Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Tawaran orang tak dikenal

“Hebat! Hebat! Beraninya sama lelaki paruh baya, pakai keroyok lagi?! Benar-benar bikin malu anak muda!” cetus Bintang sambil bertepuk tangan, seolah-olah bangga dengan sikap segerombolan orang tak dikenal itu.

Sejenak mereka berhenti dan menatap asal suara. Melihat senyuman penuh ejekan dari Bintang, membuat mereka marah dan sebagian menyerang Bintang secara membabi buta.

Namun, bagi Bintang mereka sama sekali bukanlah tandingannya, dengan mudahnya Bintang memukul mundur orang-orang itu.

"Anda tidak apa-apa, Tuan?” tanya Bintang sambil membantu lelaki paruh baya itu berdiri, kemudian menuntunnya ke tepi dan mengobati luka lelaki itu dengan menggunakan obat tradisional.

“Apa kamu mengenalku?” tanya lelaki paruh baya itu menatap Bintang.

"Apakah menolong orang lain harus saling kenal? Bukankah tidak? Aku tidak tahu kesalahan terletak pada siapa, tapi aku tidak suka melihat mereka mengeroyok, Tuan. Bukankah perkelahian itu tidak seimbang? Mereka ada banyak orang, sedangkan Tuan? Hanya sendirian!” kata Bintang tanpa senyuman.

“Kamu tinggal di mana, orangtuamu siapa, dan apa pekerjaanmu?”

“Aku pendatang baru di kota ini, aku hidup sebatang kara, aku masih mencari kontrakan. Namaku Bintang Martadinata, memangnya kenapa, Tuan?” Jawab Bintang tanpa menghentikan aktivitasnya.

Lelaki paruh baya itu menatap Bintang dengan teliti dan membatin, ‘Akhirnya aku bisa menemukan sosok yang bisa menggantikan posisiku. Bintang bukan hanya baik hati, tapi dia juga berani dan tegas. Tinggi, tampan, kulit kuning langsat, mata coklat. Benar-benar sosok sempurna, tidak akan ada satupun yang menyadari kalau dialah pengganti ku. Tapi apakah Dia bersedia?’

Bintang yang melihat lelaki paruh baya itu memperhatikannya dalam kebingungan, ikutan bingung. “Maaf, apakah ada yang salah dengan wajahku?”

Dengan ragu-ragu lelaki paruh baya itu mengutarakan keinginannya.

"Apa? Menggantikan, Tuan? Tidak!” Jawab Bintang tegas.

Namun, semakin tegas pendirian Bintang, justru membuat lelaki paruh baya itu semakin tertarik dan merasa yakin.

Berbagai alasan dikatakan lelaki paruh baya itu, termasuk berbohong untuk mendapatkan persetujuan Bintang dengan mengatakan kalau Dia sedang menderita penyakit mematikan dan waktunya tidak akan lama lagi.

“Aku bukan anak kemarin sore, Tuan! Jadi tidak semudah itu membohongiku!” umpat Bintang kesal.

Lelaki itu langsung lemas dan berkata, “Aku tahu, anak buahku tidak sehebat dan sepintar kamu. Namun, aku yakin kamu bisa menuntun mereka menjadi orang-orang hebat. Mungkin kehebatan beladiri mereka tidak sebanding denganmu, tapi mereka memiliki keahlian lain.”

“Maksudnya?”

"Mereka memiliki keahliannya masing-masing. Ada dari mereka yang memiliki bakat beladiri tapi belum terlatih, emosinya juga belum stabil, masih suka meledak-ledak. Ada yang handal dalam hal meretas, ada yang handal dalam mencari bukti-bukti akurat.” Lelaki paruh baya itu menjelaskan kelebihan dan kekurangan anak buahnya.

"Kalau aku terima, apa untungnya untukku?” tanya Bintang menatap lelaki paruh baya itu serius.

“Banyak keuntungan yang kamu dapatkan, tapi juga itu bisa membahayakan nyawamu," jawab lelaki paruh baya itu pasrah.

"Aku tahu itu membahayakan nyawaku! Yang aku tanyakan, apa keuntungannya jika aku menerima tawaran itu?”

"Namanya juga pemimpin, jadi kamu bebas memerintahkan mereka apapun. Termasuk meminta mereka menyelidiki ataupun meretas.” Jawab lelaki paruh baya itu bersemangat.

“Ok! Aku terima.”

Tiga kata yang keluar dari mulut Bintang mampu membuat lelaki paruh baya itu terbang melintasi langit ke tujuh. Dia bahagia menemukan pengganti sesuai kriterianya.

“Mulai sekarang, kamu tidak perlu lagi mencari rumah kontrakan. Tinggal katakan rumah seperti apa idamanmu, maka hanya dengan mengesek kartu ini keinginan kamu akan terkabul.” Kata lelaki paruh baya itu tersenyum penuh semangat.

"Kamu mau beli mobil semahal apapun, tidak masalah! Semua tinggal gesek kartu ini. Kodenya 999999.” Lelaki paruh baya itu meneruskan penjelasannya.

Lelaki paruh baya itu langsung terbatuk-batuk begitu mendengar penolakan tegas dari Bintang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Bintang akan menolak fasilitas yang ditawarkan padanya, termasuk First Mastercard.

Sedetik kemudian lelaki paruh baya itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan membatin, ‘Astaga, kenapa aku begitu bodoh! Bukankah dari pakaian yang dikenakan Bintang jelas-jelas menunjukkan siapa dia sebenarnya?’

Ya! Lelaki paruh baya itu justru berpikir kalau Bintang sama sekali tidak tahu fungsi dari kartu First Mastercard yang baru saja ditolaknya. Kalau soal fasilitas, lelaki paruh baya itu berpikir Bintang pasti merasa tidak nyaman, karena baru saja bergabung dan langsung ditawarkan fasilitas mahal.

Sedangkan Bintang menerima tawaran lelaki itu dengan tujuan tertentu.

"Ok! Ok! Kamu bisa menolak semua fasilitas yang aku tawarkan, kecuali satu. Jangan pernah menolak ini.” Kata lelaki paruh baya itu tegas sambil memaksa memberikan kartu First Mastercard ke tangan Bintang.

Bintang akhirnya menerima First Mastercard itu.

“Kamu datanglah ke alamat ini, tepat pukul 17.00 Wita. Aku akan menunggumu di sana, tapi ingat kamu harus tetap waspada,” kata lelaki paruh baya itu sebelum meninggalkan Bintang.

Bintang tersenyum menatap First Mastercard yang ada dalam genggaman tangannya.

Tuan! Tuan! Aku tahu persis First Mastercard ini belum aktif. Walaupun kamu sudah memilihku … aku juga yakin kamu pasti akan mengetes kemampuanku lebih jauh. Tapi hanya menerima tawaran kamu, maka aku bisa menemukan pembunuh orangtuaku lebih cepat. Jadi kita sama-sama diuntungkan.

Bintang meneruskan langkah kakinya, menuju alamat yang didapatnya dari facebook.

Begitu tiba di tempat tujuan, Bintang menatap rumah itu dalam diam.

'Sudah enam belas tahun berlalu, ternyata tidak terlalu banyak perubahan akan rumah ini,' batin Bintang.

“Auw … auw … lepaskan! Sakit, Tuan.!” jerit Bintang.

Walaupun mudah bagi Bintang untuk mengembalikan posisi, namun tidak dilakukannya.

Tangan kanan lelaki itu mencengkram pergelangan tangan Bintang kearah punggung. Sedangkan lutut kakinya menyerang lutut bagian belakang Bintang hingga membuat Bintang tersungkur di lantai yang kotor penuh dedaunan kering. Dalam beladiri itu biasanya disebut teknik kuncian, agar lawan tidak bisa bergerak.

"Lepaskan aku, aku mohon. Aku bukan orang jahat. Aku ke sini mau menyewa rumah kontrakan. Beneran ini sakit, Tuan,” pinta Bintang selemas mungkin.

Lelaki itu langsung saja mendorong Bintang dengan kesal. “Baru segitu saja sudah minta ampun, bagaimana kalau aku menggunakan jurus pamungkas ku?!”

‘Astaga, kemampuan segitu saja, sombongnya minta ampun. Apa dia pikir berkelahi di jalanan sama seperti saat latihan karate yang ada pengamannya? Dari gerakan tadi saja, jelas sekali kecerobohannya. Satu putaran dariku, bisa-bisa tangan kanannya patah,’ batin Bintang.

Lelaki itu mengelilingi Bintang dan menutup hidungnya rapat-rapat. “Berapa hari kamu tidak mandi, ha? Kenapa baunya amis banget!”

Secara reflesk Bintang mengendus tubuhnya sendiri dan membatin, ‘Tidak ada bau apa-apa. Apa karena penampilanku yang amburadul?’

Ya! Lama tinggal di kota terkejam, membuat Bintang lupa kehidupan kota besar itu berbeda. Kalau di kota tempat tinggalnya mereka tidak memandang status, tapi di kota asalnya status seseorang sangatlah penting.

Kalau seseorang itu berasal dari keluarga terpandang, maka orang-orang akan berbondong-bondong menghormati dan menundukkan kepalanya sebagai bentuk tanda hormat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel