Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7 : Menghubungi Nada

"Maaf, ya."

Wanita yang sedang berbicara dengan Kenan di telepon, terdengar sangat kesal karena ia membatalkan penerbanganya kembali ke Jakarta.

"Jahat tahu nggak."

"Aku masih malas masuk kantor," alasannya yang sudah pasti akan dipercayai oleh Viona.

Wanita itu tahu bahwa kenan tak sepenuh hati mengerjakan apa yang sekarang menjadi tanggung jawabnya. Hanya karena Viona-lah ia menjadikan hal itu sempurna, Kenan menerima apa yang telah ayahnya tanggung jawabkan dengan harapan beliau mau memberikan mereka restu, tetapi semuanya sia-sia jika Kenan tak bercerai dengan Nada.

"Aku nyusul, ya?" Kenan tersenyum mendengar permintaan itu.

"Iya." Kenan akui ia membutuhkan Viona sekarang, untuk memastikan apakah dirinya masih seperti yang ia kenal atau Kenan telah berubah dalam segi pemikiran dan juga tindakan hanya karena bertemu dengan Nada. "Tapi kalau kamu nggak sibuk."

Wanita itu tertawa kecil, "Aku punya waktu lusa, nggak apa, ya?"

"Iya nggak apa-apa." Kenan duduk di tepi ranjang. "Aku tunggu kamu di sini."

"Hm ... jangan lirik-lirik cewek, ya. Awas aja." Kenan tertawa geli, dan wanita itu terdengar menggerutu. "Aku serius, Yang."

"Iya-iya," balasnya cepat sebelum terdengar omelan panjang yang anehnya malah akan membuat Kenan tersenyum. "Hati aku masih buat kamu, kok."

"Gombal."

Kenan tertawa. Perlakuan sederhana Viona yang selalu membuatnya merasa hidup, ia tidak membutuhkan apapun di dunia ini selain wanita yang ia cintai. Namun, bukan berarti ia tidak butuh uang dan membiarkannya bergantung pada wanita itu. Kenan tak bisa membayangkan bagaimana risiko dan apa yang akan terjadi.

"Sayang, sudah, ya." Terdengar gumaman di seberang sana. "Aku mau tidur siang."

"Ih, mata mulu yang diurus."

"Puas-puasin, Yang. Kalau di Jakarta mana bisa aku tidur siang."

"Iya juga, sih."

"Udahan, ya."

Wanita itu hanya bergumam, kemudian sambungan diputuskan sepihak. Kenan menaruh ponselnya di atas kasur, menyusul tubuh untuk merasakan empuknya kasur yang disediakan di hotel ini.

Betapa Kenan tak nyaman dengan kesunyian ini. Ia menyelipkan kedua tangan di belakang kepala, meskipun sudah ada bantal yang memperlengkap tidur siangnya sekarang, tetapi rasanya itu kurang cukup, ia merasa lebih nyaman dengan menyanggah kepala memakai tangan.

Kenan bukanlah seseorang yang suka dengan kesunyian, jika berada di situasi seperti ini ia akan mencari hiburan yang mampu melempar jauh kata sunyi di dalam hidupnya, tetapi entah kenapa sekarang ia bertahan dan menyukai kesunyian ini, yang ia tahu pasti akan ada akhirnya.

Tangan mengambil ponsel, mencari kontak di sana. Seseorang yang tak sengaja bertemu dengannya kemarin malam. Hal ini Kenan lakukan hanya untuk menanyakan alamat rumah Nada, dan memastikan bahwa tempat wanita itu pantas atau tidak.

Jangan tanya kenapa tiba-tiba Kenan melakukan hal tersebut. Biar bagaimanapun ia adalah suami Nada, mereka masih sepasang suami istri meskipun telah lama berpisah. Lagi pula jika orang tuanya tahu bahwa ia mengetahui keberadaan Nada tanpa membantu wanita itu dalam soal finansial, maka habislah Kenan.

"Halo."

"Assalamualaikum, ini siapa?"

"Nad, ini gue. Kenan," jawabnya. "Kirim alamat lo, gue ke sana sekarang." Kenan orang yang tidak suka berbasa-basi jika sedang berbicara dengan Nada.

"Aku lagi nggak di rumah."

"Kalau gitu gue datang sore," balasnya cepat.

"Aku juga belum tentu bisa ada di rumah sore."

"Banyak alasan lo." Ia mendengkus. "Bilang aja nggak mau ngasih alamat rumah lo," tuduhnya yang sepertinya benar, karena tercipta jeda lumayan lama dalam percakapan itu.

"Maaf, Ken." Akhirnya wanita itu mengaku.

"Kirim sekarang, gue tunggu."

Setelah mengucapkan itu, Kenan mengakhiri obrolan secara sepihak. Ponselya kembali melekat di kasur, sedangkan ia kembali berlari dalam pikirannya sendiri.

***

Kembali seperti kemarin, tetapi kali ini Kenan hanya sendirian duduk di bangku trotoar menatap ke deretan penjual yang menunggu dan melayani pembeli.

Sosok itu tak Kenan temukan di sana. Sudah tiga jam ia menunggu dalam kebisuan, melihat ke sekeliling Lapangan Pancasila. Kenan melangkahkan kaki mencari wanita itu berharap dengan mengelilingi lapangan, ia menemukannya.

Kebanyakan pengunjung Simpang Lima adalah para muda-mudi dan juga keluarga kecil yang bahagia. Hanya ia yang berkeliling sendirian, seakan menikmati hidup, tetapi sebenarnya Kenan hanya sedang berusaha merasa nyaman di tempat ramai tanpa seseorang yang menemani.

Tangan Ia masukkan ke dalam saku celana. Jika Nada mengirimkan alamat rumah, maka sudah pasti Kenan tidak akan menuju ke sini berharap menemukan wanita itu di antara ratusan pengunjung dan puluhan penjual.

“Ah.” Kenan hampir terjungkal ke depan akibat dorongan seseorang dari belakang.

“Maaf, Om.”

Kenan berbalik melihat seorang anak laki-laki yang menjadi pelaku dari kejadian tadi, “Lain kali hati-hati.”

Luar biasa, Kenan berlagak layaknya seorang manusia. Biasanya Kenan akan langsung memaki dan menghajar siapa pun yang mengganggu saat ia dalam keadaan gusar.

“Iya Om.” Setelah mengucapkan itu, anak laki-laki tersebut berlalu kemudian menghampiri teman yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

Kenan kembali melanjutkan langkah, berharap kejadian tadi adalah pertanda baik. Namun, ternyata harapan itu sirna, hingga sampai pengunjung mulai berkurang, ia tak menemukan wanita itu.

Dengan tanpa hati Kenan menelepon Abrar di jam yang hampir menunjukkan pukul tengah malam untuk menjemputnya dan membawa kembali ke hotel. Abrar mengiyakan permintaannya, tetapi sebelum menuruti sahabatnya itu mengomel dan mengingatkan bahwa sekarang dia telah berkeluarga dan bukan sendirian seperti Kenan.

Kenan tak menggubris ucapan sahabatnya itu, tetapi lama-kelamaan ia merasa bersalah dan merasa bodoh. Ia memperlakukan Abrar sama seperti saat masih duduk di bangku SMP. Pikirannya tertutup dengan kesendirian yang menganggap semua masih tetap sama dan tak berubah.

“Gue pikir lo nggak bakal datang,” ucap Kenan saat melihat Abrar mendekatinya yang duduk di bangku trotoar.

“Gue masih punya hati kali.” Abrar duduk di sebelahnya. “Ke rumah dulu, deh, gue pinjamin mobil yang nganggur buat lo.”

Kenan berdecak, “Lo nggak mau gue repotin?”

“Bukan gitu, Bego,” semprot Abrar. “Gue punya keluarga dan gue nggak yakin lo bakal berhenti ngerepotin gue tengah malam besok,” omelnya.

“Iya maaf, deh, maaf.”

“Gue nggak boleh lama, istri gue pasti marah kalau tahu gue ninggalin dia cuma karena lo.” Dia masih tetap mengomel, “cepat.”

Abrar lebih dulu menjauh dari bangku tersebut, Kenan menyusul sahabatnya ke tempat di mana mobil terparkir.

“Tanyain ke Zara alamat rumah Nada,” ucap Kenan spontan, membuat dua kaki yang ia ikuti berhenti di trotoar.

“Buat apa?” Abrar menanyakan itu sambil melangkah kembali.

“Gue mau lihat rumahnya, layak atau nggak,” alasannya.

Abrar menghela napas, kemudian berbalik. Kenan hampir saja menabraknya. “Bukannya gue nggak mau bantu, Bro. Lo tahukan istri gue langsung naik pitam kalau berurusan sama lo.”

Kenan tahu hal itu, dan ia sama sekali tak mempermasalahkan sikap Zara padanya. Beginilah jadinya jika kalian menebarkan luka di masa muda. “Gue harus cari Nada. Kalau bokap sampe tahu gue sudah ketemu dia terus nggak bantu, bisa kacau hidup gue.”

Abrar kembali menghela napas, “Gue peduli sama lo, Ken, tapi gue bener-bener minta maaf nggak bisa bantu lo. Bisa-bisa Zara nyuruh gue tidur di luar.” Ia bergidik ngeri.

“Tidur di luar doang lo takut,” ejek Kenan

“Lo belum tahu rasanya nikah yang bener-bener nikah. Tidur di luar itu kayak kiamat buat suami.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel