8 : Pertemuan
Terhitung sudah tiga hari Kenan berada di kota Semarang. Setelah bertemu Nada di Simpang Lima, Kenan kembali ke tempat tersebut saat malam hari dan berharap wanita itu akan berada di sana. Namun, harapannya benar-benar sirna saat malam kedua ia kembali, dan tak ada tanda-tanda keberadaan wanita itu.
Viona telah berada di sebelah Kenan, tetapi rasanya hambar dan tidak sama seperti dulu lagi. Kenan mendesah frustasi, ia tak tahu apa yang terjadi padanya saat ini.
Kekasihnya sedang duduk di sofa sambil menonton serial India, tak mempedulikan Kenan yang terlihat tidak baik-baik saja.
“Aku ketemu Nada, Vi." Topik yang diangkat Kenan benar-benar membuat Viona terkejut, terlihat dari reaksi wanita itu.
“Terus dia di mana?” Viona menoleh ke arah Kenan, terlihat jelas bahwa kekasihnya penasaran informasi yang ia bawa.
“Aku nggak tahu, dia nggak mau ngasih tahu,” jawab Kenan. “Aku dan Nada nggak sengaja ketemu di Simpang Lima, setelah itu nggak ketemu lagi.”
Viona terlihat kecewa mendengar cerita yang keluar dari mulutnya. “Kamu punya kontaknya, nggak?”
Kenan mengangkat satu alis. Biasanya jika seorang pria peduli pada wanita lain, maka wanitanya akan sangat marah dan cemburu. Itulah sikap asli seorang wanita, tetapi Viona sama sekali tak memperlihatkan ekspresi tersebut. “Punya.”
“Bagus.” Viona mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu. “Hape kamu, aku mau nelepon dia.”
Dengan sangat ragu Kenan memberikan benda pipih itu pada Viona, “Dia nggak bakalan ngasih tahu. Percaya, deh.”
Viona berdecak tidak peduli, kemudian mengotak-atik ponsel Kenan. Kekasihnya menempelkan si kotak canggih itu di telinga, kemudian bersandar di sofa terlihat sangat rileks tanpa beban. Kenan ikut penasaran, apakah Viona akan berhasil membujuk wanita itu.
“Halo, Nada?” Viona kembali bersuara setelah hening beberapa saat. “Ini gue Viona.”
Kenan mendekatkan telinganya ke telinga Viona yang tertempel ponsel. Ia ikut larut dalam obrolan kedua wanita itu yang terdengar santai, seakan-akan mereka tak punya masalah. Sedikit pun Kenan tak merasa curiga, karena ia tahu seberapa dekat kedua wanita itu.
“Gue ke sana bareng Kenan.”
Hening. Kenan tak mendengarkan apapun dari seberang sana, begitu pula dengan Viona. Mereka berdua menunggu keputusan Nada, yang sepertinya masih sangat enggan untuk mengatakan tempat persembunyiannya.
***
Setelah Viona bergulat argumen dengan Nada, akhirnya Kenan merasa lega karena Nada mengalah dan membiarkan ia dan Viona mengunjungi rumah yang berada di perumahan jalan Pemuda.
Di depan rumah itu terdapat deretan pot bunga yang tertanam bermacam-macam tumbuhan. Kenan tahu wanita itu menyukai bunga, saat tinggal bersama di apartemen, Nada menjejerkan pot bunga di balkon apartemen mereka.
"Nada!" pekik Viona saat pintu rumah terbuka tanpa harus repot-repot untuk mengetuknya.
Kenan terdiam menatap Nada. Ia pikir hijab yang dikenakan wanita itu hanya khusus di luar rumah saja, tetapi ia salah, bahkan di rumah pun wanita itu menggunakan hijab yang menutupi sampai perutnya.
Nada menempelkan telunjuk di bibir mengisyaratkan pada Viona untuk tidak ribut. "Mari masuk." Ia mempersilahkan kedua tamunya.
Viona lebih dulu melangkah, tetapi bukan untuk masuk ke dalam rumah, melainkan memilih memeluk Nada. Kenan hanya bisa melihat apa yang ada di hadapannya, kedua wanita itu saling terluka, tetapi tetap saja hubungan darah masih sangat kental di antara keduanya, membuat rasa bersalah dan menyalahkan hadir.
"Mari masuk," ulang Nada setelah pelukan mereka berdua terlerai. "Ada Zara sama Abrar juga di sini."
Kenan mengernyit, kemudian masuk dengan langkah cepat. Ia melihat, Abrar sedang duduk di sofa panjang bersama Zara yang mendengkus saat melihat wajahnya. Itu sudah biasa menurut Kenan.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih lima belas menit, mereka berlima terlihat canggung dan tak ada yang mau membuka suara lebih dulu. Kenan ikut larut dalam kecanggungan tersebut, yang sudah pasti ini terjadi karena kedatangannya dengan Viona.
Nada duduk di single sofa yang berada di hadapannya dan Viona. "Ekhem." Wanita itu berdeham membuat semua pasang mata melihat ke arah Nada, "diminum, dong, minumannya," ucapnya berusaha memecahkan kecanggungan.
Kenan dan sepasang suami istri, menuruti dan meminum apa yang disuguhkan, tetapi tidak dengan Viona yang menatap intens ke arah Nada.
"Lo kapan balik ke Jakarta?"
"Biasa aja nanyanya," sinis Zara.
"Bun," bisik Abrar memperingatkan Zara. "Kamu udah janji." Wanita itu malah berdecak kesal.
"Urusan gue sama Nada, bukan lo." Viona tidak kalah sinis.
Dulu, semasa SMA yang Kenan lihat, hubungan Zara dan Viona terlihat baik-baik saja. Setelah pernikahannya dan Nada menjadi seperti ini, lambat-laun ia melihat hubungan kedua wanita itu menjadi berjarak dan tidak damai seperti dulu.
"Aku sudah bilang ke Ken." Nada memberikan jeda, "aku bakalan pulang kalau sudah mau sidang."
Viona meliriknya yang diam tanpa mau ikut larut dalam obrolan canggung tersebut. "Kalau gitu secepatnya," ucap wanita itu mantap.
"Iblis," desis Zara.
Nada menyentuh punggung tangan Zara, mengisyaratkan untuk tetap tenang. "Orang tua kamu apa kabar?" tanyanya pada Viona.
"Baik," ujar Viona, kemudian wajahnya terlihat muram. "Gue diusir dari rumah," akunya kepada Nada.
"Terlalu baik, sih," sarkas Zara.
"Ken." Nada beralih kepada Kenan, "orang tua kamu apa kabar?"
Ia tak percaya, wanita itu yang lebih dulu berbicara dibandingkan ia yang tenggelam dalam kecanggungan, "Baik," singkatnya.
Hening lagi. Sekuat tenaga Kenan menahan mulutnya untuk bertanya apa yang telah dilalui wanita itu sampai akhirnya mendapatkan tempat tinggal yang menurutnya sangat layak bagi seorang wanita yang berjuang sendirian di tanah orang.
"Lo lulus kuliah, kan, Nad?"
Pertanyaan Viona membuat Kenan berhenti untuk memperhatikan isi rumah tersebut.
Nada mengangguk, "Aku nganggur dua tahun, habis itu kuliah," jawabnya.
"Jurusan apa?" Kenan ikut bertanya mulutnya gatal jika hanya ia gunakan untuk diam.
"Kepo banget lo." Zara kembali sinis.
"Bisnis," jawab Nada, tangan menyentuh punggung tangan Zara. Hal yang selalu wanita itu lakukan saat mereka masih SMA, Kenan sering memperhatikan itu. Hanya dengan sentuhan Nada, Zara akan langsung diam ketika sudah tersulut emosi. Ia pikir kebiasaan itu sudah tak ada, ternayata Kenan salah, persahabatan mereka masih bertahan seperti saudara.
"Sampai strata dua?" Viona merasa obrolan ini sangat penting untuk dibahas.
"Nggak." Nada menggeleng, "aku sekarang kerja."
Kenan sedikit lega mendengarkan jawaban Nada, bayangan tentang wanita itu yang berada dalam kesulitan berangsur-angsur menghilang. "Lo yakin bisa datang ke Jakarta."
Nada mengangguk, "Iya."
Hening. Tidak ada yang membuka suara, selain bingung ingin mengangkat topik apa lagi, mereka juga sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentu saja dipikiran mereka adalah tentang perceraian Kenan dan Nada.
Suara helaan napas Zara sangat jelas terdengar, wanita itu bersandar mencoba untuk terlihat rileks dengan keadaan yang sedang melingkupi. "Kalau sudah selesai, lo berdua bisa pu-"
"Assalamualaikum."
Di tengah ucapan pengusiran Zara kepadanya dan Viona, suara anak remaja terdengar mengucapkan salam. Kenan menoleh melihat sosok itu yang mengenakan jersey tim basket, di tangan terdapat bundar oranye, senyum kikuk tergambar di bibir pemuda itu. mungkin dia tak tahu ada tamu di rumah ini.
"Eh, anak Mama sudah pulang," girang Zara.
"Mama kenapa baru datang?" Anak laki-laki yang masih berdiri di depan pintu, melayangkan tatapan kesal pada Zara.
Tunggu ... mama?
Kenan menoleh ke arah Zara dan lelaki itu secara bergantian, ia tak pernah tahu bahwa Zara dan Abrar memiliki anak remaja. Jika dihitung dari waktu pernikahan, maka ia mengasumsikan sahabatnya Nada mengandung sebelum menikah. Namun, tunggu ... remaja itu tak punya kemiripan dengan sepasang suami-istri itu.
"Maaf, ya." Zara mengulurkan tangannya mengisyaratkan anak laki-laki itu untuk mendekat ke arahnya. "Salahin papa kamu, nih. Sibuk mulu, jadi nggak ada yang jagain adik." Anak laki-laki itu salim pada Zara.
Papa?
Kenan melihat ke arah Abrar yang terlihat bingung untuk sesaat, di detik berikutnya wajah sahabatnya itu merubah ekspresi menjadi terkejut. Tatapan mereka saling beradu, ia tak mengerti mengapa Abrar menatap nyalang kepadanya.
"Dhan," panggil Nada lembut, meminta lelaki remaja berusia empat belas tahun itu untuk mendekat ke arahnya.
"Teman Bunda?"
Bunda?
Kenan terdiam, tubuhnya seketika mendingin ketika meneliti wajah lelaki itu. Ada tamparan tak kasat mata mendorongnya pada masa lalu, kemudian bayangan tentang kepuasan emosi yang ia lampiaskan kepada Nada di masa itu datang silih berganti. Tak pernah ia bayangkan, pelampiasan itu menjadi senyata ini.
Sesak, Kenan butuh pegangan, sesuatu yang tak pernah ada dalam bayangannya, tumbuh menjadi sosok pemuda yang tampan.
"Iya," jawab Nada, suara wanita itu mengembalikannya ke masa kini.
Nada terkesan kaku di mata Kenan, menghindari tatapannya, ada ketegangan tersirat di wajah, tetapi mencoba untuk menyembunyikan.
"Kenalin Dhan." Zara memecah kesunyian. "Ini Papa Abrar, suami Mama."
"Oh." Lelaki yang bernama Dhan itu membulatkan bibirnya, kemudian sungkem kepada Abrar. "Dhan Om-eh Papa," ujarnya canggung.
Zara tertawa kecil. Terlihat biasa saja di ruangan ini, tetapi menurut Kenan, wanita itu sedang tertawa penuh kemenangan.
"Dhan, ini Om Ken sama calon istrinya Tante Viona. Sepupu bunda kamu."
Kenan menahan napas ketika lelaki itu mendekatinya kemudian mengambil tangan untuk sungkem. Hangat kulit Dhan menyisahkan perih di relung hati, setelah sentuhan itu matanya bertemu dengan mata Nada yang masih menegang di tempat.
Banyak pertanyaan yang timbul, tetapi ia membutuhkan penjelasan daripada bertanya, karena lidahnya ini keluh untuk sekedar membuka mulut. Lagi pula Nada pasti sudah tahu apa yang ingin ia dengarkan dari wanita itu.
"Anak lo, Nad?" Pertanyaan Viona menjatuhkan Kenan bahwa ia tak akan bisa menjalani hidupnya seperti kemarin.
"Ya iyalah, Tan, masa anak tetangga," celetuk Dhan tanpa menyadari ketegangan yang menyelimuti ruang tamu rumahnya.
"Dhan mandi dulu, gih," perintah lembut Zara pada anak laki-laki itu.
Dhan meninggalkan ruang tamu, tegang masih berlangsung sekian menit bersama hening yang tercipta.
"Kita pulang sekarang, Bun. Kalau lama-lama di sini, aku nggak tahan mau mukul teman sendiri," dingin Abrar kemudian langsung berdiri. "Kami pulang dulu, Nad," pamitnya kepada tuan rumah.