5. Rumah Incaran Bintang
Sedangkan bagi mereka yang miskin dan tidak punya apa-apa, akan dihina dan dianggap pembawa sial.
Istilah yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin, itu berlaku di kota itu.
Bahkan hukum pun dikuasai oleh orang berduit.
Berbeda di kota tempatnya tumbuh dewasa. Di sana justru sebaliknya, hukum tidak bisa dibayar dengan uang. Karena bagi mereka, merekalah hukumnya. Sogok menyogok tidak berlaku. Kekerasan adalah jawaban.
“Sudah dekil, bau amis gini, terus mau menyewa rumah kontrakan ini?” Lelaki itu menunjuk rumah yang ada didepannya. “Kamu jangan bermimpi, brengsek!” umpat lelaki itu kesal.
“Apa benar harga sewanya pertahun limapuluh juta?” tanya Bintang tidak mempedulikan hinaan lelaki itu.
Mata lelaki itu membulat sempurna dan bertanya, “Apa kamu serius mau menyewa rumah ini?”
“Aku serius, Tuan.”
Walaupun tidak percaya, tapi lelaki itu memilih mengantar Bintang menemui orangtuanya dan memberitahu maksud kedatangan Bintang ke sana.
"Apa? Menyewa rumah kontrakan kita? Kamu jangan bercanda, lelaki dekil ini mana mungkin punya uang sebanyak itu!,” sungut lelaki paruh baya kesal. Dia menganggap putranya buang-buang waktu meladeni Bintang.
Berbeda dengan sang istri, dia jutru bertanya, “Aku bisa memberikan rumah kontrakan itu, padamu! Tapi …,”
Wanita paruh baya itu menatap Bintang, jari telunjuknya diletakkan di dagu.
“Tapi apa, Nyonya?” tanya Bintang.
“Limapuluh juta itu berlaku sampai tanggal 31 Desember 2023! Bukankah sekarang sudah tanggal 21 Maret 2024? Jadi sekarang harga sewanya sudah menjadi tujuhpuluh lima juta rupiah! Kalau mau ambil, silahkan bayar lunas dan tandatangani kontrak. Tapi kalau tidak, silahkan pergi. Bukankah aku tidak perlu mengantarmu?” cetus wanita paruh baya itu tersenyum mencibir.
“Tapi, Nyonya ….”
"Tujuh puluh lima juta itu sudah harga yang paling murah, kalau tidak percaya, silahkan Anda cek saja harga kontrakan rumah mewah lainnya!” gerutu wanita itu, memotong kalimat Bintang dengan kesal.
Bintang menatap ketiga orang yang berdiri didepannya secara bergantian.
Apa mereka pikir aku bodoh? Jelas-jelas rumah itu sudah lama kosong. Hanya orang yang tidak tahu latar belakang rumah itu saja yang mau menyewanya. Tidak akan ada satu orang pun yang bersedia untuk tinggal di rumah yang pernah menelan korban sebanyak sepuluh orang sekaligus. Tapi bagaimana sampai tanah kintal itu bisa menjadi milik mereka? Bukankah mami dan papi tidak pernah menjualnya?
Ya! Rumah kontrakan yang menjadi incaran Bintang tidak lain adalah rumah milik keluarga Morales. Rumah orangtuanya.
Walaupun di sana pernah terjadi kebakaran, tapi pemilik rumah yang sekarang berhasil membangun kembali rumah itu. Bukan itu saja, bahkan desainnya sama persis dengan rumah sebelumnya. Mewah dan elegan. Namun, sayangnya tak ada yang mau mengontraknya karena latar belakang rumah itu sudah menjadi rahasia umum.
"Apa aku bisa menawarnya menjadi tiga puluh lima juta?” tanya Bintang, kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku hanya mampu bayar segitu, Nyonya. Uangku hanya tigapuluh enam juta. Sejutanya sebagai cadangan untuk uang makanku sampai mendapatkan pekerjaan.” Bintang menjelaskan dengan nada memelas, seperti pasrah.
Ketiga orang itu terkejut menengar penawaran Bintang, mereka sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari mulut lelaki dekil itu. Mereka pikir Bintang hanya main-main.
“Apa kamu yakin mau mengontrak rumah itu?” tanya lelaki paruh baya itu meyakinkan dirinya sendiri.
"Aku yakin, Tuan. Aku baru datang di kota ini, rumah kontrakan yang paling murah hanyalah milik Tuan dan Nyonya. Aku ke sini juga dengan memberanikan diri, tapi kalau memang tidak bisa, aku pasrah.”
"Terima kasih, saya permisi dulu. Maaf mengganggu waktunya.”
Bintang mulai melangkahkan kakinya menjauh.
'Satu, dua, ti ….’
Benar saja dugaan Bintang, belum juga sempat menyebutkan angka tiga, pemilik rumah langsung saja memblokir langkah kaki Bintang, “Tunggu dulu.”
“Ada apa, Tuan?”
“Ok! Tiga puluh lima juta tunai! Anggap saja keluarga kami membantumu, karena kamu baru mau mencari kerja. Kita akan membahas lebih lanjut tentang syarat-syarat kontrakan di rumahku saja,” kata lelaki itu mulai melunak, Dia melangkah menjauh dari rumah itu.
Bintang menatap rumah yang terletak di ujung jalan itu, jantungnya deg-deg’an. “Tidak! Rumah itu pasti bukan tempat tinggal keluarga ini, kan?”
Namun, harapan Bintang pupus, ternyata rumah itulah yang menjadi tujuan lelaki itu. Dengan langkah berat, Bintang mengikutinya masuk.
Matanya memindai sekeliling, semua barang masih sama, hanya saja letak dan posisi yang berubah, beserta foto-foto yang terpajang di sana sudah bukan lagi foto keluarga besar Morales.
Apakah kematian mami dan papi benar-benar membuat kakek terpukul? Bahkan rumah beserta isinya pun sampai dijual. Tapi ke mana paman? Apakah paman memilih menjauh untuk melupakan semua kejadian ini?
Ya! Rumah itu dulunya milik kakek Bintang.
“Ini surat kontraknya telah selesai aku buat, kamu baca dan tanda tanganilah.” Kata lelaki itu sambil memberikan berkas kepada Bintang.
Bintang membaca dengan teliti isi surat kontrak itu dan tersenyum. Dalam surat itu hanya menegaskan kalau uang yang sudah dibayarkan tidak bisa dikembalikan, walaupun Bintang hanya menginap di sana tidak sampai setahun penuh. Dalam surat kontrak juga tertulis kalau semua bentuk perbaikan, pergantian kerusakan, pembayaran listrik dan air, semuanya menjadi tanggung jawab pengontrak.
"Maaf, Tuan. Apakah aku bisa mengirim uangnya lewat M’Bangking? Terus terang aku tidak memegang uang tunai sebanyak itu sekarang.” Kata Bintang.
Bukannya menjawab, tapi lelaki itu melangkah masuk dan kembali lagi dengan membawa buku rekening. “Kirim saja ke nomor ini!”
Tanpa menunggu Bintang langsung mentransfer uang, kemudian langsung menandatangani berkas yang ada didepannya.
"Tuan bisa cek, uangnya sudah aku transfer. Terima kasih banyak, Tuan.”
Lelaki itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, ketika memeriksa ponselnya sudah ada ketambahan dana tiga puluh lima juta.
Sedangkan Bintang kembali memperhatikan rumah itu.
“Anda boleh melihat, tapi tidak boleh menyentuh satu pun barang yang ada di sini! Kamu harus tahu, setiap barang yang berada di sini harganya fantastis! Kalau kamu memecahkan satu saja guci yang ada di sini, maka kamu tidak akan mampu menggantinya!” cetus wanita itu pedas.
"Maaf, berapa harganya?” tanya Bintang memancing keadaan.
"Itu guci yang paling murah, harganya lima ratus juta!” kata lelaki itu, jari telunjuknya menunjuk guci yang diletakkan paling sudut.
“Semahal itu? Aku sama sekali tidak menyangka, kalau keluarga Tuan benar-benar kaya raya.”
Kesombongan keluarga itu digunakan Bintang untuk mengorek informasi bagaimana sampai rumah itu bisa jatuh ke tangan mereka. Segala pujian dan tatapan takjub ditunjukkan Bintang.
"Kemajuan kota ini, tidak serta merta membuat masyarakatnya ikutan maju. Mereka terlalu naif, mereka tidak akan pernah mau membeli sesuatu jika pernah terjadi tindak pembunuhan di dalamnya!” jawab lelaki itu dengan santai.
“Pembunuhan? Maksudnya?” tanya Bintang semakin penasaran.
