Bab 2
Duduk diam di kursi penumpang, Khanza menatap gemerlap lampu-lampu ibu kota. Jika siang tadi senyumnya mengembang saat duduk di tempat yang sekarang ia duduki, berbeda dengan detik ini. Tak sedikit pun senyum tersemat di bibir mungilnya.
Andra merasakan perubahan tersebut, itu sebabnya ia mengajak Khanza keluar dari apartemen dan menuju restoran untuk mengisi perut. Ia masih ingat, saat sedang seperti ini pelarian adiknya hanyalah makanan.
"Ini tempat Kakak ngisi perut," ucap Andra memecahkan kesunyian saat mobil memasuki pelataran parkir. "Biasanya kalau jam segini temen-temen Kakak udah pada ngumpul buat makan malam."
Andra segera memarkirkan mobil saat mendapatkan ruang kosong. Matanya melirik mobil yang berada di sebelah mobilnya kemudian membunyikan klakson saat tuan mobil tersebut keluar dari sana.
Mematikan mesin mobil, lelaki itu segera keluar dari mobil tersebut. "Tahu lapar juga lo," ucapnya pada seseorang yang menjadi alasan membunyikan klakson tadi.
"Lo pikir gue nggak punya perut?" Terkekeh, lelaki yang menjadi lawan bicara Andra mengalihkan perhatian kepada sosok yang baru saja keluar dari mobilnya.
Menengok ke belakang Andra tersenyum. "Adik gue," ucapnya pada teman sekelasnya itu.
"Oh." Dito membulatkan bibir. "Pantes mirip," tambahnya.
Berjalan santai menuju tempat tujuan, ia mengajak sang adik dengan anggukan kepala. Khanza mendekat menyamakan langkah. Khanza sedikit lega, ternyata kakaknya bisa berbaur dengan cepat di kota metropolitan ini.
"Adik lo datang dari Semarang?" tanya Dito pada Andra meskipun ia tahu yang sedang ditanyai sudah bergabung dengan mereka.
"Yep, baru nyampe tadi siang," jawab Andra kemudian menggenggam tangan adiknya saat mereka telah masuk di restoran yang malam ini hampir tak menyisakan tempat untuk mereka.
Beruntung Andra menyadari lambaian tangan seorang perempuan dari arah kanan mereka. Maya, perempuan yang paling berisik di kelas mereka, bukan berarti Dito dan Andra dekat dengan Maya, tetapi karena Erik, teman sekumpulan mereka berdua, memiliki hubungan spesial dengan perempuan tersebut.
Melangkahkan kaki menuju meja yang kini ditempati dua sejoli itu, Arah pandang Erik dan juga Maya mengarah pada Khanza, membuat yang bersangkutan merasa tak nyaman.
"Adik gue, Khanza." Andra memperkenalkan sesampai di meja tersebut.
Kakaknya itu tahu tentang ketidaknyamanannya, buktinya Andra langsung menjelaskan siapa ia sebenarnya. Khanza tak suka ditatap berlebihan, itu sebabnya ia selalu enggan mengenal orang baru.
Khanza berbeda dengan kakaknya yang cepat berbaur, ia terkesan menetap pada satu titik jika telah merasa nyaman dan sampai sekarang Khanza selalu takut keluar dari zona nyamannya.
"Gue pikir gandengan lo," ujar Maya.
Andra tak menanggapi itu. "Dek, ini namanya Maya," ucapnya mengenalkan Khanza pada perempuan itu. "Yang ini Erik pacarnya, dan yang ini Dito," lanjutnya kemudian. "Mereka teman sekelas Kakak," jelasnya lagi.
Khanza tersenyum. "Khanza," ucapnya memperkenalkan diri pada ketiga teman kakaknya.
"Hai Khanza," sapa Maya dengan senyum ramah. "Eh, duduk, duduk." Tangan menarik kursi yang berada di sebelahnya mempersilakan Khanza untuk duduk.
Khanza duduk di sebelah Maya, sedangkan Andra duduk di sebelahnya. Sedikit demi sedikit ia telah melupakan keresahan, apalagi saat buku menu berada di hadapannya.
"Udah kelas berapa, Za?"
Mendengarkan pertanyaan itu, Khanza mengangkat pandangan dari buku menu, menoleh kepada perempuan yang duduk di sebelahnya. "Kelas dua belas," jawabnya diakhiri dengan senyuman kecil.
Maya, saat pertama kali melihat perempuan itu Khanza langsung tahu bagaimana pembawaan, serta sifatnya. Ia pun yakin dari keluarga mana perempuan itu berasal. Sedikit takut, kakaknya akan salah pergaulan jika berteman dengan mereka yang terlihat mewah.
Setelah memesan makanan, Khanza larut dalam ponselnya. Membuka aplikasi LINE dan menuju ruang chat-nya bersama Rian. Ada beberapa hal yang membuat ia ragu untuk bertemu sosok yang menjadi tujuan utamanya ke kota ini, itu sebabnya Khanza ingin menutup mulut Rian agar kabarnya yang sedang berada di Jakarta tak sampai ke telinga lelaki itu.
Rian masih berhubungan baik dengan Dhan, berbeda dengan Khanza yang sama sekali hilang kontak. Meskipun sebenarnya ia bisa lebih dulu menghubungi lelaki itu, tetapi sampai sekarang tak pernah dilakukan.
Lima menit Khanza saling berbalas chat dengan Rian, matanya beralih pada sang kakak yang kini sedang asyik mengobrol. Apa yang dikatakan Andra tadi sore kembali teringat olehnya. Ia mencerna ucapan itu, kakaknya mengatakan hal tersebut hanya untuk membuatnya tahu atau terdapat larangan di ucapan tersebut?
Mengerutkan kening, Khanza kembali menatap layar ponsel. Rian masih terus bertanya apa alasannya merahasiakan kedatangannya. Ia mengunci layar ponsel kemudian memasukkan benda itu ke dalam tas kecilnya.
Mau tak mau Khanza ikut larut dalam obrolan Andra dan ketiga temannya, meskipun ia sama sekali tidak membuka mulut dan hanya menjadi pendengar. Obrolan mereka tidak lebih dan tidak kurang hanya tentang Dosen. Sedikit-sedikit Khanza tahu bagaimana rasanya menjadi mahasiswa, sepertinya menyenangkan, tetapi terasa sulit.
Pesanan datang, tak menunggu lama ia langsung menyantap makanan tersebut. perutnya sudah sangat mendamba ingin diisi dan kakaknya malah memilih restoran yang penyajiannya lama.
----
Khanza tak percaya ke mana Andra membawanya. Lapangan basket yang berada di komplek rumah Dito. katanya, Andra sering bermain basket di sini bersama teman-teman kampus, dan Khanza hanya mengangguk saja saat sang kakak mengatakan menerima ajakan Dito untuk bermain basket malam ini.
Khanza duduk di kap mobil Andra, melihat kakak laki-lakinya yang sedang melakukan pemanasan. Terdapat tiga orang berada di lapangan, dan kelihatannya mereka sedang menunggu yang lain datang, terlihat dari gelagat Dito yang terus menempelkan ponsel ke telinga.
Maya sudah tak bersama mereka, perempuan itu berpisah saat keluar dari restoran. Jadilah Khanza tak memiliki teman untuk menonton permainan basket kakaknya. Ah, sudah sangat lama ia tak melihat hebatnya Andra di lapangan. Jika ini adalah turnamen, pasti abinya tak berhenti untuk membangga-banggakan kakaknya itu.
Khanza rindu berada di hari-hari itu, saat Andra masih tinggal bersama mereka. Sekarang ia tak punya teman di rumah, meskipun uminya selalu berada di rumah, tetapi tetap saja merasa kehilangan.
"Abang!"
Ia menoleh ke asal suara, seorang lelaki yang mungkin seumurannya berdiri di sebelah mobil Andra dan berteriak memanggil seseorang, tentu saja satu di antara Erik dan Dito.
"Apa?" Yang dipanggil menjawab, dan Khanza langsung tahu adik siapa yang malam-malam begini berteriak di tempat umum. Adiknya Dito.
"Gue ikut main, ya," ucap lelaki itu, yang Khanza belum tahu siapa namanya.
"Nggak! belajar sana!" balas Dito tegas dan tak ingin dibantah.
Mendengkus, lelaki itu hendak melangkah menghampiri Dito, tetapi langkahnya terhenti. Ah, sepertinya ia sadar sedang diperhatikan oleh seseorang, buktinya langsung menoleh pada Khanza.
Mengerutkan kening lelaki itu mendekat. "Pacarnya kak Andra?" tanyanya.
Ditanya seperti itu Khanza langsung menggeleng. "Adiknya."
"Dari Semarang?" tanyanya lagi dengan nada sedikit ... terkejut?
"Iya," jawab Khanza lagi.
"Gue Leon, adiknya Bang Dito." Leon mengulurkan tangannya berkenalan.
Menyambut tangan itu, Khanza memberikan senyum kecil. "Khanza."