Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9 : Jemput

Kehadiran anak laki-laki di tengah obrolan mereka, membuat Kenan kembali mengingat bayang-bayang masa lalunya, di mana ia memperlakukan Nada dengan sangat kasar tanpa mendengar rintihan yang keluar dari bibir mungil itu.

Dua jam yang lalu ia mengantarkan Viona ke bandara, wanita itu harus kembali ke Jakarta karena menerima panggilan dari keluarga yang mengatakan bahwa ayahnya jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit.

Kenan sendirian di hotel, ia menatap langit-langit dengan tatapan menerawang, kemudian menjadi tatapan pilu. Bagaimana bisa ia melakukan sesuatu tanpa berpikir akan membuahkan hasil.

Darah dagingnya berada di bumi yang sama dengannya dan ia baru tahu kemarin. Meskipun Nada tutup mulut, tetapi Kenan tahu anak laki-laki itu pasti putranya. Dilihat dari mata, hidung serta bentuk wajah yang benar-benar mirip dengan miliknya.

Setelah keluar dari rumah Nada, Abrar menatap Kenan nyalang penuh emosi. Sahabatnya itu tak mengatakan apa-apa, tetapi terlihat jelas bahwa Abrar sangat marah dan kecewa, sedangkan Zara merasa puas dengan ekspresi yang dilayangkan pria itu kepadanya.

Satu-satunya orang yang tak menyadari kemiripan Kenan dan anak laki-laki tersebut adalah Viona. Wanita itu terlihat biasa saja seolah-olah Dhan bukanlah ancaman, padahal Kenan sudah sangat gelisah memikirkan perceraiannya yang pasti akan terhambat akibat kehadiran Dhan.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, Kenan ingin mengunjungi rumah Nada. Namun, ia tahu jam begini wanita itu masih berada di tempat kerja dan sudah pasti ia tidak akan menemukan siapa-siapa di sana.

Satu ide terbesit di kepala Kenan. Mengajak Nada untuk makan siang bersama mungkin bisa membuat pertanyaan di kepala menjurus ke jawaban yang sebenarnya. Kenan khawatir jika anak laki-laki itu adalah putranya, apakah Dhan akan menerima dirinya yang menanamkan benih, tetapi tidak  bertanggung jawab sama sekali.

Sudah berapa banyak waktu yang ia lewati untuk bermain bersama anak laki-laki itu. Kenan benar-benar merasa seperti seorang bajingan, ia adalah seorang ayah yang sangat buruk di antara banyaknya ayah di dunia ini.

Merenungi kesalahannya, membuat Kenan benar-benar lupa bahwa ia belum mengisi perut sejak kembali dari rumah Nada, kemarin sore. Ia membiarkan Viona menyantap makanan sesuka hati di restoran, sedangkan ia sibuk bergulat dengan bayang-bayang masa lalu.

Saat malam hari, Kenan benar-benar frustasi. Bahkan sampai menangis karena kebodohannya, beruntung ia tidak berada satu kamar dengan Viona, jadi dirinya bisa mengeluarkan kerapuhan tanpa takut diketahui oleh orang lain.

Setengah jam Kenan menunggu Nada di warung makan yang berada di dekat bangunan Spa dan Salon yang menjadi tempat wanita itu bekerja. Beberapa saat yang lalu Kenan menelepon Nada, dan mengajak untuk bertemu. Beruntung permintaannya itu diterima tanpa penolakan.

Waktu menunjukkan tiga puluh menit menuju jam satu siang. Seharusnya ia sekarang berada di dalam masjid untuk mendengarkan khotbah serta salat berjamaah bersama kaum Adam. Tetapi kegiatan wajib itu telah lama ia tinggalkan, di saat memasuki kelas tiga SMP.

“Maaf, kamu jadi nunggu.”

Kenan mengangkat kepala, menatap wanita yang memakai setelan gamis serasi dengan kerudung menyentuh pinggang. “Nggak apa-apa, gue yang seharusnya minta maaf udah ganggu lo kerja.” Biasanya Kenan tidak akan berbasa-basi seperti ini pada Nada. “Duduk, Nad.”

Wanita itu mengangguk patuh kemudian duduk berseberangan dengan Kenan. Terlihat jelas gelisah seakan tak suka berada dalam tempat yang sama dengannya.

“Ada yang pengin gue tanyain.”

“Tentang Dhan?” tanya Nada cepat yang langsung dihadiahi anggukan oleh Kenan.

“Dia ....” Kenan terlihat ragu untuk mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan. Sebisa mungkin mencoba untuk tenang. “Anak gue?”

Nada semakin gelisah dan Kenan sudah tahu apa jawabannya. Ia mengacak rambut kemudian mengusap wajah, rasa bersalah itu semakin menghantam tubuh menimbulkan sakit yang teramat perih.

Kenan tak tahu harus berpegangan pada siapa di saat seperti ini, Viona tidak berada di sebelahnya sedangkan Nada masih larut dalam kecemasan.

“Kapan dia lahir?” Kenan bertanya setelah ia bisa menahan emosinya. “Ini alasan lo lari?”

Nada menunduk. “Aku nggak tahu kalau dia ada. Lagi pula selama ini aku nggak lari, Ayah Ferdi kuliahin aku di luar kota,” ucapnya pelan.

“Ayah?” Ia terperangah sekian detik, kecurigaannya terhadap keluarga terjawab sudah.

“Maaf, Ken. Aku yang salah.”

Bukankah Kenan yang berhak mengucapkan kata itu setelah mencampakan istri dan juga putranya karena ingin menikahi wanita lain?

Wanita itu terlihat merasa bersalah padahal menurutnya, Nada sama sekali tak bersalah. Memang benar Kenan marah karena kebohongan yang diciptakan ayahnya, tetapi kemarahan tidak sampai pada wanita yang ada di hadapannya.

“Aku nggak mau jadiin Dhan sebagai alasan buat kamu mundur dari perceraian kita.” Nada masih tetap menunduk. “Kamu bisa ceraiin aku, Dhan tidak tahu tentang ayahnya yang masih ada, jadi nggak ada masalah buat di—"

“Jangan buat gue semakin bersalah.” Kenan menghela napas frustasi.

Ia tahu ke mana arah pembicaraan Nada, membiarkan dirinya tak melakukan apapun untuk Dhan sama seperti saat ia belum mengetahui keberadaan anak laki-lakinya itu. Kenan masih punya hati. Bahkan setelah bercerai dari Nada, ia akan tetap memberikan apa yang menjadi hak putranya.

Nada mengangkat kepala, menatap Kenan yang juga menatapnya. “Aku mohon, jangan jauhin aku dari Dhan.”

Tak ada sedikit pun keinginan Kenan untuk melakukan hal tersebut. “Gue nggak bodoh, Nad,” desisnya. “Lagian, gue nggak yakin dia bakalan suka sama gue.”

Mengingat ayahnya pun ikut campur dengan hilangnya Nada, Kenan yakin pria tua itu sudah menanamkan rasa benci kepada Dhan. Ia marah kepada orang tua yang menyembunyikan Nada dari dirinya dan kemarahan bertambah mengetahui selama ini orang tuanya tahu bahwa ia memiliki seorang putra.

“Dia pasti mau,” ujar Nada menenangkan. “Dia pengin ketemu ayahnya. Maaf aku sama orang tua kamu bilang ke Dhan, kamu sudah nggak ada.”

Kenan pantas menyandang status sebagai ayah yang telah meninggal, mengingat ia tak pernah hadir selama anak laki-laki itu hidup di dunia. Dirinya pun merasa lega, dari ucapan Nada, perasangka orang tuanya mengatakan hal yang tidak baik tentangnya kepada Dhan, menghilang begitu saja.

“Nggak apa-apa.” Ia menghela napas, begitu lebih baik menurutnya. “Lo belum jawab pertanyaan gue tadi, berapa tanggal lahirnya?”

Dalam hati Kenan berharap, semoga Nada merasa situasi tegang sudah menghilang, berganti dengan rasa ingin tahu seorang ayah terhadap anaknya, pun wanita itu tak mempermasalahkan, mengingat Dhan adalah haknya juga.

“Tiga puluh september 2002, sebentar lagi dia lima belas tahun.”

“Makanan kesukaannya? Berapa ukuran sepatunya? Dia suka main game? Punya HP, nggak? Kalo nggak entar gue beliin.” Kenan mengucapkan itu beruntun, tanpa memberikan Nada kesempatan untuk menjawab. “Dia anggota tim basket di sekolahnya? Kemarin gue lihat dia pake jersey basket.” Ia diam memberikan kesempatan pada Nada untuk menjawab pertanyaannya.

“Iya.” Nada mengangguk. “Dhan anggota tim basket di sekolahnya.” Ada jeda sebentar, kemudian kembali membuka mulut. “Dia punya HP, kok. Ukuran sepatunya empat puluh, dia suka main games online, makanan kesukaan dia sate. Sama kayak kamu.”

Entah di mana dan bagaimana Nada tahu tentang makanan kesukaannya, Kenan tak menggubris itu. Ia malah lebih antusias untuk menanyakan tentang Dhan, melihat Nada dengan sangat santai menjawab setiap pertanyaannya.

“Dia kelas berapa?”

“Kelas satu SMA,” jawab Nada membuat Kenan mengernyit. “Dia cepat satu tahun masuk SD. Tantenya Zara guru SD, beliau yang ngurus. Katanya Dhan terlalu pintar buat duduk di bangku TK."

Zara lagi. Kenan tak tahu seberapa besar bantuan yang diberikan wanita itu kepada Nada dan juga putranya. Namun, seberapa pun itu, Kenan harus mengucapkan terima kasih kepada Zara.

“Berapa gaji lo setiap bulan?” Apa salahnya bertanya tentang Nada, toh ini juga menyangkut dengan kehidupan anaknya.

“Alhamdulillah, karena aku yang punya Spa dan Salon itu, jadi aku yang gaji pegawaiku.”

“Itu punya kamu?” Kenan menoleh ke arah bangunan yang bersebelahan dengan warung tersebut.

“Ayah Ferdi yang modalin aku.”

Kenan menghela napas. Ia lupa ayahnya mengetahui tentang Nada. Sangat tidak masuk akal beliau menelantarkan menantu dan cucu satu-satunya yang dimiliki beliau. Lagi pula, seharusnya ia sudah mulai sadar ketika melihat bangunan tempat huni Nada yang berada di perumahan.

"Dhan sekolah di mana?" Untuk memendam kemarahannya, ia mengalihkan pembicaraan.

“SMA tiga.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel