Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Theodore Menghindar

Pagi itu, Camilla melangkah ke ruang makan dengan harapan kecil bahwa sesuatu akan berubah. Mungkin Theodore akan bersikap sedikit lebih baik. Mungkin mereka bisa sarapan bersama seperti pasangan suami istri pada umumnya, meskipun tanpa banyak bicara.

Namun, harapannya pupus begitu melihat meja makan yang masih rapi, tanpa tanda-tanda seseorang telah duduk di sana. Ia menoleh ke arah pelayan yang berdiri di sudut ruangan.

"Di mana Tuan Theodore?" tanyanya, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.

"Beliau sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali, Nyonya," jawab pelayan dengan sopan. "Beliau tidak sempat sarapan."

Camilla menghela napas, berusaha menekan kekecewaan yang tiba-tiba muncul. Tentu saja. Dia pasti tidak ingin duduk semeja denganku.

Ia melangkah ke kursinya dan duduk, menatap hidangan yang tersaji di hadapannya tanpa nafsu makan. Seharusnya ia sudah terbiasa dengan perlakuan Theodore—pernikahan mereka memang tidak lebih dari sebuah kewajiban yang dijalani tanpa rasa.

Namun, tetap saja, perasaan sepi itu menelusup ke dalam hatinya, membuat dadanya terasa sesak.

Pelayan menuangkan teh ke dalam cangkirnya. "Apakah Nyonya ingin menunggu Tuan Theodore untuk makan malam nanti?"

Camilla menatap teh yang mengepul hangat, lalu tersenyum tipis, getir. "Aku ragu dia akan pulang lebih awal," jawabnya pelan.

Ia mengambil sendok dan mulai menyendok sup di depannya, meski rasanya hambar di lidah. Theodore tidak hanya meninggalkannya pagi ini, tapi juga meninggalkan luka yang semakin dalam di hatinya.

Theodore melangkah masuk ke gedung perusahaannya dengan ekspresi dingin yang biasa. Setelan jasnya sempurna, sikapnya tegap, dan auranya begitu tegas hingga para karyawan yang berpapasan dengannya otomatis menundukkan kepala dengan hormat.

Asisten pribadinya, Nathan, sudah menunggu di depan lift dengan setumpuk dokumen di tangan. Begitu melihat bosnya datang, ia segera mengikuti langkah Theodore.

“Rapat dengan dewan direksi dijadwalkan pukul sembilan, lalu pertemuan dengan investor pukul sebelas. Ada juga beberapa laporan yang perlu Anda tinjau sebelum makan siang,” lapor Nathan sambil menyerahkan dokumen.

Theodore hanya mengangguk sambil membuka salah satu berkas. “Singkirkan hal yang tidak penting. Aku tidak punya waktu untuk membahas sesuatu yang tidak berpengaruh langsung pada perusahaan.”

“Baik, Tuan.”

Lift berbunyi ketika sampai di lantai paling atas. Theodore keluar tanpa ragu dan langsung menuju ruangannya.

Begitu pintu tertutup, ia melempar dokumen ke meja dan mengendurkan dasinya sedikit.

Pagi ini ia sengaja pergi lebih awal. Bukan karena pekerjaannya yang menumpuk—ia selalu bisa menangani itu. Tapi karena ia tidak ingin melihat Camilla.

Matanya terpejam sesaat. Semalam, melihat air mata wanita itu seharusnya tidak mengganggunya. Seharusnya ia tetap membenci Camilla seperti sebelumnya.

Namun, entah kenapa, pagi ini pikirannya terus kembali ke mata Camilla yang penuh luka.

Ia menghela napas kasar, lalu mengambil salah satu berkas di mejanya, mencoba mengalihkan perhatian.

Camilla hanyalah bagian dari masa lalu yang ingin ia kubur. Tidak lebih.

Theodore menelusuri dokumen di depannya dengan ekspresi tak terbaca. Namun, pikirannya terusik. Entah kenapa bayangan Camilla tidak mau pergi dari kepalanya.

"Brengsek," gumamnya pelan, menekan pelipisnya.

Ia seharusnya tidak peduli. Ia sudah memutuskan sejak awal bahwa pernikahan ini hanya formalitas, bahwa ia tidak akan membiarkan perasaan lunak menguasainya. Tapi, mengapa air mata wanita itu membuatnya merasa—

Tidak. Ia menepis pikiran itu.

Pintu ruangannya diketuk, lalu Nathan masuk dengan ekspresi profesional seperti biasa.

"Tuan, CEO Lancaster Corp sudah menunggu di ruang rapat. Mereka ingin membahas kerja sama yang sempat tertunda."

Theodore mengangguk, merapikan dasinya kembali, dan berdiri. "Ayo."

Dalam perjalanan ke ruang rapat, ia memastikan ekspresinya kembali dingin dan tak tergoyahkan. Ia bukan pria yang membiarkan emosi menguasainya—terutama untuk seseorang seperti Camilla.

Namun, meski sekeras apa pun ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, satu kenyataan tetap ada.

Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa ragu.

Setelah rapat yang berlangsung hampir dua jam, Theodore kembali ke ruang kerjanya, merasa sedikit lelah namun tetap menjaga ketegasan wajahnya. Namun, begitu pintu tertutup, ada ketidaknyamanan yang menggelayuti dirinya.

Ia berjalan menuju jendela besar di sudut ruangannya, menatap keluar. Pemandangan kota yang sibuk di bawah sana tidak mampu mengalihkan pikirannya dari Camilla.

Ia mengingat betul ekspresi di wajahnya semalam—air mata yang hampir tak terlihat, tetapi cukup dalam untuk menembus pertahanannya. Kenapa ini menggangguku begitu?

Theodore mengusap wajahnya frustasi. Seharusnya ia tidak peduli. Mereka berdua tahu pernikahan ini bukanlah sesuatu yang diinginkan. Itu hanya jalan yang harus mereka tempuh, bukan cinta, bukan ikatan emosional.

Namun, sebuah suara kecil di dalam dirinya terus bertanya—kenapa kamu masih peduli?

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, ponselnya berdering, memecah kesunyian di ruangan itu. Dengan sigap, Theodore mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon.

"Ya?"

"Mr. Ellsworth, ada masalah dengan laporan keuangan yang perlu segera Anda tinjau," suara asisten keuangan terdengar tegas.

"Baik," jawabnya, dan ia menekan tombol akhir pada panggilan, lalu memandang layar komputernya.

Namun, pikiran tentang Camilla kembali mengganggunya. Ia kembali teringat pada pertemuan mereka pagi itu, bagaimana ia meninggalkan Camilla sendirian untuk sarapan, bagaimana wanita itu berusaha menahan dirinya untuk tidak menunjukkan kelemahan.

"Kenapa aku harus peduli?" Theodore membentak dirinya sendiri dalam hati. Tetapi kenyataan tetap ada—rasa benci yang begitu mendalam itu terasa mengganggu, seperti serpihan kaca yang menyayat dalam diam.

Dia memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya, berharap waktu akan menyembuhkan segala rasa tidak nyaman ini. Tapi dalam hatinya, sebuah pertanyaan tetap menggelayuti.

Apakah semua kebencian ini benar-benar hanya tentang masa lalu? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia sadari?

Siang itu, Camilla memutuskan untuk melangkah keluar dari mansion, mencoba mencari ketenangan di tengah sepinya taman belakang yang luas. Langkahnya pelan, seolah beban di pundaknya semakin berat. Hari terasa panjang, dan pikirannya terus melayang kembali pada Theodore—suami yang seharusnya menjadi pelindung, namun malah menjadi sumber luka.

Angin siang yang lembut menyentuh kulitnya saat ia melangkah melewati jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang. Taman belakang ini tampaknya tak banyak berubah sejak terakhir kali ia mengunjungi tempat itu—bunga-bunga yang mekar dengan warna-warna cerah, rumput hijau yang rapi, dan pohon-pohon besar yang memberi keteduhan. Namun, semuanya terasa begitu hampa sekarang.

Camilla berhenti di dekat kolam kecil yang tenang, menatap airnya yang berkilau di bawah sinar matahari. Ia duduk di bangku batu yang ada di dekatnya, menatap pantulan dirinya di permukaan air.

Kenapa aku merasa begitu jauh? pikirnya, matanya menatap kosong ke depan.

Perasaan cemas, bingung, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Ia ingin menyadari apa yang benar-benar terjadi dalam pernikahannya, ingin tahu mengapa Theodore begitu membencinya, mengapa semua yang ia lakukan selalu dianggap salah.

Tangan Camilla menyentuh rerumputan di dekatnya, jari-jarinya menggenggam sedikit tanah yang terasa dingin.

"Semua ini tidak adil," bisiknya, suaranya hampir tertelan oleh suara angin yang berbisik di antara dedaunan.

Tiba-tiba, ia merasakan sebuah kesepian yang begitu dalam—lebih dalam dari sebelumnya. Meskipun ia ada di dalam mansion besar ini, dikelilingi segala kemewahan dan kemudahan, hatinya tetap kosong.

"Istrinya," gumamnya dengan getir, mengingat betapa sedikit perhatian yang ia dapatkan dari Theodore.

Setiap langkah yang ia ambil terasa sia-sia. Setiap kata yang ia ucapkan seakan mengalir begitu saja tanpa mendapatkan respon. Ia telah mencoba—sangat keras—untuk membangun jembatan di antara mereka, tetapi Theodore selalu menjauh.

Camilla menatap langit biru yang cerah, berharap ada keajaiban yang datang untuk mengubah keadaan. Namun, kenyataan hanya menghimpitnya semakin dalam. Apakah ada harapan?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel