Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Bulan masih setia menerangi langit saat Khanza dengan susah payahnya menormalkan degup jantung. Bintang masih menghiasi angkasa, saat ia tak tahu harus berbuat apa selain menatap sepatu yang dipakai oleh lelaki itu.

Khanza tahu ini yang ia inginkan, tetapi mengapa rasanya sangat sesak. Ini menyiksa, rindu yang menguap keluar menyiksa jantung, dan bahkan seluruh anggota tubuh berubah menjadi kaku. Khanza tak tahu sedalam ini perasaan yang ia rasakan, dan ia pun tak tahu sejak kapan rasa ini meluas. Rasanya sangat cepat, seperti riak air yang menyentuh hingga tepi danau.

Hampir dua tahun lelaki itu tak bertatap muka dengannya, selama itu pula Khanza tak bisa melenyapkan Dhan dari dalam ingatan. Astaga, seharusnya ia merasa bahagia karena ini yang diinginkan. Khanza merindukan lelaki itu, kenapa sangat sulit bahkan hanya untuk menatap wajahnya.

"Za."

Suaranya ....

Khanza memejamkan mata, ia berusaha untuk mengangkat kepala. Efek bertemu Dhan sedahsyat ini, benar-benar dibuat sibuk dengan perasaanya. Ia pikir perasaan yang tumbuh dengan sendirinya dan terus dibiarkan tidak akan membawanya dalam masalah. Aah ... tidak, hanya Khanza yang menganggap masalah, karena ini pertama kali untuknya.

Menghela napas, ia mendongak berani menatap mata Dhan. "Hai," sahutnya berusaha menyunggingkan senyum santai.

Lelaki itu tak membuka mulut, hanya diam menatap wajah Khanza yang perlahan menghilangkan senyumnya saat tak mendapatkan respon yang dipikir Dhan akan membalas sapaan. Ternyata tidak, hanya diam yang diberikan padanya.

Ditatap seperti itu, Khanza menunduk berusaha menyembunyikan wajah. Bukannya malu, hanya saja ia harus kembali beradaptasi dengan tatapan Dhan. Mereka sudah lama tidak bertemu, itu sebabnya Khanza tak lagi sama seperti saat Dhan meninggalkannya.

Tanpa ia duga, Dhan berlutut di hadapannya. Seperti tak menghiraukan ketidaknyamanan Khanza yang ditatap seperti itu, Dhan malah mengabsen wajah Khanza, dimulai dari mata hingga berhenti di dagu perempuan itu.

"Ini kamu?"

Suara Dhan masih sama seperti dulu, lembut dan membuat nyaman. Namun, saat ini suara itu mampu memporak-porandakan apa yang ada di dada kirinya. Astaga, mati-matian Khanza berusaha membuat degup jantung kembali normal, dan hanya dengan mendengar dua kata tersebut, ia harus mengalami kesusahan.

"Hm ...." Khanza mengangguk sekali, ia tersenyum kaku. "Apa kabar?" tanyanya berusaha mencairkan suasana.

"Baik." Dhan mengucapkan itu masih dengan tatapan tak percaya bahwa Khanza berada di hadapannya. "Kamu di sini?" Ia mengeluarkan pertanyaan yang entah kenapa keluar begitu saja. "Iya, ini kamu," ujarnya kemudian.

"Bunda kamu apa kabar?" Khanza mengabaikan sikap Dhan yang benar-benar di luar perkiraannya.

Dhan berdiri, tetapi sedetik kemudian ia duduk di rumput hijau yang dipijaki, masih dengan mata menatap Khanza. "Baik," jawabnya, kemudian mata beralih ke alas kaki Khanza menyentuh ujung sepatu tersebut, kemudian kembali mendongak untuk menatap. "Iya, kamu nyata."

"Emangnya aku hantu?" sungut Khanza yang mampu membuat Dhan tersenyum, kemudian lelaki itu kembali berlutut.

Mati-matian Dhan menahan tangannya untuk tidak menyentuh Khanza, ia menyembunyikan tangan di balik punggung, matanya tak lepas dari mata Khanza yang terlihat sedang tersenyum geli melihat kelakuannya. "Za, aku nggak mimpikan?" tanyanya membuat Khanza tertawa kecil.

"Berdiri Dhan." Perintah lembut Khanza yang langsung dituruti oleh Dhan. Ia mendongak untuk bisa melihat lelaki itu. Harus diakui Dhan bertambah tinggi dan juga tubuhnya lebih berisi. Terlihat jelas dalam keadaan baik-baik saja selama mereka terpisah. "Kamu ke sini mau main basket juga?"

"Biasanya, sih, gitu, kalau mereka ngajakin."

Detik kemudian Khanza berdiri, membuat lelaki itu mundur selangkah. "Kamu satu sekolahan sama Leon?" tanyanya lagi, sambil menoleh ke arah di mana Leon duduk, dan ternyata sudah tak berada di sana.

"Iya, dia sepupu aku." Sebenarnya Dhan pun ingin bertanya, tetapi ia masih larut dalam keterkejutannya. "Za ...," gumamnya.

"Ya?"

Tersenyum, Dhan menggeleng. "Kamu nyata," ujarnya.

Terkekeh Khanza menutup pintu mobil Andra. "Tadi Leon ke mana, ya?" Sebenarnya ini bukan urusannya, tetapi tetap saja penasaran ke mana lelaki itu yang tiba-tiba menghilang.

"Kenal Leon di mana?"

Khanza menarik ujung bibir. "Di sini, dua hari yang lalu."

Dhan diam, mata beralih mencari seseorang. Khanza tahu siapa yang dicari oleh lelaki itu, ia membiarkan Dhan berjalan meninggalkannya berjarak lima langkah untuk mencari Leon, tetapi tak ditemukan. Entah di mana dia.

"Pakek nggak ngomong ke gue," gerutu Dhan saat kembali berjalan ke arah Khanza. "Serius, Za, aku nggak tahu kamu di sini. Rian tahu kamu ke sini?"

Khanza mengangguk.

Dhan langsung mendengkus. "Dia juga nggak ngomong ke aku."

Khanza tersenyum melihat Dhan, sangat jelas terlihat lelaki itu sedang kesal. "Kak Andra nggak ngomong?"

Seketika wajah kesal Dhan menghilang. "Kak Andra sama aku nggak sedekat dulu."

-----

"Kata Rian, kamu jadi ketua OSIS."

Khanza mengangguk membenarkan ucapan Dhan, lelaki itu terus mengikutinya berjalan melihat deretan kemasan camilan yang akan segera masuk ke dalam perut. Jika diingat-ingat, ini kedua kalinya Dhan mengajaknya ke mini market.

Dulu saat masih berada di sekolah yang sama dan masih berada di kelas yang sama, mereka pernah mengalami situasi seperti ini, bukan hanya apa yang mereka beli, tetapi juga kecanggungan yang terjadi sama seperti saat ini.

"Hebat, ya, kamu," puji Dhan, membuat Khanza mengulas senyum saat menoleh ke arahnya.

"Biasa aja. Kalaupun kamu ada, pasti kamu yang bakalan jadi ketua OSIS." Khanza mengambil dua batang cokelat dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dipegang oleh Dhan.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam saat lelaki itu mengajaknya ke mini market yang berada di seberang jalan gapura perumahan. Khanza mengiyakan ajakan tersebut dan tentu saja sebelum pergi mereka berdua meminta izin kepada Andra. Meskipun kakaknya sudah mengenal Dhan, bukan berarti mereka pergi begitu saja tanpa izin.

Reaksi Andra sangat berbeda jauh dari apa yang dikatakan Dhan sepuluh menit sebelum mereka memutuskan untuk pergi menuju mini market. Kakak laki-laki Khanza itu, dengan santainya mengizinkan seperti tak terjadi apapun antara kedua lelaki itu.

Bukan berarti Khanza mengatakan bahwa Dhan berbohong, ia mengenal lelaki itu. Sekali berkata, pasti jujur, jika pun ingin berbohong, lebih baik diam. Itulah Dhan yang Khanza kenal saat mereka masih berada di kelas yang sama.

"Maaf, ya, aku nggak pernah hubungi kamu," ucap Dhan tanpa berpikir sedang di mana mereka sekarang.

Khanza yang hendak melangkah ke kasir setelah menaruh belanjaan terakhir mereka ke dalam keranjang—menghentikan langkahnya. Sungguh mati, ini yang ia hindari saat bertemu Dhan.

Ia hanya tak ingin mendengarkan alasan lelaki itu, karena sudah pasti akan berlanjut pada kepercayaan diri Dhan yang langsung menghilang saat disangkut-pautkan dengan Khanza.

Tentu saja Dhan masih merasa malu berhadapan dengan Khanza, meskipun ia tak tahu bagaimana kisah akhir antara ayah dan putranya itu. Namun, Khanza yakin, Dhan masih memikirkan hal tersebut.

"Nggak apa-apa, kok, kamu juga lagi sibuk pasti." Khanza kembali berjalan menuju kasir.

Selama dua menit mereka berdiri di depan kasir. Sama seperti dulu, Dhan yang mengeluarkan uang untuk membayar belanjaan mereka, tetapi kali ini nominalnya bertambah dan itu sama sekali tak mempersulit Dhan. Khanza tahu itu, kehidupan Dhan di Jakarta dan di Semarang sangat berbeda. Sekarang saja, Ayah dari laki-laki ini yang telah mencukupi kebutuhan Khanza.

"Banyak makan, ya, kamu sekarang," ucap Dhan saat mereka keluar dari minimarket.

"Ngejek, ih." Khanza membuat Dhan terkekeh.

Kantung plastik yang berada di tangan Dhan tergoyang untuk menghilangkan kegugupan karena berada di dekat perempuan ini. Astaga, Dhan hampir gila jika saja ia tak bisa mengendalikan kegugupannya. "Wuuaah ... malam ini nggak bakalan aku lupain," ujarnya sembari menatap langit.

Apa salahnya jika Khanza tersenyum kecil saat mendengarkan luapan kegembiraan Dhan. Sembari menyembunyikan senyum geli, ia melihat ke manapun asalkantak bersitatap dengan lelaki yang berada di sebelahnya ini. "ini rumahnya Leon, ya?" Daripada menanggapi ucapan Dhan, lebih baik ia mengalihkan pembicaraan.

"Iya." Lelaki itu menatap wajah samping Khanza. "Kok tahu?" tanyanya.

"Tadi Leon ngajakin aku ke rumahnya, terus dia nunjuk rumah ini," jawab Khanza membuat Dhan menyerukan huruf O.

"Berarti dia sengaja nyuruh gue ke lapangan tadi. Dia udah tahu Khanza ada di sini, tapi dia nggak ngomong ke gue. Bener-bener, tuh, anak." Dhan menggerutu dalam gumaman.

"Udah bisa ngomong gue ternyata," celetuk Khanza, ia tertawa kecil mendengarkan lelaki itu mengomel.

"Sebenarnya nggak mau, tapi harus."

Khanza menghentikan tawanya. "Emang kenapa kalau pakai aku-kamu?"

"Entar disangka pacaran. Itu, sih, kata Leon," jawab Dhan kemudian memasukkan tangannya yang bebas ke dalam saku celana. Tak mendapatkan respon dari lawan bicaranya, Dhan menoleh ke arah Khanza. "Kok, diem?"

"Hah?" Khanza balas menatap Dhan. "Emang aku harus balas apa?"

"Wa alaikum salam," ujar Dhan membuat Khanza tertawa kecil.

Mereka duduk di bangku taman, Dhan menaruh kantung plastik tersebut di antara dirinya dan juga Khanza. Masing-masing mengambil minuman soda yang mereka beli tadi. Melihat Khanza kesusahan membuka tutup botol minuman, Dhan mengambil alih apa yang dikerjakannya.

"Lembek amet, Neng," cibir Dhan membuat Khanza mencebik bibirnya.

Khanza mengambil keripik kentang rasa original kesukaannya kemudian membuka kemasan. Dari ujung mata, ia bisa melihat Dhan ikut membuka satu bungkus keripik singkong rasa pedas. Masih seperti dulu, lelaki itu lebih suka keripik singkong rasa pedas, sedangkan Khanza menyukai rasa original.

"Kamu kapan balik ke Semarang?" tanya Dhan saat ia berhasil membuka kemasan keripik singkong tersebut.

"Rabu." Khanza memasukkan keripik pertama ke dalam mulutnya.

"bolos sekolah, dong?"

Khanza mengangguk. "Lagi pengin liburan, habisnya tahun pelajaran kemarin, liburan aku selalu keganggu."

"Ciiee ... ibu OSIS."

"Apa, sih," ucap Khanza sebelum meneguk minumannya. "Oh iya Dhan, bunda kamu baik-baik aja, 'kan?" Meskipun sebelumnya ia telah bertanya tentang kabar wanita itu, tetap saja jawaban dari Dhan tidak menjawab maksud dari pertanyaannya.

"Iya." Dhan mengangguk. Ia mengerti maksud dari pertanyaan Khanza. "Setahun lebih bunda harus duduk di kursi roda, tapi sekarang udah bisa jalan kok. Bunda rajin terapi," jelasnya diakhiri dengan senyum manisnya.

"Alhamdulillah." Khanza ikut terjangkit senyum bahagia Dhan.

"Besok ke rumah, yuk, ketemu sama bunda," ajak Dhan tiba-tiba.

Khanza diam, dua detik kemudian ia mendengar kantung plastik yang berada di antara mereka berbunyi gemericik, spontan ia menoleh ke arah pelaku. Dhan menyunggingkan cengiran, tentu saja maksud dari lelaki itu ingin membuat Khanza terbangun dari keterdiaman.

"Kalau mau, aku jemput." Dhan menghadapkan tubuhnya ke arah Khanza. "Aku jemput di apartemen Kak Andra."

Secepat itu?

Khanza mengerutkan keningnya. Ia tahu dari Andra, lelaki di sebelahnya ini tak pernah menginjakkan kaki ke apartemen tersebut, dengan alasan bahwa ayahnya berada di gedung yang sama dengan tempat tinggal Andra. Lantas, kenapa sekarang dengan santainya Dhan melontarkan kata akan menjemput Khanza di tempat itu?

"Kamu nggak keberatan?" tanyanya hati-hati, takut temannya ini akan merasa tersinggung.

"Nggak." Dhan menggeleng. "Aku harus minta izin ke Kak Andra, nih?"

Khanza mengangguk, rasa terganggunya dengan keputusan Dhan tadi, ia buang jauh. Toh, ini suatu kemajuan. "Ya iyalah, masa nggak minta izin," celetuknya.

Dhan terkekeh. "Habis Kak Andra main, ya."

-----

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel