Bayangan yang Berbisik
Malam itu, Aruna kembali bermimpi. Namun, mimpi kali ini lebih jelas, lebih nyata.
Ia berdiri di sebuah aula megah yang dipenuhi oleh lilin-lilin besar yang bergetar oleh hembusan angin dingin. Lantai marmer putih bersih terlumur dengan genangan darah. Di hadapannya, seorang wanita bersimpuh dengan tangan terikat, wajahnya penuh air mata, memohon kepada seorang pria yang mengenakan mahkota emas.
"Kenapa kamu melakukan ini, Darian?" wanita itu berteriak dengan suara yang penuh kepedihan.
Pria itu tidak menjawab. Hanya dengan gerakan tangan, para penjaga menyeret wanita itu menjauh. Sebuah belati besar berkilauan di bawah cahaya lilin.
Aruna ingin berteriak, ingin menghentikan semuanya, tetapi tubuhnya terasa terkunci. Tepat saat belati itu di tikamkan, wanita itu berbalik. Matanya bertemu dengan mata Aruna.
“Bangunlah, Aruna… Waktumu telah tiba.”
---
Aruna terbangun dengan jeritan, dadanya naik-turun seperti habis dikejar sesuatu. Tangannya menyentuh leher, seolah memastikan dirinya masih hidup. Jam di dinding menunjukkan pukul 3 pagi.
Ia tidak bisa tidur lagi setelah itu. Dengan tangan gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari informasi tentang situs arkeologi yang baru ia kunjungi. Ia menemukan sebuah artikel lama yang menyebutkan bahwa tempat itu dipercaya sebagai lokasi pembantaian keluarga kerajaan terakhir. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi, tetapi legenda mengatakan, "Bayangan sang Ratu akan bangkit mencari kebenaran."
Aruna terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Bisakah ini semua terkait dengan mimpi-mimpinya?
Keesokan harinya, Aruna kembali ke situs arkeologi dengan dalih wawancara tambahan. Namun, dalam hatinya, ia tahu ia datang untuk mencari jawaban.
Di sana, Adrian sedang memeriksa sebuah ruangan bawah tanah yang baru ditemukan. Ketika Aruna tiba, ia menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Aruna, aku tidak menyangka kamu akan kembali secepat ini,” katanya.
“Aku merasa ada sesuatu yang belum selesai di sini,” jawab Aruna jujur.
Adrian tersenyum samar. “Kalau begitu, kau datang di waktu yang tepat. Kami menemukan sesuatu yang menarik tadi malam.”
Ia memimpin Aruna ke sebuah lorong gelap yang berujung pada sebuah ruangan kecil. Di tengah ruangan itu, terdapat peti kayu tua yang penuh ukiran. Adrian membuka penutup peti itu dengan hati-hati, memperlihatkan sebuah belati emas berlumuran noda gelap yang tampak seperti darah kering.
“Ini kemungkinan senjata yang digunakan untuk membunuh Ratu Alisya,” jelas Adrian.
Aruna memandang belati itu dengan tatapan kosong. Tubuhnya gemetar tanpa alasan. Dan tiba-tiba, sebuah suara berbisik di telinganya:
"Itu senjata yang membunuhmu."
Aruna melangkah mundur, hampir kehilangan keseimbangan. Adrian menangkapnya dengan sigap. “Kau baik-baik saja?”
Aruna mengangguk pelan, meski tubuhnya terasa lemah. “Aku hanya merasa... ini terlalu aneh. Seperti aku pernah melihat belati ini sebelumnya.”
Adrian menatapnya tajam. “Apa kau yakin?”
Aruna mengangguk lagi, tetapi sebelum ia bisa berkata lebih jauh, seorang pekerja arkeologi berlari masuk. “Pak Adrian, Anda harus melihat ini. Kami menemukan ruangan lain.”
Adrian segera mengikuti pekerja itu, tetapi sebelum pergi, ia berkata, “Aruna, kalau kau merasa tidak enak, sebaiknya kau beristirahat dulu.”
Namun, Aruna tidak berniat pergi. Ia mengikuti Adrian ke ruangan lain yang baru ditemukan. Di sana, dinding-dindingnya penuh dengan ukiran yang menggambarkan adegan tragis: seorang ratu diikat di kursi, seorang pria bertopeng di sebelahnya, dan sosok raja yang berdiri di kejauhan, memalingkan wajahnya.
Namun, apa yang membuat Aruna terkejut adalah ukiran terakhir. Itu menunjukkan ratu yang terbunuh memegang belati yang sama dan menatap langsung ke arah ukiran, seperti sedang menatap mereka yang melihatnya.
Adrian mendekati ukiran itu, mengamatinya dengan seksama. “Aneh... seolah-olah ini adalah pesan.”
Tiba-tiba, cahaya dari senter Adrian terpantul pada sesuatu di lantai. Mereka menemukan sebuah cincin emas dengan simbol aneh—sebuah mata dengan lingkaran api di sekelilingnya.
Adrian mengangkat cincin itu, dan sesuatu yang tidak terduga terjadi. Ruangan itu bergetar hebat, dindingnya mulai retak. Aruna berteriak, tetapi sebelum ia sempat kabur, pandangannya menjadi gelap.
---
Ketika Aruna terbangun, ia berada di sebuah ruangan yang asing. Ruangan itu tampak seperti ruang tahta, dengan pilar-pilar besar dan jendela kaca patri.
Namun, yang membuatnya takut adalah sosok pria bertopeng yang berdiri di ujung ruangan, menatap langsung ke arahnya.
“Kamu akhirnya kembali, Alisya,” katanya dengan suara yang dingin namun penuh rasa puas.
Aruna mundur ketakutan. “Aku bukan Alisya! Aku... aku Aruna!”
Pria itu tertawa kecil. “Namamu mungkin berbeda, tetapi jiwamu tetap sama. Dan dendammu belum selesai.”
Ruangan itu memudar, dan Aruna kembali ke situs arkeologi. Ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Adrian ada di sisinya, menatapnya dengan khawatir.
“Kamu pingsan. Apa yang terjadi?” tanyanya.
Namun, Aruna tidak menjawab. Ia hanya memandang cincin di tangan Adrian, yang entah bagaimana sekarang terasa seperti kunci untuk semua misteri ini—dan mungkin juga untuk akhir hidupnya.
**
Aruna duduk terpaku di lantai ruangan gelap itu, matanya kosong menatap cincin emas yang kini berada di tangan Adrian. Seperti ada kekuatan yang tak terlihat mengikatnya dengan benda itu. Setiap detik yang berlalu, rasa panik semakin menguasai pikirannya. Mimpi-mimpi itu semakin nyata, semakin mendalam, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke masa lalu—ke kehidupan lain.
Adrian melihatnya dengan cemas, mencoba mengangkat Aruna ke duduk. "Aruna, kau baik-baik saja? Kamu tiba-tiba jatuh pingsan. Apa yang terjadi?"
Aruna hanya bisa menatap cincin itu, dan tanpa sadar, bibirnya berbisik, "Itu... itu milikku."
Adrian mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Aruna mengalihkan pandangannya dari cincin itu, menggigil seketika. "Aku... aku merasa seperti sudah mengenalnya. Ini—ini cincin yang ada dalam mimpi-mimpiku. Cincin ini ada di tangan ratu itu... di tangan Alisya."
Adrian menatap cincin itu, terkejut. "Tapi ini hanya temuan baru di situs ini. Tidak mungkin—"
"Tidak mungkin?" Aruna memotongnya. "Adrian, aku sudah melihatnya—dalam mimpiku! Aku bukan hanya sekadar melihat, tapi... merasakannya. Aku... aku adalah Alisya!"
Adrian terdiam, kebingungannya semakin mendalam. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, suara riuh terdengar dari luar ruangan. Sebuah suara teriakan, penuh ketakutan.
"Adrian! Aruna!" suara salah satu arkeolog terdengar panik. "Ada sesuatu yang aneh terjadi di ruang utama!"
Tanpa berkata apa-apa, Adrian segera berdiri dan menggandeng tangan Aruna. "Kita harus cepat pergi dari sini."
Mereka berlari keluar, menuju ruang utama situs. Begitu mereka memasuki ruangan besar itu, Aruna terkejut melihat segala sesuatu yang ada di dalamnya: tanah yang terangkat, bebatuan yang terlempar ke berbagai arah, dan dinding yang mulai retak seolah dunia di sekitarnya sedang berguncang.
"Ada apa ini?" tanya Aruna, suaranya bergetar.
Seorang arkeolog berlari ke arah mereka, napasnya terengah-engah. "Ini... tidak normal. Seperti ada kekuatan yang mengendalikan tempat ini. Ada perubahan besar yang terjadi sejak cincin itu ditemukan."
Adrian menatap cincin itu lagi, kali ini ekspresinya lebih serius. "Mungkin ini bukan kebetulan."
Aruna merasa tubuhnya gemetar. "Kita harus menghentikan ini," katanya, meskipun dirinya sendiri tidak tahu bagaimana. "Semua ini... semua yang terjadi... ini semua ada hubungannya dengan kematian Alisya. Aku bisa merasakannya."
Adrian menatapnya dengan pandangan tajam, seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan. "Kau benar. Tapi bukan hanya Alisya yang terlibat dalam cerita ini. Ada kekuatan lain yang lebih besar."
Aruna mendekat, merasa ada sesuatu yang penting yang Adrian sembunyikan. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi pada Alisya itu lebih dari sekadar pengkhianatan. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar... yang jauh lebih mengerikan."
Adrian menghela napas berat, lalu melangkah lebih dekat kepada Aruna. "Dengar, Aruna. Alisya bukan satu-satunya yang terlahir kembali. Aku... aku juga pernah hidup di zaman itu. Aku adalah Raja Darian."
Mata Aruna membelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak. "Kamu... kamu siapa?"
Adrian menundukkan kepala. "Aku tahu itu sulit dipercaya, tapi aku adalah Raja Darian, dan aku... aku adalah pria yang membunuhmu, Alisya."
Aruna terdiam, perasaan bingung dan marah bercampur aduk. "Apa yang kamu katakan? Tidak, itu tidak mungkin. Kamu—"
Adrian mengangkat tangan, meminta Aruna untuk diam. "Aku tidak ingat semuanya. Tapi ada sesuatu yang aku temukan. Sebuah kutukan yang melibatkan jiwa kita—jiwa kita yang terperangkap di dalam lingkaran ini. Kita terlahir kembali, Aruna, bukan untuk menyelesaikan yang belum selesai, tapi untuk mengulang kesalahan yang sama, sampai semuanya terungkap."
Aruna mundur beberapa langkah, kebingungan dan amarah melanda dirinya. "Jadi... apa yang terjadi? Kenapa aku harus menjalani hidup ini lagi? Kenapa aku harus mengalami semua penderitaan itu lagi?"
Adrian berjalan mendekat, suaranya serius. "Karena ada kekuatan yang mengendalikan kita. Ada entitas yang lebih besar dari kita. Dia yang membuat kita terjebak dalam siklus ini—untuk menghancurkan satu sama lain, untuk mengulang tragedi kita, hingga semuanya berakhir dengan kehancuran."
Aruna merasakan perasaan mencekam menyelubungi dirinya. "Siapa yang mengendalikan kita? Apa yang kita harus lakukan?"
Adrian menatapnya dalam-dalam. "Ada satu cara untuk menghentikan semuanya. Tapi itu berarti kita harus menghancurkan kekuatan yang mengikat kita, dan untuk itu, kita harus menghadapi musuh yang lebih kuat daripada kita bayangkan."
---
Tak lama setelah itu, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Ruangan tempat mereka berdiri tiba-tiba menjadi gelap, dan suara angin berputar kencang. Suara bisikan yang familiar terdengar lagi, namun kali ini lebih keras, lebih jelas, hampir seperti seruan dari masa lalu.
"Kenapa kalian menghancurkan semuanya? Kalian tidak bisa lari dari takdir!"
Suara itu datang dari belakang mereka. Aruna dan Adrian menoleh, dan di sana, di tengah kegelapan, berdiri sosok yang tidak mereka kenali. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi mata merah menyala terlihat jelas.
"A-aku.... tidak tahu siapa Anda," ujar Adrian dengan tegang.
"Tentu saja kamu tidak tahu," suara itu bergema. "Aku adalah penjaga takdir, dan kalian tidak bisa menghentikan apa yang sudah ditentukan."
Tiba-tiba, sosok itu melangkah maju, dan di tangannya ada sebuah objek yang mengkilap. Aruna merasakan ketegangan yang luar biasa. “Kamu... siapa?” tanyanya, suaranya hampir hilang karena ketakutan yang luar biasa.
Sosok itu tersenyum, menatap mereka dengan penuh kebencian. "Aku adalah yang mengendalikan kalian, dan sekarang... saatnya untuk menuntaskan semuanya."
---
Dengan kedatangan sosok misterius itu, semuanya semakin kabur. Aruna dan Adrian, terjebak dalam takdir yang tidak mereka pahami sepenuhnya, hanya bisa berjuang untuk bertahan hidup. Namun, apakah mereka bisa mengalahkan kekuatan yang mengendalikan mereka?
**