Bab 8
Apa daya Khanza saat dirinya berada di rumah mewah tersebut, dirinya hanya mengikuti apa yang dikatakan Dhan, lalu tubuh bergerak tak nyaman saat lelaki itu menjauh darinya. Tentu saja tak nyaman karena pertama kalinya ia ke rumah ini, dan juga pertama kalinya ia ke rumah seorang lelaki.
Katakan Khanza berlebihan, karena memang ini yang terasa. Bahkan untuk meneguk minuman saja, ia merasa tak enak. Mungkin ini yang dinamakan canggung? Atau gugup?
Khanza tak tahu, yang jelas ini pertama kalinya ia rasakan. Ia pun yakin Dhan merasakan apa yang ia rasakan sekarang. buktinya lelaki itu membawa Khanza ke sebuah ruang pribadi.
"Tidur siang dulu," kata Dhan saat membuka pintu kamar.
Tangan membuka lebar pintu tersebut, lalu membiarkan Khanza masuk. Dua puluh menit yang lalu mereka selesai makan siang. Dhan tak tahu, kenapa hari ini pamannya—Nevan, tantenya, serta Arnathan—keponakannya, datang untuk makan siang bersama mereka.
Padahal, biasanya di hari minggu Nevan mengajak keluarga kecilnya bertolak ke Tangerang untuk bertemu orang tua sang istri.
Dhan membiarkan pintu kamar tersebut terbuka. "Ini kamar tamu, tidur siang dulu. Oh iya, itu tas kamu." Ia menunjuk tas yang berada di sofa.
Khanza menoleh pada Dhan. Tas itu bukan hanya berisi ponsel, tetapi juga pakaian untuk dipakai sore nanti, dan juga mukenah. Karena hari ini ia akan berada di rumah ini sampai malam berhasil menelan habis matahari. "Kamar kamu yang mana?"
"Di sebelah."
Khanza menutup mulutnya rapat sekian detik, kemudian ia berucap. "Kamu mau istirahat juga?"
Dhan mengangguk. "Tenang aja, kamarku hanya di sebelah, kalau ada apa-apa ketuk aja."
Khanza mengangguk. "Kak Andra nggak asyik, ya," ucapnya kemudian. "Masa dia baik sama kamu pas ada maunya."
Dhan mengerutkan kening tak mengerti. Pasalnya apa yang dikatakan Khanza sangat bertolak belakang dengan sikap asli Andra. meskipun komunikasi mereka sudah tidak sedekat dulu, tetapi tetap saja ia masih sangat mengenal lelaki itu yang sekarang. Bahkan di Jakarta ini, Dhan-lah yang sangat mengenal bagaimana karakter seorang Andra.
"Kak Andra ngomong dia nggak suka sikap kamu yang sekarang, tapi pas lagi banyak tugas dan nggak mau ninggalin aku sendirian, dia malah nitipin aku ke kamu," jelas Khanza.
Dhan membulatkan bibirnya. "Itu maksud kamu." Hanya itu tanggapannya.
"Jangan benci Kak Andra, ya, Dhan." Suara Khanza terdengar sangat serius. "Dia cuma orang yang nggak tahu apa-apa."
"Kenapa nggak dijelasin?" timpal Dhan cepat karena ia tak suka jika Khanza membahas hal ini di hari yang menurutnya akan menjadi hari bahagia.
Perempuan itu menghela napas. "Aku sama kak Andra beda tipis." Ia menatap figur yang membuatnya mengingat bagaimana Dhan yang dulu. "Bedanya aku ngerti perasaan kamu, sementara kak Andra melihat dari sisi anak yang harus menghormati orang tua."
"Meskipun udah tahu Kak Andra masih kayak gitu?" Dari apa yang dijelaskan, Dhan bisa menangkap bahwa Khanza telah menjelaskan apa yang terjadi di antara dirinya dan seseorang yang harus ia sebut ayah.
Khanza mengangguk tanpa menoleh ke arah Dhan. Ia takut melihat ekspresi lelaki itu, yang mungkin akan sama seperti saat Dhan menjauhinya dulu. "Dia cuma pengin yang terbaik," ujarnya kemudian memberanikan diri menatap mata Dhan.
Dugaan Khanza salah besar. Lelaki itu tak terlihat dingin, yang berarti tak memusingkan tentang Andra, seolah-olah itu bukanlah ancaman besar untuknya. Salahkah Khanza yang berharap bahwa Dhan telah melupakan apa yang terjadi pada mereka berdua saat di halte dulu?
"Kamu pikir aku bakalan mundur?" Dhan melipat tangannya di depan dada. "Meskipun ada seribu Kak Andra di hidup aku, aku nggak bakalan mundur."
Khanza mengerti maksud Dhan. Lelaki itu memutuskan tidak akan pernah memaafkan Kenan. Kemudian ia merasa kehadirannya yang dimaksudkan untuk membuat api di dada Dhan padam, benar-benar tidak berguna. Khanza merasa kalah sebelum berperang, padahal ia hanya hanya diserang di bagian telinga, bukan tekadnya.
"Aku tahu," ujar Khanza, kemudian berbalik menemukan ranjang empuk. "Aku boleh langsung istirahat?"
Dhan mengulum senyum kemudian mendengkus. "Lagi-lagi pengalihan," sahutnya sembari melangkah keluar kamar. "Pintunya dikunci, Za." Ia menggoyangkan kunci kamar yang menggantung di tempatnya.
"Iya, Bapak," balas Khanza.
Perempuan itu mendekati pintu saat Dhan telah menutupnya, kemudian memutar kunci. Khanza bersandar di pintu, melihat ke sekeliling kamar tersebut. Setelah puas, ia melangkah menuju ranjang.
Khanza masih memiliki tiga hari untuk memadamkan api tersebut, dan ia membutuhkan banyak pasokan air untuk membantunya. Jika Nada tak bisa membantunya, maka ia harus tersenyum getir saat tahu bahwa sedang berusaha sendiri.
****
Khanza. Perempuan yang Dhan akui memiliki wajah lembut dan manis. Sejak pertama kali bertemu dengan perempuan itu, ia tak bisa melepaskan pandangannya atau bahkan berpaling pada perempuan lain. Khanza tak cantik, hanya saja wajahnya tak pernah membuat Dhan bosan untuk melihat.
Apalagi saat perempuan itu telah memandang buku dengan serius seperti sekarang, saat Dhan membiarkan tugas matematikanya dikerjakan oleh Khanza, agar ia bisa melihat wajah serius yang sudah lama tak terlihat.
Betapa indahnya malam ini, Dhan merasa berada di kayangan masa lalu. Di mana saat bersekolah wajah inilah yang menghiasi harinya.
Di ruang keluarga, Dhan dan Khanza bukan hanya berdua, seluruh anggota keluarganya berada di sini. Mereka sedang serius menonton, sedangkan Arnathan, balita yang masih berumur satu tahun lima bulan tersebut, berjalan kesana-kemari sambil membawa mobil-mobilan.
Dhan dan Khanza duduk di karpet, sejak perempuan yang mengerjakan tugasnya menyentuh buku, sejak itu pula mereka berdua diam. Hanya terdengar suara TV, dan juga beberapa kali suara Ravi—kakeknya, serta pamannya—Nevan, sedang mengomentari berita yang sedang ditonton.
"Ka ... Ka ...."
Dhan mendudukkan Arnathan di pangkuannya saat balita itu mendekat. Arnathan adalah satu-satunya teman Dhan saat tidak diperbolehkan keluar rumah. Rumah Nevan hanya berada di depan rumah ini. Ketika semua orang pergi kerja dan sekolah, Arnathan dijaga oleh sang nenek dan Nada.
Saat gemas Dhan akan membuat Arnathan menangis, balita laki-laki ini belum bisa berbicara, hanya beberapa kata saja yang bisa diucapkan, seperti papa, mama, dan kakak. Sedangkan untuk kakek, nenek dan tante, mereka harus bersabar menunggu Arnathan bisa mengucapkan tiga panggilan tersebut.
"Jangan," cegah Dhan saat tangan Than meraih pensil.
Khanza yang mendengarkan suara Dhan, menoleh ke arah lelaki itu. Tangannya segera terulur untuk mencubit pipi balita tersebut. "Gemes, ih," ujarnya sembari menjauhkan tangan, takut ia akan terpancing untuk mencubit lagi.
"Lucu ya." Dhan menatap wajah Khanza yang tengah sibuk bermain bersama Arnathan, "kayak badut."
Detik kemudian Khanza menghentikan aktivitasnya. "Jayus," ucapnya, kemudian kembali mengerjakan tugas itu, tetapi sebelumnya ia menyempatkan diri untuk mencubit Arnathan lagi.
"Nggak suka, ya, kalau aku jayus?" Dhan menundukkan kepalanya agar bisa melihat wajah Khanza, "nggak suka kok senyum?" ungkapnya saat melihat ujung bibir Khanza yang terangkat samar.
"Apa, sih."
Dhan tertawa kecil. "Aku harap banget kak Andra lupa jemput kamu."
"Ekhem."
Itu hanya suara sumbang yang berasal dari balik punggung Dhan, tentu saja seketika ia langsung menoleh, sedangkan Khanza berpura-pura tidak mendengarkan dehaman itu.
"Kak!" Nevan memanggil Nada. "Dhan udah jago ngegombal cewek!" tambahnya membuat semua anggota keluarga yang sedang menonton, menoleh ke arah mereka.
"Apa, sih, Paman." Dhan memprotes.
"Yee ... pakek malu segala." Nevan mengambil Than yang berada di pangkuan Dhan. "Adiknya pulang, ya, Kak. Inget, jangan macem-macem," ucapnya pada keponakannya itu. "Paman pulang dulu, ya, Za."
Khanza mengangguk. "Iya paman." barulah ia berani menatap wajah pria itu. "Dadaa ... Nathan." Ia melambaikan tangannya pada balita yang juga membalas lambaiannya.
Posisi Nevan digantikan oleh Nada. Bundanya itu duduk di sofa yang berada di belakang Dhan. Tangan lembut membelai kepalanya. Ia tahu, bundanya pasti akan menyampaikan sesuatu.
"Kakek Ferdi nanya, kalau kuliah nanti Dhan mau tinggal di rumah atau apartemen?" Nada mengatakan dengan lembut.
"Dhan pikir-pikir dulu." Lelaki itu menoleh kepada Khanza. "Bagusnya di rumah atau di apartemen, ya, Za?" Meminta pendapat.
Khanza bergumam sembari menyiapkan jawaban untuk Dhan. "Lebih baik di rumah, sih, karena nggak sunyi."
"Tapi jarak kampus dari rumah jauh, belum lagi macet." Dhan menimbang. Ia tak suka kesunyian dan juga tak menyukai kemacetan.
"Emang kamu tembak kampus mana?"
"Kalau tembak kamu boleh?"
"Eh?" Celetukan Dhan membuat Khanza membuka sedikit mulutnya.
"Udah pinter, ya, Dhan." Ketukan pelan Nada daratkan di kepala putranya. "Jangan ngerusak anak orang."
"Iya, Bun."
Khanza bersyukur Nada melontarkan ucapan tersebut. Setidaknya ia tak perlu memberikan jawaban atas pertanyaan Dhan tadi. Entah itu spontanitas, candaan, atau serius, ia tak akan bisa menjawabnya. Baginya Dhan hanyalah sosok yang disukai, tetapi untuk menjalani hubungan layaknya yang dijalankan anak muda zaman sekarang, Khanza belum siap. Cukup ia dan sang pencipta yang tahu seberapa sukanya kepada Dhan.
"Jadi?" Nada bertanya tentang keputusan Dhan.
"Apartemen tapi bareng Bunda," jawab Dhan, wajahnya meminta persetujuan dari sang bunda.
"Nggak, ah, nanti kalau Dhan ke kampus Bunda bosen sendirian di apartemen."
"Yaa ... Bunda."
Jika sudah seperti ini Nada tahu bujukan demi bujukan akan dilontarkan oleh putranya itu. "Belajar mandiri," putusnya.
Setelah mengucapkan itu suara ketukan pintu disertai salam terdengar dari pintu utama. Khanza dan Dhan langsung tahu siapa pemilik suara tersebut. Khanza memilih untuk merapikan alat tulis, sedangkan Dhan menuju pintu depan menghampiri Andra yang datang untuk menjemput temannya.
"Masuk, Kak," ujar Dhan mempersilakan. "Kak Andra udah makan?"
"Udah, kok." Andra melihat ke arah punggung Dhan, ia mendapati seorang wanita tersenyum kepadanya. Seketika kaki melangkah mendekat kemudian salim kepada wanita itu. "Apa kabar, Tan?"
"Baik, Ndra. Kamu gimana kuliahnya?"
"Lancar, kok, Tan, meskipun capek."
Nada tersenyum. "Makan dulu sebelum pulang."
"Nggak, Tan, Andra udah kenyang baru habis makan," tolak Andra lembut.
"Y audah, kalau gitu Tante bungkusin makanan, ya, siapa tahu kamu dan Khanza lapar tengah malam."
Belum sempat menolak, Nada sudah berbalik, terpaksa Andra menggantung ucapan. Detik kemudian posisi wanita itu digantikan kehadiran sang adik yang menyampirkan tas di bahu.
"Langsung pulang?" tanya Khanza. ia berharap Andra mengajak dirinya untuk jalan-jalan terlebih dahulu. Tapi sepertinya itu hanyalah angan ketika ia melihat kaus yang dikenakan kakaknya adalah kaus yang di pakai ketika mereka berpisah di basemen tadi pagi.
"Iya, Kakak capek."
Berada di Jakarta hanya terkurung dalam ruangan. Diam-diam Khanza menghela napas kecewa terhadap kakaknya yang tak bisa mengantar jalan-jalan di kota metropolitan tersebut.
----