Bab 3 Kebencian dari Suami
Camilla melangkah menuju kamarnya dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Setiap sudut rumah ini terasa dingin, bukan karena cuaca, melainkan karena kebencian yang begitu nyata terpancar dari mata suaminya sendiri.
Begitu sampai di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di sana, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Kepalanya berdenyut, pikirannya kacau. Semua hal yang terjadi sejak pernikahannya dengan Theodore terasa seperti mimpi buruk yang tidak ada akhirnya.
Dia meraba pelipisnya, mencoba meredakan pusing yang semakin menusuk. Rasanya hampir ironis—ia menikah dengan pria yang seharusnya menjadi pasangannya, tapi setiap hari yang ia jalani bersamanya terasa seperti hukuman.
Camilla melangkah ke meja rias, menatap bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat pucat, matanya memancarkan kelelahan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Sampai kapan aku bisa bertahan?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan. Theodore berdiri di sana, masih dengan ekspresi tajam yang tidak berubah.
"Aku tidak melarangmu menyelidiki," katanya dingin, "tapi jangan harap aku akan membantumu."
Camilla menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh luka. "Aku tidak meminta bantuanmu."
Theodore tertawa kecil, tapi tanpa kebahagiaan. "Bagus. Setidaknya kita sepakat dalam satu hal."
Tanpa menunggu jawaban, pria itu kembali menutup pintu, meninggalkannya sendirian dalam keheningan.
Camilla menghela napas panjang, lalu berjalan ke tempat tidur. Ia merebahkan dirinya, menatap langit-langit kamar dengan mata yang semakin berat.
Di luar sana, hujan masih turun. Sama seperti perasaannya yang terus-menerus diguyur oleh kenyataan pahit yang tidak bisa ia hindari.
Malam semakin larut, tetapi Camilla masih terjaga. Matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong, pikirannya penuh dengan kebencian Theodore yang terus menghantuinya.
Dia menikahi pria yang tidak hanya tidak mencintainya, tetapi juga membencinya dengan segenap hati.
Tangannya menggenggam selimut dengan erat, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi bayangan kata-kata Theodore kembali terngiang.
"Aku harus hidup dengan fakta bahwa aku menikahi putri dari keluarga yang menghancurkan hidupku."
Camilla menutup matanya erat-erat. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak. Apa pun kebenarannya, ini tetap tidak adil.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar di pintu.
Camilla membuka matanya dan bangkit perlahan. Siapa yang datang larut malam begini?
Dengan ragu, ia berjalan ke pintu dan membukanya. Theodore berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sama, tetapi lengan bajunya kini terlepas dari gulungannya, tanda bahwa ia sudah cukup lama terjaga.
Camilla mengerutkan dahi. "Apa yang kau—"
"Minum ini."
Theodore menyodorkan segelas air putih dan sebutir obat. Wajahnya tetap dingin, seolah ini bukan sesuatu yang penting.
Camilla menatapnya bingung. "Apa ini?"
"Kau terlihat pucat. Aku tidak mau kau jatuh sakit dan menambah masalah baru," jawabnya datar. "Minum saja atau aku akan membuangnya."
Camilla ragu. Theodore membencinya, tapi tetap memperhatikannya? Itu tidak masuk akal.
Tapi daripada berdebat, ia mengambil obat itu dan meminumnya dengan tegukan kecil. Setelah selesai, ia menyerahkan gelas kosong pada Theodore, yang menerimanya tanpa berkata apa-apa.
"Kau masih membenciku?" tanya Camilla tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.
Theodore menatapnya lama sebelum menjawab, "Aku tidak akan pernah berhenti membenci keluargamu."
Camilla tersenyum tipis, tapi ada kepedihan di baliknya. "Tapi kau masih peduli padaku?"
Theodore tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan pergi, meninggalkan Camilla yang berdiri di ambang pintu, semakin terjebak dalam kebingungan tentang pria yang telah menjadi suaminya.
Hening menyelimuti kamar, tapi hati Camilla justru semakin gaduh. Ia kembali ke tempat tidur, duduk di tepian dengan pandangan kosong. Rasa pahit itu kembali menghantam—tentang bagaimana hidupnya berubah dalam sekejap.
Ia tidak pernah meminta pernikahan ini. Tidak pernah menginginkan seorang suami yang membencinya begitu dalam. Tetapi sekarang, ia harus menerima semua itu, seolah-olah kebencian Theodore adalah harga yang harus ia bayar hanya karena ia terlahir sebagai seorang Hathway.
Tangannya mengepal di atas selimut. "Ini tidak adil," gumamnya lirih.
Bagaimana mungkin ia harus menanggung kesalahan yang bahkan ia sendiri tidak tahu? Bagaimana mungkin ia harus hidup dalam pernikahan yang penuh kebencian tanpa tahu apakah ada jalan keluar?
Pikiran itu semakin menyesakkan. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menuntut jawaban—tapi pada siapa? Theodore? Ayahnya? Tuhan?
Ia menatap ke luar jendela, ke arah langit malam yang gelap. Hujan telah reda, tetapi sisa rinainya masih menempel di kaca, menciptakan pantulan bayangan dirinya yang terlihat lebih rapuh dari biasanya.
Camilla menggigit bibirnya, menahan emosi yang mendesak di dadanya. Kalau ini yang sudah ditakdirkan untuknya, lalu apa yang harus ia lakukan? Bertahan dalam pernikahan yang penuh kebencian ini? Atau mencari cara untuk mengubahnya?
Tapi benarkah Theodore akan membiarkannya masuk ke dalam dunia yang selama ini ia tutup rapat? Benarkah pria itu akan memberikan kesempatan untuk sesuatu yang lebih dari sekadar dendam?
Camilla menghela napas panjang. Tidak ada yang tahu jawabannya. Tidak juga dirinya. Yang ia tahu, malam ini, ia harus menerima kenyataan—seburuk apa pun itu.
Camilla menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak yang memenuhi dadanya. Namun, semakin ia mencoba menahan, semakin perih rasanya.
Ia kembali ke dalam kamar, menutup pintu perlahan, lalu bersandar di sana. Napasnya tercekat, matanya terasa panas.
Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Isakan pelan terdengar dari bibirnya yang gemetar. Kenapa harus seperti ini?
Seumur hidup, ia tidak pernah membayangkan akan menikah dengan seseorang yang membencinya. Ia tidak pernah meminta hidup yang penuh dengan rasa sakit seperti ini.
Tangannya meremas ujung baju tidurnya, bahunya bergetar. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi semakin mencoba, semakin hancur pertahanannya.
"Theodore..." bisiknya, meski ia tahu pria itu tidak akan mendengar, tidak akan peduli.
Ia tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang terus menyesakkan.
Satu-satunya hal yang ia sadari adalah betapa lelahnya ia. Lelah menahan luka, lelah menahan air mata, dan lelah menerima kebencian dari pria yang seharusnya menjadi suami dan pelindungnya.
Camilla menghapus air matanya dengan kasar, berusaha menghentikan isakan yang terus mengguncang dadanya. Namun, perasaan sakit itu tetap tinggal, seperti belati yang tertanam dalam di hatinya.
Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku tidak bisa terus seperti ini.
Dengan tangan gemetar, ia berjalan ke meja rias, menatap bayangan dirinya di cermin. Matanya merah, wajahnya pucat, dan ekspresi di sana terlihat begitu asing—seperti seseorang yang telah kehilangan arah.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.
Camilla tersentak, buru-buru membalikkan badan. Theodore berdiri di ambang pintu, ekspresinya dingin seperti biasa, tetapi matanya… ada sesuatu di sana yang sulit dijelaskan.
"Kau menangis," ujar Theodore, bukan sebagai pertanyaan, tetapi sebagai pernyataan.
Camilla mengangkat dagunya, mencoba menyembunyikan kelemahannya. "Bukan urusanmu."
Theodore mendekat, langkahnya tenang namun mengintimidasi. "Semuanya yang terjadi padamu adalah urusanku, Camilla. Kau istriku, mau kau suka atau tidak."
Camilla tertawa sinis. "Istri yang kau benci, maksudmu?"
Pria itu terdiam. Ada kilatan emosi di matanya, tetapi ia tidak segera menjawab.
"Kau tidak akan mengerti," lanjut Camilla dengan suara bergetar. "Bagaimana rasanya hidup dalam pernikahan di mana suamimu sendiri tidak menginginkanmu. Di mana setiap hari kau harus menerima kebencian tanpa tahu pasti apa kesalahanmu."
Theodore menatapnya tajam. "Kau tahu betul apa kesalahanmu."
Camilla menggeleng, air mata kembali menggenang di matanya. "Aku tidak tahu, Theodore. Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya… lelah."
Keheningan menggantung di antara mereka. Untuk pertama kalinya, Theodore tidak langsung membalas dengan kata-kata dingin atau sarkasme.
Camilla menelan ludah, lalu berbisik, "Sampai kapan kita akan seperti ini?"
Theodore tidak menjawab. Matanya menatap dalam ke matanya, seolah mencari sesuatu, tetapi kemudian ia berbalik dan berjalan keluar.
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Camilla dalam kesendirian yang semakin menusuk.
