Pustaka
Bahasa Indonesia

Dendam Dari Masa Lalu

20.0K · Ongoing
Novita Ledo
44
Bab
19
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aruna, seorang wanita muda yang penuh tekad, terjebak dalam sebuah takdir yang membawanya ke dalam misteri kelam tentang reinkarnasi dan kekuatan yang mengendalikan kehidupan manusia. Setelah kembali ke masa lalu dalam bentuk kehidupan baru, Aruna mencari cara untuk mengungkap kebenaran di balik kekuatan misterius yang mengatur dunia. Bersama Alaric, seorang pria yang mengetahui banyak rahasia gelap, mereka terjun ke dalam sebuah perjalanan yang penuh bahaya dan teka-teki. Di dalam reruntuhan kuil kuno yang tersembunyi di hutan, Aruna menemukan sebuah artefak yang memungkinkannya untuk membuka rahasia besar—sebuah kekuatan yang telah memanipulasi nasib mereka selama ribuan tahun. Namun, dengan setiap jawaban yang ia temukan, lebih banyak pertanyaan muncul, dan Aruna harus menghadapi kenyataan bahwa segala sesuatu yang ia percayai selama ini adalah kebohongan besar. Kehidupan Aruna yang tampaknya sederhana ternyata memiliki tujuan yang jauh lebih besar. Ketika dia menemukan sosok misterius yang tampaknya mengenalnya dengan baik—Lika, adiknya yang sudah lama hilang—dia dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan nasibnya, dan nasib dunia yang terancam kehancuran oleh kekuatan yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.

RomansaFantasiPengembara WaktuTransformasiPlot TwistPemburu Harta KarunMengungkap MisteriDewasaKutu Buku

Jejak dalam Mimpi

Aruna terbangun dengan nafas terengah-engah, keringat dingin membasahi dahinya. Untuk kesekian kalinya dalam seminggu, mimpi yang sama datang menghantui. Dalam mimpi itu, ia melihat seorang wanita dalam gaun keemasan terjatuh di lantai istana, tubuhnya berlumuran darah. Wajah wanita itu sangat jelas di benaknya—dan mengerikan, wajah itu adalah wajahnya sendiri.

“Ini hanya mimpi buruk,” gumam Aruna sambil memeluk dirinya sendiri. Namun, rasa sakit di dadanya terasa begitu nyata, seolah ia benar-benar merasakan tikaman belati yang membunuh wanita itu.

Aruna mengalihkan pandangannya ke jendela. Kota kecil tempat tinggalnya masih sunyi, hanya terdengar bunyi angin yang menggoyangkan dedaunan di luar. Namun, ia tidak merasa tenang. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya sejak ia mulai mengalami mimpi-mimpi ini.

Ketika pagi datang, Aruna bersiap-siap untuk bekerja. Sebagai jurnalis, ia terbiasa menyelidiki hal-hal aneh, tetapi kini ia merasa dirinya menjadi subjek misteri yang tidak dapat ia pecahkan.

“Aruna, kamu baik-baik saja?” suara Rani, sahabat sekaligus rekan kerjanya, membuatnya tersadar. Mereka sedang berada di kantor redaksi, bersiap meliput berita terbaru.

“Ya, hanya kurang tidur,” jawab Aruna singkat.

Rani menatapnya dengan khawatir. “Kamu terlihat pucat akhir-akhir ini. Mimpi buruk lagi?”

Aruna mengangguk pelan. Ia tahu Rani tidak akan menertawakannya. Selama ini, Rani selalu menjadi pendengar setianya.

“Mimpi itu masih sama. Tentang wanita di istana... dan kematiannya.”

Rani menghela napas. “Mungkin kamu terlalu banyak menonton film sejarah. Atau mungkin itu tanda bahwa kamu butuh liburan.”

Aruna tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya, meski di dalam hati ia tahu ini lebih dari sekadar mimpi biasa.

Hari itu, tugas membawa mereka ke sebuah situs arkeologi yang baru ditemukan di pinggiran kota. Lokasi tersebut diyakini sebagai sisa-sisa kerajaan kuno yang pernah ada ratusan tahun lalu.

Saat tiba di sana, Aruna merasakan sesuatu yang aneh. Udara terasa lebih berat, dan pandangannya seolah kabur sesaat ketika ia melangkah masuk ke area penggalian.

“Aruna, lihat ini!” panggil Rani sambil menunjuk sebuah prasasti besar yang ditemukan para arkeolog. Batu itu penuh dengan ukiran yang rumit, menggambarkan sosok seorang ratu yang dikelilingi oleh para prajurit.

Namun, apa yang menarik perhatian Aruna adalah wajah ratu dalam ukiran itu. Wajah itu sangat mirip dengan wajah wanita dalam mimpinya.

Sebuah bisikan terdengar di telinganya, lirih namun jelas.

“Dendammu belum usai, Aruna…”

Ia terdiam, tubuhnya membeku. “Apa tadi?” tanyanya dengan suara bergetar.

Rani menatapnya bingung. “Apa? Aku tidak bilang apa-apa.”

Aruna memandang prasasti itu sekali lagi. Jantungnya berdetak kencang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi satu hal yang pasti—mimpi-mimpinya bukan sekadar kebetulan.

Ini baru permulaan.

Aruna mundur selangkah, napasnya memburu. Bisikan tadi masih terngiang jelas di telinganya, meski ia tahu itu mustahil. Rani memiringkan kepala, menatapnya dengan bingung.

“Kamu baik-baik saja, Aruna? Kamu kelihatan pucat sekali,” tanya Rani, menyentuh bahunya.

“Ya... Aku baik-baik saja,” jawab Aruna buru-buru, meski hatinya tidak setenang itu. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil kamera dan mulai memotret prasasti. Tapi matanya terus tertuju pada ukiran ratu itu.

“Rani, menurutmu siapa ratu ini?” tanya Aruna, mencoba terdengar santai.

Rani melirik prasasti itu. “Sepertinya dia tokoh penting dalam kerajaan kuno di sini. Aku dengar mereka sedang mencari dokumen atau benda-benda lain yang bisa mengungkap identitasnya.”

Sebuah suara berat tiba-tiba menyela percakapan mereka. “Ratu Alisya.”

Aruna dan Rani menoleh serempak. Seorang pria berdiri tak jauh dari mereka. Tinggi, dengan kacamata bulat dan rambut cokelat gelap yang tertata rapi. Wajahnya tenang, namun matanya menyiratkan keingintahuan mendalam.

“Maaf kalau aku mengejutkan kalian,” pria itu berkata sambil berjalan mendekat. “Nama saya Adrian. Saya arkeolog utama di sini.”

Rani tersenyum ramah. “Oh, jadi Anda yang memimpin proyek ini? Senang bertemu Anda, Adrian. Saya Rani, dan ini Aruna. Kami dari redaksi Metro News.”

Aruna mengangguk singkat, masih mencoba mengendalikan kegelisahannya.

“Ratu Alisya adalah salah satu tokoh paling misterius dalam sejarah kerajaan kuno di sini,” jelas Adrian sambil menunjuk ukiran di prasasti. “Ia dikenal sebagai permaisuri yang bijaksana, tetapi hidupnya berakhir tragis. Menurut legenda, ia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya dan dibunuh di dalam istana.”

Aruna merasakan gelombang dingin menyusup ke tulang-tulangnya. Kata-kata Adrian seolah membangkitkan kembali adegan dalam mimpinya.

“Apakah Anda tahu siapa yang membunuhnya?” tanya Aruna, tanpa sadar suaranya bergetar.

Adrian menggelengkan kepala pelan. “Tidak ada catatan yang jelas. Tapi ada rumor bahwa pembunuhnya adalah suaminya sendiri, Raja Darian. Beberapa sejarawan percaya bahwa kematian Alisya memicu keruntuhan kerajaan itu.”

Gadis itu sampai menelan ludah. Nama itu—Raja Darian—menggemakan sesuatu dalam dirinya, seperti bayangan samar yang tidak bisa ia jangkau.

Saat itu juga, angin dingin berembus kencang, membuat daun-daun berguguran di sekitar mereka. Langit tiba-tiba terasa lebih gelap, meski matahari masih berada di atas kepala.

“Sepertinya akan hujan,” kata Adrian sambil melirik ke atas. “Aku harus kembali ke tenda. Kalau kalian butuh informasi lebih lanjut, jangan ragu mencariku.”

Aruna hanya mengangguk, tapi pandangannya tidak pernah lepas dari prasasti itu. Setelah Adrian pergi, Rani menepuk bahunya.

“Kamu kenapa, sih? Sejak tadi kamu kelihatan aneh.”

Aruna menggeleng, mencoba tersenyum. “Aku hanya merasa tempat ini… menyeramkan.”

Rani mengangkat bahu. “Ya, aku juga agak merinding. Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan menjauh dari Adrian. Dia kelihatan keren, tapi ada aura misterius darinya.”

Aruna tertawa kecil, meski di dalam hatinya ia setuju. Adrian memang terasa… berbeda.

Saat mereka bersiap pulang, Aruna mencuri pandang sekali lagi ke arah prasasti itu. Dalam hatinya, ia tahu sesuatu telah dimulai di tempat ini. Ia hanya tidak tahu apakah itu adalah awal dari jawaban yang ia cari… atau akhir dari segalanya.

**