Jejak Yang Hilang
Setelah kejadian mengerikan yang mereka alami dengan penjaga takdir, Aruna dan Adrian memutuskan untuk meninggalkan situs arkeologi itu. Meskipun mereka merasa seolah-olah mereka telah meraih kemenangan kecil, ketegangan yang menyelimuti mereka tak kunjung reda. Ada banyak hal yang belum mereka pahami, dan kegelapan yang mereka hadapi seolah tak akan berakhir.
Malam sudah larut saat mereka tiba di sebuah penginapan terpencil di luar kota. Dalam keheningan, hanya lampu temaram yang menyinari ruangan yang mereka sewa. Aruna duduk di kursi, matanya kosong menatap cincin emas yang kini berada di tangannya. Sebuah benda yang begitu sederhana, namun penuh dengan misteri.
“Kenapa aku merasa ini lebih dari sekadar cincin?” bisik Aruna, matanya terfokus pada cincin itu. “Seolah ini adalah bagian dari diriku.”
Adrian duduk di dekatnya, memandang cincin itu dengan penuh perhatian. “Aku merasakannya juga, Aruna. Tapi kita harus berhati-hati. Setiap langkah kita semakin menarik kita ke dalam pusaran ini. Mungkin ada yang mengawasi kita.”
“Ya,” jawab Aruna perlahan, matanya semakin kelam. “Sepertinya ada yang menginginkan kita terjebak dalam takdir ini. Tapi siapa mereka, dan kenapa kita?”
Adrian terdiam, berpikir. “Aku mulai berpikir bahwa takdir kita ini lebih dari sekadar kehidupan kita yang terulang. Ini adalah pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Dan... kita mungkin adalah pion dalam permainan ini.”
Suasana di ruangan itu terasa mencekam, namun Aruna merasa ada dorongan dalam dirinya untuk melangkah lebih jauh. “Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus menemukan Alisya. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia menjadi bagian dari semua ini?”
Adrian mengangguk, lalu mengeluarkan buku tua yang mereka temukan di situs sebelumnya. “Buku ini mungkin bisa memberikan jawaban. Tadi aku membaca lagi, ada satu bagian yang tampaknya penting.”
Dia membuka halaman yang menunjukkan catatan tentang Ratu Alisya, mencatat bahwa setelah kepergiannya, banyak pihak yang berusaha menutupi kebenaran tentang kematiannya. Namun, ada satu fakta yang tidak bisa dipungkiri: ada seseorang yang menginginkan Alisya mati, tetapi lebih dari itu—mereka ingin menghancurkan kerajaan dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.
"Alisya bukan hanya seorang ratu, dia adalah simbol dari kekuatan yang bisa mengendalikan nasib. Dan sepertinya, ada kelompok yang ingin menguasai kekuatan itu." Adrian melanjutkan membaca dengan nada serius. "Tapi, ada catatan yang lebih mencurigakan: beberapa saksi mengklaim mereka melihat Alisya setelah kematiannya. Mereka mengatakan bahwa ratu itu... bangkit kembali. Tidak sebagai manusia, tetapi sebagai sesuatu yang lebih mengerikan."
Aruna menelan salivanya. "Jadi, Alisya... dia tidak mati sepenuhnya? Dia... bangkit sebagai semacam makhluk tak manusiawi?"
Adrian mengangguk perlahan. "Itulah yang mereka katakan. Dan jika benar, mungkin kita sedang berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar takdir kita."
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, sebelum Aruna memecahnya dengan pertanyaan yang lebih besar. "Bagaimana kita bisa menghentikan ini? Bagaimana kita bisa menghentikan Alisya jika dia memang terlahir kembali dengan kekuatan yang sangat besar?"
Adrian mengalihkan pandangannya dari buku, menatap Aruna dengan mata penuh tekad. “Aku tidak tahu jawabannya. Tapi kita harus mencari tahu lebih banyak. Mungkin ada cara untuk menghentikan siklus ini, untuk mencegah kehancuran yang sudah menanti.”
Aruna merasa ada rasa takut yang mulai merayapi dirinya. Apakah mereka benar-benar mampu menghadapi ancaman sebesar itu? Tapi kemudian, ada suara lain di dalam hatinya—suara yang mendorongnya untuk terus maju.
“Aku akan menemukannya,” katanya, bertekad. “Aku harus menemukannya, dan aku harus mengakhiri semuanya. Ini adalah takdir kita, Adrian. Kita terlahir kembali bukan hanya untuk mengulangi kesalahan, tetapi untuk memperbaikinya.”
Adrian mengangguk dengan keyakinan yang sama. "Kita akan melakukannya bersama-sama, Aruna."
---
Pagi harinya, mereka memulai perjalanan menuju sebuah desa terpencil yang tercatat dalam buku itu. Desa tersebut pernah menjadi bagian dari kerajaan Azura, tempat di mana Alisya dikatakan tinggal sebelum semuanya berubah. Di sana, mereka berharap bisa menemukan lebih banyak petunjuk—sesuatu yang bisa membantu mereka mengungkap kebenaran di balik kematian Alisya dan siapa yang menginginkan takdir mereka terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berakhir.
Setibanya di desa itu, suasana terasa asing dan sunyi. Hanya beberapa penduduk yang tampak, sebagian besar dengan wajah tertutup dan penuh keraguan. Saat mereka berjalan melalui jalanan berdebu, Aruna merasakan sebuah kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang buruk sedang mengintai di balik keheningan ini.
“Adrian...” suara Aruna bergetar. “Ada sesuatu yang salah. Aku bisa merasakannya.”
Adrian menoleh padanya, ekspresinya serius. “Kita harus tetap tenang. Kita tidak tahu siapa yang kita hadapi di sini. Kita harus hati-hati.”
Mereka berjalan lebih jauh menuju sebuah rumah tua yang tampak terkunci rapat. Buku itu menyebutkan bahwa di sinilah Alisya terakhir kali dilihat. Dengan hati-hati, Adrian mengetuk pintu, dan setelah beberapa saat, seorang pria tua dengan mata sayu membuka pintu.
"Selamat datang," pria itu berkata, suaranya penuh keraguan. "Apa yang kalian cari di sini?"
Aruna mengangkat kepalanya, berusaha terlihat tegas meski hati sedang berdegup kencang. "Kami mencari informasi tentang Ratu Alisya. Kami... kami harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya."
Pria itu terdiam, matanya menyapu mereka dengan tatapan tajam. Kemudian, dengan suara pelan, ia berkata, “Jika kalian ingin tahu kebenaran, kalian harus siap menghadapi konsekuensinya.”
Tiba-tiba, pintu rumah itu terbuka lebih lebar, dan di baliknya, Aruna bisa melihat gambar-gambar yang familiar—gambar-gambar dari masa lalu yang menggambarkan Ratu Alisya. Tetapi di antara gambar itu, ada satu gambar yang membuat jantungnya berhenti berdetak.
Itu adalah gambar dirinya—diri Aruna—bersama Alisya. Dan mereka terlihat sama, hampir identik.
Pria itu memandang Aruna dengan serius. “Kalian berdua adalah bagian dari takdir yang sudah tertulis. Kini, saatnya kalian tahu yang sebenarnya. Tapi hati-hati, kebenaran ini bisa merusak kalian.”
Pintu kembali tertutup rapat, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
**
Pintu yang tertutup rapat itu menambah ketegangan yang sudah terasa menggantung di udara. Aruna dan Adrian saling memandang, perasaan cemas dan bingung melanda keduanya. Gambar dirinya bersama Ratu Alisya masih terbayang jelas di benak Aruna, dan kata-kata pria tua itu terus bergema di telinganya.
“Siapa kita sebenarnya?” tanya Aruna dengan suara hampir tak terdengar. “Mengapa aku bisa ada dalam gambar itu? Apa artinya semua ini?”
Adrian menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku rasa kita sedang mendekati kebenaran, Aruna. Tapi kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum kita bisa memutuskan langkah selanjutnya."
Mereka berdiri di luar rumah tua itu, perasaan mereka penuh dengan kegelisahan. Setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka semakin dekat ke dalam kegelapan yang tak mereka pahami sepenuhnya. Namun, Aruna merasa bahwa mereka tidak punya pilihan selain terus maju. Mereka harus tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini.
"Aku tidak akan mundur," kata Aruna dengan tekad. "Jika aku memang memiliki hubungan dengan Alisya, jika aku adalah bagian dari takdir ini, aku harus mencari tahu mengapa. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingunganku."
Adrian menatapnya, lalu mengangguk perlahan. "Aku bersamamu. Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu siapa yang mengawasi kita atau apa yang akan terjadi jika kita melangkah lebih jauh."
Namun, saat mereka berbalik untuk melangkah pergi, pria tua itu tiba-tiba muncul di ambang pintu, wajahnya lebih serius daripada sebelumnya. "Kalian tidak akan mendapatkan jawaban dengan bertanya-tanya. Kebenaran yang kalian cari hanya akan menghancurkan kalian. Kalian berdua bukan hanya terlahir kembali—kalian adalah reinkarnasi dari mereka yang telah lama mati. Dan apa yang terjadi pada mereka dulu, akan terulang lagi."
Aruna merasa darahnya membeku mendengar kata-kata itu. "Kalian tahu siapa kami? Apa yang kalian tahu tentang kami?"
Pria tua itu menghela napas, tampaknya berat untuk berbicara. "Aku tahu lebih banyak dari yang kalian kira. Kalian adalah potongan-potongan dari sebuah cerita yang belum selesai. Sebuah cerita tentang pengkhianatan, cinta yang hilang, dan takdir yang tak bisa diubah. Namun, jika kalian ingin tahu lebih banyak, kalian harus menghadapi kenyataan yang lebih buruk—kenyataan yang akan menghancurkan semua yang kalian ketahui."
Adrian menyarankan, "Beri kami jawaban, dan kami akan berhenti mencari. Kami tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini."
Pria tua itu mengamati mereka, lalu akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah. Kalian ingin tahu? Kalian harus tahu bahwa takdir ini dimulai dengan Alisya dan Darian. Mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan, dua jiwa yang terhubung oleh cinta dan takdir. Tapi cinta mereka juga adalah kutukan. Alisya, sang ratu, tidak pernah bisa mengendalikan takdir yang ada di tangan kekasihnya, Darian. Dan akhirnya, ketika Darian mati dalam pertempuran yang mengerikan, Alisya menjadi gila—terperangkap dalam rasa kehilangan dan balas dendam. Namun, takdir mereka bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah siklus yang tak pernah selesai."
Aruna dan Adrian terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja mereka dengar. "Apa maksudmu dengan siklus yang tak pernah selesai?" tanya Aruna, matanya penuh tanda tanya.
"Siklus yang terulang," jawab pria tua itu dengan suara pelan. "Setiap kali mereka mati, mereka terlahir kembali, tetapi selalu dalam bentuk yang berbeda. Ratu Alisya dan Raja Darian tidak pernah bisa beristirahat dalam damai. Mereka akan terus mencari satu sama lain, hanya untuk kehilangan satu sama lain lagi, berulang-ulang. Namun kali ini, kalian terlahir untuk menjadi bagian dari cerita ini. Kalian adalah reinkarnasi mereka, dua jiwa yang terhubung oleh takdir, dan kalian akan menghadapi keputusan yang sangat besar."
Adrian terlihat bingung. "Kalian bilang kami adalah reinkarnasi mereka. Tapi, jika kami memang bagian dari mereka, mengapa kami tidak ingat apa-apa tentang kehidupan kami sebelumnya?"
Pria tua itu mengangkat bahu. "Takdir tidak memberikan ingatan yang lengkap. Itu sebabnya kalian terlahir dengan kekosongan yang harus diisi. Tapi ingatan itu, ingatan yang tersembunyi, akan muncul. Dan saat itulah kalian akan menghadapi pilihan yang paling berat dalam hidup kalian."
Aruna merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. "Pilihan apa? Apa yang harus kami pilih?"
Pria tua itu menatap mereka dengan pandangan yang sangat dalam. "Alisya dan Darian telah dihadapkan pada dua pilihan yang sama: untuk mengorbankan diri mereka demi cinta mereka, atau untuk mengorbankan dunia demi kebangkitan mereka. Tetapi apa yang kalian tidak tahu, adalah bahwa pilihan ini bukan hanya tentang mereka. Ini juga tentang kalian. Kalian berdua akan menentukan nasib kerajaan Azura, dan nasib dunia yang lebih besar. Pilihan yang kalian buat akan menentukan apakah dunia ini akan selamat atau terbenam dalam kegelapan selamanya."
Aruna menggenggam cincin itu lebih erat, matanya kini berkilat dengan api yang baru ditemukan. "Kami tidak akan menjadi korban takdir lagi. Kami akan memilih untuk mengubah semuanya. Kami akan melawan kegelapan itu."
Pria tua itu tersenyum tipis, namun senyum itu penuh dengan kecemasan. "Begitu kalian memilih, tak ada jalan kembali. Kalian akan menarik dunia ke dalam takdir yang lebih besar—dan tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi selanjutnya."
Dengan itu, pria tua itu menutup pintu, meninggalkan mereka berdua dalam kebingungan yang semakin mendalam. Namun, satu hal yang jelas—pertarungan mereka baru saja dimulai.
Aruna menatap Adrian, matanya penuh tekad. "Kita harus siap, Adrian. Kita harus menghadapi pilihan ini dengan keberanian. Dunia ini, dan takdir kita, tergantung pada keputusan kita."
Adrian menatapnya dengan serius. "Kita tidak akan mundur. Kita akan mencari cara untuk menghentikan siklus ini—apa pun yang terjadi."
Namun, di luar sana, malam semakin gelap. Dan Aruna merasa, entah mengapa, sesuatu yang lebih besar sedang mengintai mereka, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
**