bahkan menguras habis perasaanku dengan membawa Marion tanpa izin. Hari ini cukup. Kumohon, pulanglah, Dokter Demir."

Zanara tampaknya sudah memperjelas apa yang ia inginkan. Ia tak pernah menghalangi Jayme bertemu Marion sebelumnya, tapi sekarang dengan terpaksa ia lakukan.

Ia sedang terlalu lelah hari ini, dan memikirkan kemungkinan datangnya masalah lain dengan keberadaan Jayme di sana, tentu saja membuatnya berpikir ulang untuk mengizinkan pria itu tinggal meski sebentar. Beruntungnya, Zanara berurusan dengan pria yang sedang tergila-gila dan bahkan mungkin terlalu mencintainya. Apa pun yang dilakukan Jayme adalah yang terbaik bagi wanita itu. Dan kini Zanara butuh waktu, maka itu yang akan Jayme berikan.

"Baiklah ... mungkin aku akan mampir lain waktu. Selamat beristirahat, sampaikan salam sayangku untuk Marion ...." '... dan untukmu, tentunya,' lanjut Jayme dalam batinnya, dan kemudian ia berbalik tanpa menunggu reaksi Zanara, karena wanita itu tak akan memberi tanggapan apa pun, seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Jika Jayme ingin pergi, maka pergi saja. Zanara tak akan memintanya tinggal, atau sekadar memanggilnya.

Namun, entah mengapa kali ini wanita itu justru menunjukkan sikap berbeda. Biasanya, ia akan langsung menutup pintu sesaat setelah Jayme pamit, bahkan sebelum pria itu sempat menyelesaikan kalimatnya. Kali ini, Zanara setidaknya bersedia menanti hingga pria itu berbalik. Satu hal lagi yang membuat Jayme menghentikan langkah, kala mendengar panggilan dari seseorang yang tentu saja suaranya tak asing di telinganya.

"Dokter Demir, tunggu!"

Andaikan ia tidak sedang berada di hadapan Zanara, mungkin saat ini juga ia akan melompat kegirangan. Wajar saja. Sikap ramah tak pernah ada dalam kamus seorang Zanara Miller. Bahkan selama hampir dua tahun ini, hanya sikap ketus dan dingin yang Zanara berikan pada Jayme setelah banyak hal yang dilakukan pria itu untuknya.

Hal paling berharga yang sesungguhnya diakui oleh Zanara di lubuk hati terdalamnya adalah kehadiran pria itu di setiap momen bahkan di saat tersulitnya. Zanara tidak meminta itu, karena baginya itu semua hanya akan membuatnya lemah. Namun sekali lagi, ia hanya manusia biasa. Tetap saja di dasar sanubarinya ingin berterima kasih. Namun, ia tak tahu dengan cara bagaimana dan kapan saat yang tepat.

Meski hanya satu kalimat tak akan pernah bisa membalas apa yang telah dilakukan pria itu, tetapi setidaknya Jayme tahu bahwa Zanara tak pernah mengabaikan kebaikannya.

Pria itu berbalik perlahan, antara tak yakin dengan apa yang baru saja ditangkap oleh gendang telinganya. Benarkah Zanara menghalangi langkah kepergiannya? Mengapa? Apakah ia ingin memberi jawaban atau sekadar tanggapan atas ungkapan hatinya beberapa menit lalu?

"Ya, Zee? Apakah ada lagi yang bisa kulakukan untukmu? Atau ... apakah ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" tanya pria itu, dengan harap cemas yang menyergap kalbu. Menanti wanita pujaan hatinya menyampaikan hal yang mungkin akan membuatnya tidur nyenyak malam ini.

Ia masih menunggu, hingga Zanara akhirnya buka suara, menyampaikan sesuatu yang tak pernah ia duga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel