Bab 9
Rafardhan: Aku di basemen.
Khanza tersedak makanannya ketika membaca chat dari Dhan. Mata hampir saja keluar dari tempatnya, tangan yang bebas menepuk dada. Ia menaruh ponsel pelan ke atas meja, kemudian meraih air. Meneguk air secukupnya, setelah itu berusaha tenang dan berusaha tidak terganggu dengan chat tersebut.
Tangan Khanza kembali meraih ponsel, belum sempat mengetik balasan, chat dari Dhan kembali masuk menghiasi layar ponselnya.
Rafardhan: Jalan yuk.
"Hah?" Hanya ucapan itu yang bisa keluar dari mulutnya, dengan cepat ia membalas pesan tersebut.
Khanza: Nggak sekolah?
Rafardhan: Nggak.
Khanza: bolos?
Rafardhan: bukan, aku minta izin.
Rafardhan: aku ke sana ya?
Khanza langsung berdiri dari duduknya, ia membersihkan meja makan, sebelum menuju kamar. Andra tak ada di apartemen, berada di sini berdua dengan Dhan bukanlah hal yang benar. Dengan cekatan ia mengenakan gamis sederhana, hijab, kemudian memoles sedikit bedak di wajah, dan pelembab bibir untuk penambah kesan manis.
Tangan Khanza meraih tas, dengan cepat memakai sepatu. Ketika ia membuka pintu, Dhan sudah berada di sana, hendak memencet bel.
"Eh?" Lelaki itu sedikit terlonjak kaget. Ia melihat penampilan Khanza. "Udah siap ternyata."
"Iya."
"Kak Andra mana? Aku mau pamit."
"Ke kampus." Jawaban Khanza menciptakan satu langkah mundur oleh Dhan.
"Oh."
Khanza tahu apa yang ada dipikiran Dhan, lelaki itu merasa bersalah dengan datang langsung ke sini saat ia hanya sendirian di apartemen. "Langsung jalan?" tanyanya untuk memecahkan keterdiaman Dhan.
"Aku kasih tahu Kak Andra dulu." Dua detik kemudian Dhan sibuk dengan ponsel.
"Chat aja. Kalau ditelepon, nggak bakalan diangkat, soalnya Kak Andra ada kelas pagi," jelasnya sembari menutup pintu.
Dhan mengangguk patuh, mereka berdua melangkah menuju basemen. Lelaki itu masih dengan ponsel, sedangkan Khanza menunggu Dhan buka suara akan dibawa ke mana dirinya di pukul sepuluh pagi ini.
"Kak Andra bales, katanya iya." Dhan menunjukkan layar ponselnya kepada Khanza sebagai bukti bahwa ia tidak berbohong.
Khanza tersenyum. "Jadi, ke mana?"
"Hhmm ...." Lelaki itu nampak berpikir. "Ke Singapur mau?"
"Hah?"
Dhan tertawa kecil melihat keterkejutan Khanza. "Pulau seribu?"
"Ini serius?"
Dhan menggeleng dengan bibir tersenyum geli. "Bercanda." Ia bergumam kecil. "Kamu yang pilih, deh. Ke mal, nonton, makan, ngopi." Terjadi jeda sekian detik. "Ini Jakarta yang kekurangan tempat wisata, atau gue yang jarang keluar rumah?" gerutunya kemudian.
Khanza tertawa. "Kayaknya yang kedua, deh."
"Iya mungkin." Dhan mengulum senyum ketika di kepalanya terbesit satu tempat yang sering dikunjungi. "Ragunan."
Khanza diam, begitu pula Dhan. Detik kemudian suara tawa terdengar. Kebingungan benar-benar melanda Dhan, sedangkan Khanza tidak keberatan jika opsinya memang hanya Ragunan.
----
Bagi Dhan ini kali pertama mengajak perempuan jalan, meskipun di mobil, mereka tidak hanya berdua. Ya, ada Pak Sopir yang siap mengantarkan ke mana pun. Beberapa kali ia mengirimkan chat kepada Leon bertanya tempat bagus untuk dikunjungi, sepupunya itu hanya membalas dengan emotikon tertawa, kemudian disusul dengan chat yang berisi tiga huruf. TPU.
Ingatkan Dhan untuk menghajarnya ketika mereka bertemu nanti.
Berhubung hari ini Khanza merasa salah kostum, perempuan itu memilih untuk ke bioskop. Lagi pula ia belum sempat menonton film yang sudah ditunggu selama lima bulan, sejak desas-desus novel kesukaannya diadaptasi menjadi film.
"Kayaknya pernah dengar, deh, alur ceritanya." Dhan berpikir keras sejak ia keluar dari bioskop.
"Novel," celetuk Khanza.
"Oh, iya." Dari ekspresinya, Dhan mulai mengingat dari mana ia tahu alur cerita film tersebut. "Karin pernah cerita."
Detik kemudian Dhan menghentikan langkah. Khanza yang tidak menyadari, tetap berjalan. Ketika tiga langkah meninggalkan lelaki itu, ia sadar sedang berjalan sendirian. Seketika Khanza menghentikan langkah, kemudian menengok ke belakang.
Dhan terpaku di tempat, menjadikan satu titik sebagai fokus. Mau tidak mau, ia ikut melihat arah manik mata lelaki itu. Seorang perempuan tengah memainkan ponsel sembari berjalan ke arah mereka.
Detik kemudian Khanza tangannya ditarik seseorang dari belakang, memaksa untuk lari dan bersembunyi dari perempuan tersebut.
"Gila," desis Dhan ketika mereka berhasil mendapatkan tempat aman. "Kenapa dia di sini?"
Khanza mengerutkan kening melihat tingkah Dhan. Lelaki itu mengintip dari balik dinding melihat ke arah di mana mereka melarikan diri dari perempuan tadi. Ia akui perempuan itu sangat cantik dan dilihat dari busana yang dikenakan, jiwa fashion-nya sangat tinggi.
Namun, pertanyaan bukan, "Mengapa Dhan mengenal gadis cantik dengan fashion setara Syahrini?" Melainkan, "Mengapa Dhan berlari dari gadis cantik itu?".
"Pacar kamu?" Khanza simpulkan begitu, melihat bagaimana tingkah lelaki itu saat ini.
"Bukan," timpal Dhan cepat. Merasakan sesuatu yang lembut sedang ia genggam, dengan cepat melepaskan tautan tangan itu. "Maaf," ucapnya sungguh-sungguh.
Khanza mengangguk, senyum simpul tersemat, menyembunyikan desiran di dada. "Jadi, itu siapa kamu?"
"Teman, serumah sama Leon."
"Adiknya?"
Dhan menggeleng. "Anak angkat mamanya."
Khanza membulatkan bibirnya. "Kenapa kabur?" Tiba pada pertanyaan penting.
"Bisa habis aku kalau ketahuan sama dia." Ekspresi Dhan langsung cemas ketika memikirkan apa yang akan terjadi besok di sekolah. "Dia ratu gosip di sekolah. Semua informasi yang dia bawa, 99% selalu akurat," jelasnya.
"Satu persennya?"
"Salah lihat." Dhan kembali mengintip. "Di sekolah banyak yang naksir Leon, Nadila sering nerima tugas dari fan club-nya Leon buat menguak fakta tentang dia."
"Kamu juga punya fan club?"
Tanpa pikir panjang lelaki itu mengangguk. "Eh, tapi nggak apa kali, ya. Kalau kesebar di sekolah aku jalan sama cewek, fans bakal berkurang, surat pun berkurang di loker dan laci meja."
"Kok gitu?"
"Karena gosip yang kesebar adalah, Dhan udah punya pacar." Lelaki itu tertawa iblis.
Khanza terdiam. Warna merah muda dengan perlahan menyebar di pipi. Desiran di dada kembali terasa. Ia merasa payah dalam hal ini, karena tak bisa mencegah debaran atau apapun itu yang bereaksi seba ucapan Dhan yang seperti ini.
"Nggak, deh," sela Dhan, menyita perhatian Khanza. "Kamu nggak bakalan mau."
Senyum Khanza sematkan di bibir, ia memalingkan wajah ke arah lain. "Lagi nembak, Mas?" celetuknya.
"Kalau nggak keberatan."
Tawa canggung terdengar dari Dhan, Khanza menggigit bibirnya. Kemudian menggumamkan dua kata yang sering keluar jika berada dalam situasi ini. "Apaan, sih."
Khanza tahu Dhan lelaki yang menghormati dirinya, mempercayakan hati dibawa oleh lelaki ini bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, ia masih berpikir rasional, Dhan tetaplah manusia sepertinya yang pasti akan berbuat kesalahan.
Khanza tak tahu apa yang akan terjadi di depan sana nanti, hatinya pun tak tahu siapa tempat persinggahan terakhir. Begini saja cukup, setidaknya ia tahu Dhan punya keinginan yang sama dengannya.
"Za." Dhan memasang wajah serius ketika mata bertemu dengan manik mata Khanza. "Jangan sampai dicuri orang, ya."
---