Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6 : Ketidaksukaan

Ucapan Abrar terbukti benar. Setelah merapikan tempat jualan tersebut, Nada menghampiri mereka dan berdiri di sebelah Kenan membuat yang dihampiri ikut berdiri.

“Lo tinggal di mana? gue antar.” Sampai detik sekarang pun Nada adalah istrinya, itu berarti wanita yang ia cari selama ini, masih tanggung jawabnya.

“Nggak usah, aku bawa motor.” Nada mengucapkan itu sambil menggeleng. “Apa yang mau kamu omongin?”

Abrar memegang bahu Kenan, merasa tempat ini bukanlah suasana yang bagus untuk mengungkapkan isi hati setelah lama berpisah, “Cari tempat lain aja, ya.”

Nada menggeleng cepat, menolak permintaan pria itu, “Aku harus pulang.”

“Di sini saja,” sela Kenan menyetujui permintaan Nada. “Lo boleh menjauh, nggak?” usiran itu ditujukan pada Abrar.

“Gue tetap di sini.” Abrar kembali duduk. “Kalau mau ngomong, ya, ngomong aja.”

Kenan tahu, sahabatnya itu khawatir ia akan melakukan hal buruk kepada Nada. Abrar begitu mengenalnya, letupan kemaran hanya karena hal kecil sudah pernah terjadi di depan sahabatnya itu. waktu yang berjalan bersama membuat Kenan mengerti Abrar, begitu pun sebaliknya.

Kenan mendengkus, “Terserah lo.” Ia kembali beralih pada Nada. “Lo kapan balik ke Jakarta?"

Nada terdiam, wanita itu terlihat berpikir sebelum menjawab, “Aku banyak pekerjaan,” ucapnya.

“Besok balik bareng gue,” putus Kenan tak ingin ada bantahan.

“Aku sudah bilang nggak bisa,” bantah Nada suaranya mengecil karena tatapan Kenan yang semakin tajam.

“Gue nggak mau dengar penolakan.”

“Ken,” tegur Abrar, “ya iyalah, dia nggak mau balik, lo bakal gugat cerai dia,” sewot pria itu.

“Minta kontak aku sama Zara, sehari sebelum sidang telepon aku,” ucap Nada tanpa terdengar rasa sakit di setiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Zara tahu kamu ada di sini?” Abrar tak bisa menutupi keterkejutannya.

Nada mengangguk, “Jangan marahin dia. Aku yang minta buat tutup mulut.”

Kenan merasa dibodohi Zara. Bagaimana bisa wanita itu tutup mulut selama ini tanpa memberikan celah sedikit saja padanya. Ia menoleh kepada Abrar yang juga terlihat terkejut, sahabatnya itu mungkin tidak akan pernah tahu kebohongan Zara jika saja tak bertemu Nada malam ini.

Berhadapan dengan Zara membutuhkan nyali yang sangat besar. Kenan menatap wanita itu yang terlihat enggan memberikan nomor kontak Nada. Abrar membujuk sedari tadi, tetapi tidak diindahkan.

”Bun, Kenan udah dapat persetujuan dari Nada,” ucap Abrar untuk kesekian kalinya.

“Biarpun Nada mengizinkan aku tetap nggak bakalan ngasih,” balas Zara.

Tatapan tajam wanita itu kembali mengarah kepadanya, Kenan menghela napas kasar mencari pasokan udara untuk membuat tenang. Entah harus bagaimana lagi caranya untuk membujuk Zara, mantan teman sekolahnya itu tidak mengubah pendirian.

“Za, gue mohon,” pintanya.

“Buat apa?” balas Zara, tatapan masih menghunus, “lo nggak tahu gimana siksanya Nada setelah lo tinggalin. Sekarang lo datang minta bantuan ke gue, nggak bakalan gue turuti, Ken,” dengkus wanita itu penuh amarah.

“Oke, gue ngaku salah, tapi gue bener-bener butuh kontaknya biar masalah cepat selesai.”

“Cepat selesai gimana? Semua bakalan selesai kalau Nada rela lo ceraiin.”

“Nada udah rela,” sela Abrar, “aku sendiri yang denger.”

Kenan tak mengambil tindakan, ia membiarkan Abrar yang mengambil alih. Akan lebih baik ia diam tidak membela diri atau menceritakan apa yang dikatakan Nada kemarin.

“Dia nyuruh Kenan urus perceraian mereka, minta nomor kontaknya di kamu biar pas udah mau sidang dia bisa dikabari,” jelas Abrar.

“Serius?” Zara merendahkan nada bicaranya.

“Aku serius,” balas Abrar.

“Yang penting beneran cerai.” Zara kembali menatap Kenan, “awas aja lo berubah pikiran,” hardiknya.

“Gue janji nggak bakalan,” sela Kenan, “jadi, lo mau ngasih kontaknya, ‘kan?”

“Dengan senang hati,” sinis Zara yang langsung menggesek layar ponselnya.

“Makasih.” Kenan ikut membuka layar ponselnya siap menyalin kontak wanita itu.

“Nada sudah punya calon. Sama kayak lo, dia juga pernah mencoba,” cerita Zara.

Wanita itu mengeja nomor ponsel Nada, Kenan dengan setia menyalin tanpa memutuskan atau menyela ucapan Zara. Bukan apa-apa, lidahnya sudah gatal ingin bertanya soal calon suami Nada.

Jika minggu lalu Nada kembali ke Jakarta, bukankah itu berarti datang untuk mengenalkan calon suami?

“Orang Semarang?” tanya Kenan, setelah Zara mengucapkan angka terakhir dari nomor ponsel Nada.

“Iya, jadi bilang ke Viona, Nada nggak bakalan balik lagi ke Jakarta.” Wanita itu mematikan layar ponselnya, “selamat bersenang-senang,” sarkasnya.

“Gue tahu perbuatan gue ke lo selama ini nggak bisa dimaafkan, tapi gue tetap berharap lo bisa memaafkan semua itu.” Kenan berucap, ia menilik manik mata Zara.

“Sampai kapan pun, Ken, gue tetap benci sama lo.”

“Gue tahu alasannya, tapi itu hanya kenakalan masa muda,” sela Kenan.

“Terus, yang dialami Nada sekarang masih lo katakan kenakalan masa muda?”

“Bun,” tegur Abrar yang sedari tadi diam.

“Jangan ikut campur, ini urusan aku sama sahabatmu yang katanya baik tapi selama ini aku nggak pernah lihat baiknya dari mana,” sinis Zara kemudian berdiri.

“Lo bilang setelah Nada rela gue ceraiin, masalah akan selesai. Jadi, gue pun berharap lo maafin gue.” Kenan berucap sebelum Zara angkat kaki dari ruangan itu.

“Dengan senang hati,” balas Zara.

***

Ini aneh, saat menginjakkan kaki di bandara Kenan merasa tak ingin melangkah lebih jauh meninggalkan kota Semarang, seakan-akan raga tak berpihak padanya, seluruh organ tubuh tak ingin digerakkan, dan jiwanya tertinggal di kota ini.

Kenan melangkahkan kakinya keluar dari bandara, mengikuti Abrar yang kembali menuju area parkir. Sahabatnya itu terkejut saat ia merangkul bahunya.

"Ngapain lo?" Itulah pertanyaan yang spontan keluar dari bibir Abrar.

"Gue butuh refreshing," jawab Kenan sambil menarik Abrar untuk lebih cepat melangkah ke tempat parkir.

"Nenek gue juga tahu lo butuh refreshing," timpal Abrar dengan suara yang naik satu oktaf, membuat ia langsung menutup telinga.

"Nenek lo nggak bakal tahu, orang dia sudah tenang di sana."

"Lo nggak mau balik?" Abrar menghentikan langkahnya, mau tidak mau Kenan ikut berhenti. "Gara-gara Nada?"

Sudah Kenan bilang, ia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya, yang ia tahu Kegelisahan semakin lama makin menjadi mengikuti ayunan langkah ketika masuk ke dalam bandara. Kenan memang bodoh mengartikan dirinya sendiri, dan ia memang selalu bergegas sebelum berpikir.

"Nggak tahu." Kenan menjawab pertanyaan Abrar tanpa kebohongan sedikit pun.

"Lo harus ngurus cerai." Ucapan Abrar menikam Kenan dengan kata-katanya sendiri. "Lagian lo bukan pengangguran yang bisa berleha-leha. Ingat kerjaan."

Itu benar, ada pekerjaan yang menunggunya di kota metropolitan. Kenan mengingatnya, bahkan sangat mengingat. Tetapi, mau bagaimana lagi, Tubuhnya tak ingin kembali ke Jakarta, meskipun pikiran selalu berada di sana.

"Cukupin seminggu, deh," putus Kenan.

"Lo kenapa?" Abrar mengulangi pertanyaannya, pertanyaan yang sama sekali tak bisa Kenan jawab.

"Gue butuh sendirian sekarang." Ia mengucapkan hal itu dengan nada serius berharap Abrar mengerti dan tidak akan bertanya lagi. "Antar gue ke hotel."

Kenyataannya perintah tidak akan berpengaruh pada Abrar. Pria itu bukanlah karyawannya, pembantu, sekertaris, dan bukan asistennya. Dia adalah sahabat Kenan yang tahu tentangnya, dan juga masalahnya.

"Sekali ini aja, bantu gue," pinta Kenan.

Abrar kalah saat Kenan menatap penuh permohonan. Pria itu lebih dulu melangkah mendekati mobil, sedangkan Kenan mengikuti langkahnya. Sahabatnya itu tak membuka percakapan, sama seperti yang ia harapkan.

Abrar bukanlah anak kecil yang jika di katakan tidak apa-apa, maka dia akan diam. Abrar adalah sahabatnya yang tidak akan diam sampai ia buka mulut dan mengatakan yang sejujurnya. Tapi entah mengapa saat ini pria itu diam tanpa bertanya apapun, seolah mengerti apa yang terjadi padanya. Kenan tak pernah merasa segelisah ini saat meninggalkan Nada.

Selama perjalan kembali menuju hotel milik keluarganya, Abrar dan Kenan diam dan tak ada yang membuka mulut lebih dulu. Sampai Kenan turun dari mobil Abrar pun, mereka sama-sama diam dan hanya berbicara lewat bahasa tubuh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel