Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

"Tadi ngomongin apa aja sama Dhan?"

"Kepo."

"Iih ...." Andra terkekeh. "Ngomong apa?" desaknya pada Khanza yang kembali memperlihatkan senyum persis seperti saat pertama kali adiknya itu menginjakkan kaki di kota tersebut.

"Banyak." Khanza menghadapkan tubuh ke arah Andra yang sedang mengemudi. "Kenapa Kakak ngizinin aku pergi sama Dhan?"

"Emang kenapa?" Andra sekilas melihat ke arahnya. "Nggak suka kamu?"

Khanza menggeleng. "Bukan itu maksud aku." Ia berharap kakaknya mengerti maksudnya, karena Khanza sangat malas untuk menjelaskan dari awal.

"Kakak nggak mau liburan kamu jadi sia-sia."

Bukan jawaban itu yang Khanza inginkan. Apa salahnya ia merasa curiga saat dengan sangat jelasnya masih mengingat bagaimana Andra dengan terang-terangnya memperlihatkan sikap tidak sukanya pada Dhan. Lalu, Khanza pun masih mengingat apa yang dikatakan Dhan tadi tentang hubungan mereka berdua yang kini tidak sedekat dulu lagi.

Itu berarti Dhan mengetahui sikap tidak suka Andra pada lelaki itu. Lalu dengan santainya kakak Khanza ini, mengizinkan Dhan jalan bersama Khanza bahkan hanya dengan sekali berucap tanpa harus ada nada permohonan di sana.

"Ada kemajuan, 'kan?" Andra membuka suara setelah diam beberapa detik. "Dhan akhirnya mau ke gedung apartemen itu," lanjutnya.

Khanza mendengkus. Ia kembali melihat ke jalanan, meskipun menurutnya apa yang direncanakan sang kakak sangat baik, tetapi Khanza tak suka jika kakaknya penuh rahasia. "Kakak, ah!" gerutunya.

Andra tertawa kecil. "Kakak nggak tahan ngelihat Dhan semakin menjadi." Suara Andra terdengar tenang. "Dan Kakak rasa Om Kenan juga udah dapat balasannya, jadi mereka sudah impas."

"Itu masalah mereka, Kak," timpal Khanza membuat kakaknya menarik ujung bibir.

"Apa salahnya, sih, membuat orang berdamai?" Andra memutar setir mobil menuju gedung apartemen. "Selama kamu di sini aja, Za, habis itu kakak nggak ikut campur apa yang terjadi di keluarga itu, dan juga antara kamu dan Dhan."

Lalu Khanza diam memikirkan apa yang akan ia katakan selanjutnya. "Tahu, ah, serah kakak."

Andra menyunggingkan senyum geli, meskipun protes, ia tahu adiknya tak akan menolak rencananya ini. "Kakak berharap banyak sama kamu." Ia mengulurkan tangan, menepuk puncak kepala Khanza.

-----

Debarannya masih ada meski sudah beberapa jam berlalu, suaranya masih terngiang meski ia mencoba untuk tertidur, senyumnya, wajahnya, Dhan tak bisa mengelak bahwa ia masih merasakan apa yang dirasakan dua tahun lalu pada perempuan yang saat ini mampu mengambil setengah kewarasannya.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat, selama itu pula Dhan merindukan permaisurinya. Lalu apa daya seorang Dhan yang belum mampu menjemput perempuan itu, kala ia pun belum terlalu tangguh menjadi sandaran.

Tiba-tiba saja ia merasa mual dengan pemikirannya. Memeluk guling, Dhan tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun. Saat ia memejamkan mata, saat itu pula yakin tak akan bisa tertidur karena Khanza terus berlari di pikirannya. Bisa saja gila jika tak bisa mengontrol pikirannya yang malam ini berubah menjadi tak waras.

"Astaghfirullah," ucapnya sambil membuka mata.

Dhan bangun kemudian mengambil ponsel, menelepon seseorang yang malam ini menjadi jembatan menuju kebahagiaan. Ia tak menyangka Leon bisa membuatnya tak henti mengucapkan terima kasih atas kejutan ini.

"Woi," ucapnya saat gumaman Leon terdengar. "Udah tidur lo?"

"Hhmm ...."

Hanya itu jawaban dari seberang sana. Meskipun begitu Dhan tetap tersenyum bahagia. "Makasih banget, Le. Sumpah malam ini gue seneng banget."

"Kampret lo! Gue ngantuk, goblok!"

Dhan terkekeh kemudian memutuskan secara sepihak sambungan tersebut. Sebenarnya i telah mengucapkan terima kasih tadi sebelum pulang ke rumahnya, tetapi meskipun begitu Dhan akan tetap mengucapkan terima kasih meski ini sudah kesekian kalinya.

"Ceritain ke bunda nggak, ya?" Dhan melirik pintu kamar. "Nggak-nggak, bunda udah tidur," lanjutnya.

Dhan kembali ke rumah hampir menyentuh pukul sebelas malam, dan saat ia sampai, yang masih membuka mata hanyalah kakeknya, pria tua itu sedang menunggunya pulang. Jangan berpikir Dhan akan diomeli, karena yang sering mengomelinya hanyalah sang bunda. Kedua kakek dan neneknya dan bahkan pamannya sekalipun tak pernah mengomelinya.

Sudahkah Dhan katakan bahwa di Jakarta ia seperti pangeran?

Beginilah kehidupannya, di umur yang baru saja menginjak angka enam belas, Dhan masih saja merasa diperlakukan seperti anak kecil. Mungkin ini karena orang-orang dewasa itu merasa bersalah, atau mungkin karena ia belum memiliki KTP.

Abaikan yang terakhir.

Dhan kembali merebahkan tubuh, ia harus tidur karena besok akan menjemput calon permaisurinya menuju istana yang akan membawa keduanya menuju jembatan  kebahagiaan. Astaga, sepertinya otaknya harus segera dicuci jika tak ingin kegilaan ini akan berlanjut.

Dhan kembali mengambil ponsel, kali ini ia membuka ruang chat-nya dengan Rian, sahabatnya itu tak memberitahu tentang Khanza yang sekarang berada di Jakarta, pantas saja Rian tak pernah lagi membalas chat-nya.

Rafardhan: aku ketemu Khanza, tega nggak ngasih tau.

Dhan menatap langit-langit kamar, ponselnya ditaruh di sebelahnya, meskipun ia tahu Rian tak akan membalas, tetapi Dhan setia menunggu respon dari sahabatnya itu. Sepertinya malam ini Dhan tidak akan tidur.

Lagi-lagi mengulang kembali kejadian beberapa jam yang lalu di kepalanya. Harus Dhan akui, tinggi Khanza bertambah, telah mencapai telinganya. Lalu pipi perempuan itu berisi, dan Khanza tak tahu seberapa besar keinginannya untuk menyentuh perempuan itu.

Dhan bersyukur ia tak melakukannya, ujung sepatu Khanza menjadi pelariannya. Sangat tidak etis perempuan baik-baik disentuh olehnya. Tunggu saatnya nanti, saat Dhan sudah siap menjadi sandaran. Di umur yang seperti ini, ia tahu adalah umur yang masih main-main, belum ada keseriusan. Lalu, ia bisa apa selain berusaha menjaga hatinya, dan juga memeluk Khanza dari jauh.

------

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel