Pustaka
Bahasa Indonesia

Dangerously Wife

113.0K · Tamat
Ayu Andita
99
Bab
322
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dangerously Wife Camilla Grace Hathway tidak pernah meminta perjodohan ini, terlebih lagi dengan Theodore Charles Ellsworth—pria yang membencinya tanpa alasan yang jelas. "Aku tidak akan pernah menerima pernikahan ini, Camilla. Kau hanya bagian dari sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada." Dingin, tajam, dan penuh dendam, Theodore menjadikan pernikahan ini sebagai hukuman bagi Camilla. Namun, semakin lama ia berada di sisinya, semakin banyak rahasia yang terungkap. Camilla sadar, kebencian Theodore bukan tanpa sebab, dan ada sesuatu di masa lalu yang menghubungkan mereka. Kini, ia harus mencari tahu kebenarannya—sebelum kebencian itu menghancurkan mereka berdua.

RomansaMetropolitanPresdirBillionaireIstriKawin KontrakRevengePernikahanMemanjakanBalas Dendam

Bab 1 Pernikahan Kontrak

Ruangan itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah mengingatkan Camilla Grace Hathway bahwa waktu terus berjalan, sementara dia masih duduk di sana, menunggu pria yang bahkan tidak ingin melihatnya. Pintu terbuka dengan suara berderit pelan, dan langkah-langkah berat terdengar mendekat. Theodore Charles Ellsworth akhirnya muncul, mengenakan jas hitam yang begitu rapi seolah tidak ada satu benang pun yang berani keluar dari tempatnya.

"Kau datang lebih awal," ucapnya dingin, tanpa sedikit pun menatapnya.

"Kau yang terlambat," balas Camilla tanpa ragu.

Theodore menghela napas, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kau benar-benar ingin pernikahan ini terjadi?"

Camilla menatapnya balik, tidak terintimidasi sedikit pun. "Aku tidak punya pilihan."

"Kau selalu punya pilihan, Camilla," suara Theodore terdengar lebih rendah, lebih menekan. "Kau bisa pergi sekarang dan menghindari semua ini."

"Tapi aku tidak akan pergi," Camilla menegaskan, menyilangkan tangan di depan dada. "Dan kau juga tidak bisa membatalkan pernikahan ini."

Theodore tertawa kecil, tapi sama sekali tidak terdengar menyenangkan. "Kau pikir aku akan menjalani ini dengan baik? Aku akan membuatmu menyesal."

Camilla menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Silakan coba. Aku tidak semudah itu dihancurkan."

Theodore menyipitkan mata, jelas tidak menyukai tantangan yang baru saja dilemparkan Camilla. Tapi sebelum dia bisa berkata apa pun lagi, suara ketukan di pintu menginterupsi mereka.

"Maaf mengganggu," seorang asisten masuk dengan ekspresi hati-hati. "Semua sudah siap. Kalian hanya perlu menandatangani dokumen ini."

Camilla dan Theodore saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya Theodore mengambil pena dan menandatangani kertas itu tanpa ragu sedikit pun. Saat dia menyerahkan pena ke Camilla, matanya masih penuh dengan kebencian.

"Selamat datang di neraka, Camilla," bisiknya pelan.

Camilla hanya tersenyum, lalu menuliskan namanya di atas kertas dengan gerakan yang mantap. "Aku tidak takut."

Setelah tanda tangan itu tercetak di atas kertas, ruangan terasa semakin dingin. Theodore tidak mengatakan apa pun, hanya menatap Camilla dengan sorot mata yang sulit diartikan sebelum akhirnya bangkit dari kursinya dan berjalan keluar tanpa menoleh.

Camilla menarik napas dalam, menatap dokumen di hadapannya. Namanya kini terikat dengan pria yang bahkan tidak ingin berbagi satu ruangan dengannya lebih dari lima menit.

"Kami akan segera mengurus registrasi pernikahan," ucap asistennya dengan suara hati-hati. "Apakah Anda ingin mengatur jamuan kecil untuk merayakan—"

"Tidak perlu," potong Theodore, yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. "Pernikahan ini hanya formalitas. Tidak ada yang perlu dirayakan."

Asisten itu tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan."

Camilla tersenyum tipis, lalu berdiri. "Setidaknya aku berharap ada ucapan selamat dari suamiku sendiri."

Theodore menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan berharap apa pun dariku, Camilla."

Dia tidak menunggu jawaban sebelum melangkah pergi, meninggalkan Camilla yang masih berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Seorang wanita dengan gaun merah yang mewah tiba-tiba menghampirinya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dengan seringai mengejek. "Jadi, kau benar-benar menikah dengannya?"

Camilla menoleh dan mengenali wajah itu. Vivian Lorrence. Wanita yang selama ini dikabarkan dekat dengan Theodore.

"Ya," jawab Camilla santai. "Dan sepertinya itu bukan sesuatu yang kau sukai."

Vivian tertawa kecil. "Kau pikir pernikahan bisa membuat Theodore memandangmu lebih baik?" Dia mendekat, suaranya merendah. "Dia membencimu, Camilla. Apa kau tidak sadar?"

Camilla menatapnya tanpa emosi. "Dan kau pikir aku peduli?"

Vivian sempat terdiam, seolah tidak menyangka jawabannya akan sesantai itu. Tapi lalu senyumnya kembali muncul, kali ini lebih tajam. "Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan."

Tanpa menunggu balasan, Vivian berbalik dan pergi, meninggalkan Camilla yang hanya tersenyum tipis.

"Sepertinya hidupku akan lebih menarik mulai sekarang," gumamnya pelan, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Camilla melangkah keluar dari gedung dengan tenang, meskipun pikirannya penuh dengan banyak hal. Udara sore menyentuh kulitnya, tapi bukannya menenangkan, justru terasa seperti pengingat bahwa dia baru saja masuk ke dalam hidup yang berbeda—hidup sebagai istri seorang pria yang membencinya.

Saat ia turun ke pelataran parkir, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jendela di sisi pengemudi perlahan turun, menampilkan wajah Theodore yang masih tanpa ekspresi.

"Masuk," perintahnya singkat.

Camilla tidak bergerak. "Ke mana?"

Theodore menghela napas, seolah kehabisan kesabaran. "Ke rumah kita. Atau kau ingin aku meninggalkanmu di sini?"

Camilla tersenyum tipis, lalu membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Begitu pintu tertutup, mobil langsung melaju dengan kecepatan stabil. Suasana di dalam terasa tegang, hanya suara mesin yang terdengar.

"Kau tidak perlu menjemputku sendiri," ujar Camilla akhirnya. "Aku bisa pergi sendiri."

"Aku tidak peduli bagaimana kau pergi," balas Theodore dingin, matanya tetap fokus pada jalan. "Tapi akan lebih merepotkan kalau istriku terlihat pulang sendirian setelah pernikahan."

"Jadi ini soal pencitraan?"

Theodore tersenyum sinis. "Apa lagi? Aku tidak tertarik bersikap manis hanya karena kita sudah menikah."

Camilla menoleh padanya, mengamati wajahnya yang tetap datar. "Kau selalu membenciku seperti ini, Theodore?"

Theodore tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, tangannya menggenggam kemudi dengan erat.

Camilla mendesah pelan. "Baiklah, kalau kau tidak ingin bicara, aku juga tidak akan memaksa."

Hening kembali mengisi mobil, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah rumah megah di pinggiran kota. Gerbang besar terbuka secara otomatis, dan mobil melaju masuk ke halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Camilla memandangi rumah itu—tempat yang seharusnya menjadi "rumahnya" sekarang.

Begitu mobil berhenti, Theodore keluar lebih dulu, tidak menunggu Camilla. Seorang pelayan membukakan pintu untuknya, tapi Camilla melangkah masuk dengan tenang tanpa memedulikan perlakuan dingin suaminya.

Saat mereka memasuki ruang tamu yang luas dan mewah, Theodore akhirnya berbicara. "Ada beberapa aturan yang harus kau ikuti di rumah ini."

Camilla menyilangkan tangan. "Oh? Seperti apa?"

Theodore menatapnya tajam. "Jangan ikut campur dalam urusanku. Jangan mengusik hidupku. Dan jangan pernah berharap aku akan menganggapmu sebagai istriku."

Camilla tersenyum kecil, lalu mendekat satu langkah. "Bagaimana kalau aku melanggar semua aturan itu?"

Theodore menyipitkan mata, jelas tidak menyukai tantangan itu. Tapi sebelum dia sempat membalas, Camilla sudah berbalik dan menaiki tangga.

"Aku akan memilih kamar sendiri," katanya santai. "Jangan khawatir, aku tidak akan menyentuh wilayah pribadimu."

Theodore hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.

Pernikahan ini baru dimulai, tapi ia tahu satu hal dengan pasti—Camilla bukan wanita yang mudah dikendalikan.

Malam itu, suasana rumah terasa begitu sunyi, tapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Camilla duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang gelap tanpa bintang. Pikirannya dipenuhi banyak pertanyaan, tapi satu hal yang pasti—kebencian Theodore padanya bukan sekadar ketidaksukaan biasa.

Pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Theodore berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh dengan kemarahan yang ia tahan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Camilla tanpa menoleh.

Theodore berjalan mendekat, tapi tatapannya seperti pisau tajam yang menusuk punggungnya. "Aku ingin memastikan sesuatu."

Camilla akhirnya berbalik, menatap pria itu yang kini berdiri beberapa langkah darinya. "Memastikan apa?"

Theodore menatapnya lama sebelum akhirnya membuka mulut. "Bahwa aku benar-benar tidak akan pernah bisa memaafkanmu."

Camilla mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Theodore tertawa kecil, tapi tidak ada sedikit pun kehangatan dalam suara itu. "Kau benar-benar tidak ingat, bukan? Atau kau hanya berpura-pura?"

Camilla menatapnya dengan bingung. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."

Wajah Theodore mengeras. "Seseorang meninggal karena keluargamu, Camilla. Seseorang yang seharusnya masih ada di sini jika bukan karena mereka."

Jantung Camilla berdegup lebih cepat. "Siapa?"

Mata Theodore dipenuhi amarah yang hampir tak terkendali. "Emma."

Camilla terdiam. Nama itu terasa asing, tapi efek yang ditimbulkan di wajah Theodore begitu nyata—penuh luka, penuh kebencian.

"Kau tidak tahu, bukan?" Theodore mendekat, suaranya lebih rendah tapi mengancam. "Emma adalah tunanganku. Dia meninggal dalam kecelakaan yang disebabkan oleh bisnis keluargamu. Ayahmu menutupi semuanya, dan ibumu berpura-pura tidak terjadi apa-apa."

Camilla merasakan tubuhnya menegang. Dia tidak tahu tentang ini. Tidak pernah tahu.

"Dan sekarang, aku harus melihat wajahmu setiap hari," lanjut Theodore dengan suara penuh racun. "Bagaimana menurutmu, Camilla? Seberapa besar kau pikir aku bisa mentoleransi ini?"

Camilla menelan ludah. "Aku… tidak tahu."

Theodore tertawa dingin. "Tentu saja tidak. Kau hidup nyaman dalam kebohongan keluargamu, sementara aku kehilangan orang yang paling aku cintai."

Dia mundur selangkah, menatap Camilla dengan penuh kejijikan. "Jangan pernah berharap aku akan memperlakukanmu sebagai istriku. Kau hanya pengingat dari semua yang telah hilang."

Tanpa menunggu balasan, Theodore berbalik dan keluar, membanting pintu di belakangnya.

Camilla tetap berdiri di tempatnya, jantungnya masih berdebar keras. Malam yang sunyi kini terasa begitu bising di kepalanya.

Emma.

Tunangannya.

Dan dia kehilangan wanita itu karena keluarganya.