Pustaka
Bahasa Indonesia

Different (Khanza - Dhan)

45.0K · Tamat
Kanalda Ok
40
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Itu masalah aku, Za. Kamu nggak perlu ikut campur!" Dhan membentaknya, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya."Gitu?" Khanza menggigit bibir bawahnya, entah mengapa rasanya sangat sakit. Menurutnya ucapan Dhan tadi sangat keterlaluan, apalagi Dhan mengucapkan itu sambil membentak. "Aku pikir kamu orang baik, Dhan." "Kadang aku bisa jahat, Za"

Wanita CantikTuan MudaRomansaTeenfictionSweetKeluargaSalah PahamMenyedihkanBaper

Bab 1

Aku tak tahu bagaimana cara mengawali kisah ini. Biasanya semua orang lebih dulu menceritakan tentang angin yang berhembus menimbulkan suara gemericik di dedaunan. Sayangnya saat ini, suara angin kalah dengan suara pujian semua siswi kepada seorang pria yang berdiri di tepi lapangan basket.

Tentu saja aku mengenalnya, itu sebabnya aku tak mengomentari apapun, karena aku telah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu di tempat kerja Abiku. Pria itu adalah bos dari Abiku, dan juga ayah dari teman se-kelasku. Fakta yang baru ku ketahui sekarang.

Kenyataannya, aku menyembunyikan fakta yang tak bisa diungkapkan pada siapapun. Saat itu aku melihat pria tersebut, tidak sendirian. Ia bersama seorang wanita yang postur tubuhnya bak pahatan sempurna yang sengaja dipamerkan.

Aku pernah melihat ibu dari anak pria itu. Wanita yang beda dari wanita yang di hotel. Kenyataan yang harus kututupi sekarang adalah, dia selingkuh?

Jika pun iya, mungkin inilah alasan mengapa anak laki-laki itu terlihat acuh kepada ayahnya dan terkesan tak suka dengan kedatangan pria itu. Tentu saja aku kasihan, seorang anak yang baik harus menerima kenyataan pahit. Sungguh tidak adil.

Abi pernah bilang, ia tak akan melakukan kesalahan, karena punya anak laki-laki, berarti punya potensi untuk dibenci. Mungkin sekarang pria itu merasakan hal yang tak ingin dirasakan Abiku. Aku tak tahu bagaimana akhir kisah mereka, tetapi yang pasti aku penasaran dan akan tetap ingin tahu.

---

Satu hal yang baru kutahu tentang cinta, yaitu rindu.

Dua hal yang telah kurasakan sebelumnya, yaitu hangat dan nyaman.

Tiga hal yang tak ingin kurasa, yaitu Patah hati, sakit, dan jauh.

Aku pikir semudah itu saat membiarkan hati jatuh menjelma menjadi cinta, ternyata aku salah. Cinta ini membuat sakit, tak acuh membuat patah hati, dan rindu ini menyadarkanku bahwa kau semakin jauh.

----

Untuk sebuah rasa yang telah lama tertanam, untuk sebuah kisah yang telah lama tak diceritakan, untuk rindu yang beradu, Khanza tak bisa menahan senyumnya saat tiba di kota Jakarta.

Ah, hampir dua tahun lamanya ia menunggu saat ini. Meskipun ia tahu, berada di tempat tersebut hanya beberapa hari mengisi liburan sambil mengunjungi kakak semata wayangnya-Andra, yang sedang mengenyam pendidikan di kota metropolitan.

Sudah lima bulan Andra berada di kota tersebut, tetapi baru saat ini Khanza berkesempatan mengunjungi. Kesibukan sebagai ketua OSIS, membuatnya tak bisa berkutik meski di hari libur sekali pun.

Ini tahun terakhirnya berada di SMA, dua minggu yang lalu Khanza menyerahkan posisinya sebagai ketua OSIS kepada adik kelas yang terpilih. Asal kalian tahu, libur yang dimaksud oleh Khanza hanya di hari kamis, Sabtu dan minggu. Namun, ia berniat akan menjadikan selama satu minggu. Hitung-hitung sebagai balas dendamnya pada kesibukan yang menyita selama ia duduk di kelas sebelas.

"Kalau kakak kuliah, kamu sendirian di apartemen, nggak apa, 'kan?"

Khanza mengangguk karena sekarang perhatiannya tersita pada suasana kota Jakarta yang sangat ramai dan padat. Namun, entah mengapa Khanza sama sekali tidak terusik, senyum bahagianya masih sama sejak ia menginjakkan kaki di bandara tadi sekitar dua puluh menit yang lalu.

Sadar akan satu hal, Khanza mengambil ponsel dari dalam tasnya kemudian mencari kontak seseorang yang juga ikut bahagia saat ia mengatakan akan mengisi liburan di kota Jakarta. Ah, sepertinya kota ini akan selalu masuk dalam list kunjungan saat ia akan melakukan trip.

Khanza Ashadiyah: Aku udah nyampe, An.

Lima detik kemudian Khanza mendapatkan balasan dari Rian, seseorang yang tahu bagaimana perasaannya saat ini.

Rian Fajar: Alhamdulillah, Have fun, ya.

Tersenyum Khanza membalas chat dari Rian, kemudian menyimpan kembali ponselnya. Sepuluh menit kemudian ia menghela napas lega saat mobil yang ditumpangi memasuki gedung apartemen.

"Kalau di sini jangan keluyuran, ya, takutnya nanti kamu nyasar," canda Andra sambil mematikan mesin mobil.

"Sejak kapan aku suka keluyuran, Kak?" Khanza lebih dulu membuka pintu mobil.

Tersenyum Andra keluar dari mobil tersebut kemudian membuka pintu bagasi dan mengambil koper kecil milik sang adik. Menyeret koper tersebut, ia mengangguk kepada Khanza memberikan kode untuk mengikuti langkahnya.

"Apartemen kakak ada di lantai berapa?" Khanza mensejajarkan langkahnya dengan langkah sang kakak.

"Tiga," jawab Andra. "Nanti kamu yang masak, ya."

Khanza menoleh. "Loh kok gitu? Di sini, kan, aku sebagai tamu."

Andra mengangkat tangan kemudian merangkul bahu adiknya. "Di sini harus irit, kalau nggak masak, ya, jadinya harus beli makanan cepat saji. Jadi mahasiswa itu kebutuhannya banyak, kalau nggak masak, uang jajan cepat habis," jelasnya.

"Jadi Kakak masak?" tanya Khanza sambil menoleh menatap wajah samping kakaknya.

"Jarang, sih, palingan masak mi doang," aku Andra membuat adiknya mendengkus. "Mumpung ada kamu, jadinya kakak bisa irit."

Khanza melepas rangkulan kakaknya. "Nggak aah," ucapnya.

"Ya udah, kalau gitu jangan ngeluh lapar."

Berdecak, Khanza merasa kalah. "Iya deh, iya." Terpaksa.

---

"Pakai hijabnya masih gini-gini mulu, nggak ada peningkatan?" Sebenarnya itu sebuah pernyataan, tetapi Andra menjadikan hal itu sebagai pertanyaan untuk mendapatkan respon dari adiknya.

"Hehe." Hanya itu respon Khanza saat gadis itu keluar dari kamar dan duduk di ruang tengah bergabung bersama kakaknya menikmati sore hari dengan menonton acara talkshow di TV. "Maunya, sih, tetap pakai hijab meskipun di rumah, tapi susah, Kak. Aku udah coba."

"Ya, kamu niatnya belum penuh, sih," ujar Andra lalu menoleh ke arah adiknya. "Jawab pertanyaan Kakak, kenapa milih Jakarta?"

Ditanya seperti itu Khanza menatap wajah sang kakak dengan wajah tak mengerti pada pertanyaan tersebut. "Maksud Kakak?" Ia menyuarakan ketidakpahamannya.

"Maksud Kakak, kenapa milih Jakarta buat ngisi liburan kamu?"

Khanza membulatkan bibirnya. "Karena di sini ada Kakak."

Belum puas dengan jawaban tersebut Andra menyela untuk membuat adiknya itu mengatakan dengan jujur maksud dan tujuan datang ke kota ini. "Tapi, kan, kamu tahu Kakak sibuk dan nggak bisa nemenin kamu liburan."

Mengedikkan bahu Khanza enggan memberikan jawaban. "Kangen sama Kakak," alasannya, padahal dua bulan lalu mereka telah bertemu.

"Bohong," tembak Andra.

Khanza yang sebelumnya duduk tegak, akhirnya bersandar kemudian menoleh ke arah kakaknya. Bukan bermaksud tidak ingin memberi tahukan tujuannya, tetapi Khanza sedikit takut mengatakan yang sejujurnya pada Andra. Khanza takut kakaknya memandang rendah dirinya.

Meskipun ini normal pada seseorang yang telah jatuh hati, tetapi ia tahu betul bagaimana kakaknya ini. Andra, kakak laki-laki Khanza yang tak suka dengan kelakuan seperti itu, baginya perempuan harus menunggu dan bukan mengejar.

"Kakak jangan marah," ucapnya.

Helaan napas Andra membuat Khanza sadar apa yang ia lakukan salah. Seharusnya tak sejauh ini, seharusnya ia berhenti saat seseorang yang selalu menyita pikirannya telah lama tak memberikan kabar. Ah, begitulah Khanza yang terlalu kelebihan tekad.

"Kakak anggap kamu ke sini buat nemenin Kakak," timpal Andra kemudian tak ada percakapan lagi. Keduanya diam menatap layar televisi, meskipun pikiran mereka melayang ke satu orang.

Lima menit terdiam, Andra mendengkus. Tatapannya belum berpindah seinci pun, televisi masih menjadi objek. Gerakan di sebelahnya membuat Andra menoleh menatap sang adik yang juga menatapnya.

"Dia udah nggak kayak dulu lagi," ucap Andra, dari nada bicaranya Khanza tahu tak ada kebohongan.

Setelah itu tubuh Khanza melemas rapuh, meskipun begitu dia tetap menolak untuk percaya. Ah, pantas saja hatinya telah patah sejak jarak ini tercipta.

-----