Bab 5 Keinginan Camilla
Camilla masih duduk diam di bangku batu itu, membiarkan angin menerpa wajahnya. Matanya menatap kosong ke kolam kecil di depannya, tetapi pikirannya melayang jauh.
Haruskah aku terus bertahan di pernikahan ini?
Pertanyaan itu sudah berulang kali muncul dalam benaknya, tetapi jawabannya selalu sama—ia tidak punya pilihan.
Suara langkah pelan terdengar di belakangnya. Camilla tidak langsung menoleh, mengira itu hanya pelayan yang sedang merapikan taman. Namun, ketika suara itu semakin mendekat, ia akhirnya menoleh.
"Nyonya, apakah Anda membutuhkan sesuatu?" Seorang pelayan wanita berdiri tak jauh darinya dengan ekspresi ragu.
Camilla menggeleng pelan. "Tidak, aku hanya ingin sendirian sebentar."
Pelayan itu tampak sedikit bimbang sebelum akhirnya membungkuk hormat dan pergi.
Begitu sendirian lagi, Camilla menghela napas panjang. Ada begitu banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi kepada siapa? Tidak ada yang benar-benar peduli. Theodore jelas tidak akan mendengarkan.
Ia mengusap wajahnya, merasa sedikit frustasi. Namun, sebelum ia bisa kembali menenangkan diri, suara lain terdengar dari arah mansion.
"Camilla?"
Suara berat itu membuat tubuhnya menegang.
Ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di bawah tangga batu yang menghubungkan taman dengan mansion. Theodore.
Camilla tidak segera menjawab. Ia hanya menatap pria itu dengan perasaan campur aduk.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Theodore bertanya, suaranya datar seperti biasa.
Camilla tersenyum miris. "Tidak bisakah aku menikmati taman rumahku sendiri?"
Theodore tidak segera menjawab. Ia hanya melangkah mendekat, berdiri di hadapannya dengan ekspresi sulit ditebak.
"Aku tidak tahu kau suka taman," katanya akhirnya.
Camilla tertawa kecil, tetapi bukan tawa bahagia. "Ada banyak hal yang tidak kau ketahui tentangku, Theodore. Kau tidak pernah benar-benar peduli, bukan?"
Theodore menatapnya lama sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. "Aku tidak punya waktu untuk membahas ini sekarang."
"Tentu saja," Camilla mendesah. "Kau tidak pernah punya waktu untukku."
Keheningan menggantung di antara mereka.
Theodore tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, ia berbalik dan berjalan kembali ke mansion tanpa sepatah kata pun.
Camilla hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, merasakan dadanya semakin sesak. Sampai kapan aku harus menghadapi ini sendirian?
Camilla kembali ke kamarnya dengan langkah gontai. Baru beberapa hari menjadi istri Theodore, tetapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun. Ia menekan dadanya yang terasa sesak, mencoba mengatur napasnya agar tidak terisak lagi.
Mengapa hidupnya harus seperti ini?
Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan dipenuhi kebencian. Sejak awal, ia tahu Theodore tidak menginginkannya, tetapi ia tidak menyangka akan sebesar ini dinginnya perlakuan pria itu.
Camilla menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang megah namun terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang tahanan di rumahnya sendiri. Bahkan pelayan-pelayan di mansion ini pun seolah segan berbicara dengannya, seakan tahu bahwa sang tuan rumah tidak menginginkannya ada di sana.
Ia menutup matanya, tetapi semua kenangan sejak hari pertama menikah dengan Theodore justru berputar di kepalanya.
Betapa dinginnya pria itu saat mereka mengucap janji pernikahan. Betapa tidak pedulinya Theodore saat mereka tiba di mansion ini sebagai suami istri. Dan betapa menusuknya setiap tatapan yang pria itu berikan padanya—seakan ia adalah musuh, bukan istri.
Kenapa aku harus menerima semua ini?
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia tidak bisa lari, tidak bisa mengubah keadaan.
Hanya bisa bertahan.
Tetapi sampai kapan?
Camilla mengusap air matanya dengan kasar, berusaha menenangkan diri. Ia tidak boleh terus-menerus larut dalam kesedihan. Jika Theodore membencinya, maka biarlah. Ia tidak akan memohon pengakuan atau kasih sayang dari pria itu.
Namun, hatinya tetap terasa sakit.
Perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah cermin besar di sudut kamar. Matanya sembab, wajahnya terlihat pucat. Ia tersenyum miris melihat bayangannya sendiri. Inikah hidup seorang istri?
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Camilla menoleh dengan cepat, hatinya sedikit berdebar.
"Nyonya, saya membawakan teh untuk Anda," suara seorang pelayan terdengar dari balik pintu.
Camilla menghela napas, berusaha mengembalikan ekspresinya agar terlihat normal sebelum melangkah membukakan pintu. Seorang pelayan wanita muda berdiri di sana dengan nampan berisi secangkir teh hangat dan beberapa camilan kecil.
"Terima kasih," ujar Camilla singkat, mengambil nampan itu dan menutup pintu kembali tanpa banyak bicara.
Ia meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela, lalu duduk di kursi sambil menatap keluar. Langit mulai berubah warna, tanda senja akan segera tiba.
Hidupnya di rumah ini begitu sunyi.
Camilla mengambil cangkir teh dan meniupnya pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, saat menyesapnya, pikirannya kembali melayang pada satu hal—bagaimana bisa Theodore begitu membencinya? Apa benar hanya karena kehilangan seseorang yang ia cintai? Atau ada alasan lain yang belum ia ketahui?
Rasa penasaran itu mulai mengusik hatinya.
Jika ia harus hidup dalam kebencian Theodore, maka ia harus tahu alasannya dengan pasti. Ia tidak bisa terus-menerus menerima perlakuan dingin tanpa mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Mungkin, sudah waktunya untuk mencari tahu.
Langit semakin gelap saat Camilla masih duduk di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Cangkir tehnya sudah dingin, tetapi pikirannya masih berputar tentang Theodore.
Aku harus tahu alasan sebenarnya.
Ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungan dan tekanan seperti ini. Jika Theodore membencinya karena alasan besar, maka ia harus mencari tahu apa itu.
Dengan tekad yang mulai tumbuh di hatinya, Camilla bangkit dari kursinya. Ia tidak bisa hanya menunggu jawaban datang padanya.
Ia keluar dari kamar dan berjalan menyusuri koridor mansion yang sepi. Para pelayan tampak sibuk dengan tugas masing-masing, hanya meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada pekerjaan mereka.
Saat ia menuruni tangga menuju ruang kerja Theodore, langkahnya terhenti ketika melihat kepala pelayan senior, Tuan Harris, sedang berbicara dengan salah satu pelayan muda.
"Tuan baru saja menghubungi dan mengatakan dia akan pulang larut malam. Jangan siapkan makan malam untuknya," kata pria tua itu dengan suara rendah.
Camilla menggigit bibirnya. Theodore bahkan tidak memberi tahu dirinya, hanya mengabarkan kepada para pelayan.
Tanpa berpikir panjang, ia mendekati Tuan Harris. "Dimana Theodore sekarang?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia kira.
Tuan Harris tampak terkejut sejenak sebelum menundukkan kepala dengan sopan. "Tuan Ellsworth masih di kantor, Nyonya."
Camilla mengangguk kecil. Ia ragu sejenak, tetapi akhirnya berkata, "Siapkan mobil untukku. Aku ingin pergi ke kantor."
Pelayan muda yang berdiri di samping Tuan Harris tampak terkejut, tetapi pria tua itu hanya menghela napas sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Nyonya. Saya akan meminta sopir menyiapkan mobil."
Camilla berbalik, kembali ke kamarnya untuk mengambil tasnya.
Malam ini, ia akan menemui Theodore. Jika pria itu tidak ingin berbicara dengannya di rumah, maka ia akan mendatangi kantornya.
Ia lelah menerima kebencian tanpa tahu alasannya.
