Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

"Masuk Dhan," ucap Andra saat ia membuka pintu dan melihat si pelaku yang memencet bel. "Khanza masih mandi. Maklum, cewek mandinya lama," tambahnya membuat lawan bicara tertawa kecil.

Ini kali pertama Dhan ke apartemen Andra, tentu saja ia merasa canggung. Ada beberapa alasan yang membuatnya bersikap seperti orang baru di hadapan Andra.

"Udah sarapan?" Andra melangkah ke ruang tengah.

"Udah, kok, Kak," jawab Dhan.

"Duduk, dong. Kayak orang baru kenal."

Dhan mengikuti ucapan Andra, ia duduk di sebelah kakaknya Khanza, mata mereka tertuju ke arah TV. Sembari menunggu perempuan itu selesai bereksperimen di dalam sana, ia memilih larut dalam tontonan Andra.

Sebenarnya Andra tak sepenuhnya menaruh perhatian pada apa yang ditayangkan layar di hadapannya ini. Perhatian Andra terbagi pada lelaki yang berada di sebelahnya, bukan tentang apa yang dibicarakan dengan Khanza semalam, tetapi tentang kedatangan Dhan. Rasanya ia sedang melepas sang adik pada seorang lelaki yang dipercayai.

Dalam hal ini Andra berpikir sebagai pengganti sang abi, kala pria itu tak berada di sampingnya. Sekarang Andra yang memiliki tanggung jawab penuh atas Khanza, dan ia tak pernah menyangka membiarkan adiknya diajak oleh seorang lelaki keluar apartemen tanpa pengawasannya.

Khanza sudah semakin dewasa, sudah waktunya Andra mengikuti arus, tetapi tetap berjaga. Jika Andra lengah sedikit pun, atau tak memberikan kesan tegas nan menakutkan, maka jangan salahkan dunia jika nanti harga dirinya akan diinjak oleh calon ipar.

apakah sudah waktunya?

Andra menghela napas, hari ini ia akan sangat sibuk karena harus mengerjakan tugas. Bekerja sendiri akan terasa sulit, meninggalkan Khanza sendirian sampai malam hari juga bukan pilihan yang tepat. Apa salahnya jika Andra percaya pada Dhan? setidaknya hanya untuk hari ini saja.

"Hari ini Khanza bareng kamu, ya, Dhan," ucap Andra tanpa memindahkan pandangan seinci pun dari arah TV. "Nanti malam Kak Andra jemput di rumah kamu."

"Hah?" Bukannya menolak, tetapi Dhan kaget dengan ucapan Andra. "Serius, Kak?"

"Nggak bisa, ya?"

"Nggak, bukan gitu," sanggah Dhan sambil menggeleng, "maksud aku, Kak Andra nggak salah ngomong?"

"Aelah ... Dhan." Andra menoleh menatap mantan adik kelasnya itu. "Emang aku kelihatan nggak serius?" Dhan diam. "Gini, ya, Dhan. Hari ini aku sibuk ngerjain tugas di rumah temen, daripada Khanza sendirian di sini, mendingkan sama kamu sekalian, kalau tugas aku udah selesai, langsung, deh, jemput Khanza," jelasnya, dengan dialek sedikit medok.

"Ooh." Dhan membulatkan bibir. "Boleh banget, kok, Kak. Nginep juga nggak apa-apa."

Andra mendengkus. "Jangan macam-macam ya Dhan."

Dhan menggigit lidahnya. "Maaf, Kak, salah ngomong."

"Tapi jujur," timpal Andra membuat Dhan menggaruk belakang kepalanya.

-----

"Nggak percaya sama aku?"

Khanza menatap Dhan yang duduk di belakang kemudi. "Serius, kamu bisa?" tanyanya ragu.

"Tenang aja, aku udah lama belajar ngendarain, nih, si Hitam," jawab Dhan sambil menyalakan mesin mobil.

"Pelan-pelan Dhan."

"Iya, iya." Dhan mulai menjalankan mobil. "Aduh, aku jadi gugup, nih. Soalnya baru kali ini ada cewek duduk di kursi itu."

"Apaan, sih." Khanza memalingkan wajah, takut dikira tersipu karena ucapan itu.

Dhan terkekeh. "Aku serius." Ia sekilas menoleh ke arah Khanza. "Bunda seneng banget pas tahu kamu di Jakarta. Nanti kalo udah nyampe, jangan lupa salim sama bunda, ya."

Khanza tersenyum geli, lelaki itu tak pernah se-jayus ini di hadapannya. "Ya iyalah, salim," timpalnya.

Masih dengan wajah bahagianya, Dhan membelah jalanan ibu kota menuju rumah sang kakek. Ya, sekarang Dhan tinggal bersama kakek dan neneknya dari sebelah ibu. Jika saat weekend, ia akan mengunjungi rumah orang tua Kenan. Tentu saja rumah itu sangat sunyi, karena mereka hanya memiliki satu anak yang sekarang entah berada di mana.

Dua tahun ini Dhan tak mendengarkan kabar tentang pria itu, sebisa mungkin ia tutup telinga. Terakhir kali ia dengar, Kenan harus mendekam di dalam lapas akibat laporan dari mantan calon istri. Setelahnya Dhan tak tahu apa-apa tentang pria itu.

"Kenapa nggak ngajakin Rian?" Dhan membuka percakapan.

"Dia nggak mau ninggalin Della."

Dhan hampir saja menginjak rem saat mendengarkan pernyataan Khanza. "Della temen kamu?"

Khanza mengangguk. "Mereka pacaran, kalau lagi bareng, aku kayak obat nyamuk." Setelahnya ia tersenyum ngeri.

"Rian nggak pernah cerita." Tiba-tiba kekesalan Dhan pada sahabatnya itu semakin bertambah.

"Mungkin dia malu ngasih tahu." Perempuan itu menoleh pada Dhan. "Kan, kamu udah tau, nggak usah sok kesel kayak gitu kali."

"Nggak kesel, kok." Dhan menoleh pada Khanza sekilas. "Cuma nggak suka, sekarang Rian banyak rahasianya."

Khanza mengulum bibir. "Emang, sehari berapa kali chat-an sama Rian?"

Dhan memutar kemudinya saat menemukan perempatan jalan. "Bisa dua atau tiga?" Ia sendiri tak yakin sehari berapa kali mengirimkan chat pada Rian. "Biasanya chat, biasanya VC, biasanya teleponan. Tapi Rian nggak pernah ngasih tahu apa-apa tentang dia. Emang mereka udah berapa lama jadian?"

"Udah setahun mungkin?" jawab Khanza sedikit kurang yakin dengan jawabannya.

"Tuh, anak bener-bener." Ia menggelengkan kepala.

"Kenapa, sih, emang?" Perempuan itu penasaran, kenapa Dhan bereaksi berlebihan hanya karena mendengarkan kabar tentang Rian.

"Dia udah demen ama Della sejak kita MOS. Tiap hari curhat mulu tentang Della, telinga aku udah full ama namanya Della. Pas udah jadian malah nggak ngasih tau aku," jelasnya. "Tapi, sih, sebenarnya aku nggak perlu berlebihan, ya, karena kabar ini. Cuma karena Rian nggak ngomong tentang kamu ke sini, jadinya kesel aku bertambah."

Khanza mengulum senyum. "Itu aku yang nyuruh tahu," ucapnya membuat Dhan menoleh, meskipun sekilas, Khanza bisa melihat wajah terkejut lelaki itu.

"Kenapa?"

Khanza tak bisa memberikan alasan yang benar. Sebelumnya ia berpikir Andra melarangnya untuk berhubungan dengan Dhan lagi, kemudian ia menambahkan alasan tak ingin tahu seberapa berubahnya lelaki itu sekarang. Ia takut Dhan tak seperti saat dulu mereka masih berada di Semarang. Diabaikan itu tak enak, begitulah pikirnya.

"Surprise," tutur Khanza, membuat Dhan menarik dua ujung bibir.

"Bisa aja kamu." Dhan kembali rileks setelah sekian detik ia dibuat terkejut oleh fakta yang dilontarkan oleh Khanza.

"Rumah kamu jauh ternyata." Khanza melihat ke luar jendela.

"Bukan rumah aku, tapi rumah kakek dan nenekku."

Khanza menoleh pada Dhan. "Serius? iih ... keren tinggal sama kakek dan nenek. Pasti kamu dimanja."

Ia tersenyum miring. "Bukan lagi," ujarnya membuat Khanza menggeleng kepala, "tapi aku nggak mau, Za. Masa, iya, udah umur enam belas tahun masih disuapin nenek."

Perempuan itu tertawa kecil. "Tapi, apa yang kamu mau pasti dituruti, 'kan?"

Dhan mengangguk. "Tapi bunda sering batasi. Aku juga jarang minta sesuatu."

"Terus, mobil ini?" Khanza merasa seperti sedang mengintrogasi Dhan. b

Bukan bermaksud terlalu ingin tahu tentang lelaki itu, hanya saja ia sedang mencari kesederhanaan Dhan yang dulu.

"Kakek yang beliin." Dhan mengeratkan bibir. "Ayahnya Om Kenan," tambahnya kemudian.

Khanza diam, ia menatap wajah samping lelaki yang berada di sebelahnya. Beberapa detik yang lalu wajah Dhan terlihat santai, tetapi sekarang beraura kelam. Khanza sangat jelas melihat hal itu. "Enak, ya. kakek nenek kamu masih lengkap."

Dari tempatnya duduk, Khanza bisa melihat sudut bibir Dhan terangkat menandakan bahwa lelaki yang hilang beberapa detik sebelumnya, telah kembali. Tentu saja Dhan yang penuh rasa benci hanya singgah beberapa detik.

"Pintar banget ngalihin," ucap Dhan masih dengan senyum di wajahnya.

----

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel